2008

Oleh: NN

Dilihat:
kali

2008
Sabtu pagi.
Samar. Namun beberapa bagian masih jelas.

Misalnya, gaun rumahan yang ibuku pakai hari itu. Warna dasarnya coklat dengan corak bunga merah di sana-sini. Ah! ada daunnya juga. Tentu berwarna hijau. Entah jenis bunga apa itu. Ayahku yang memakai jaket dan celana panjang hitam hendak pergi berangkat kerja. Aku dan adikku yang memakai seragam sekolah.

Dan juga.. suara jeritan ibuku yang keras. Meraung-raung di pintu belakang rumah. Pasca ayahku memberi surat cerai pada beliau.

Waktu itu aku masih kelas 6 SD. Aku mengerti apa yang terjadi di hari itu. Aku paham. Tapi.. aku hanya berdiri, diam, dan tidak melakukan apa-apa. Aku hanya bisa bingung dan sedih. Waktu itu rasanya seperti, ini bukan masalah yang bisa kamu hadapi.

Tatapan tetanggaku yang juga tidak bisa aku lupa. Mungkin sebagian dari mereka juga sudah tahu apa yang terjadi. Ibuku menangis sendirian, tubuhnya lemas, tersungkur, tidak ada yang membantu. Tidak aku, adikku, tetanggaku, ataupun ayahku. Apa yang terjadi setelahnya? Aku lupa. Namun yang jelas, hari itu, aku dan adikku tetap berangkat sekolah. Ayahku tetap berangkat kerja. Egois. Aku merasa egois dan bodoh di hari itu.

Jauh sebelum kejadian itu, sudah terdengar desas-desus bahwa ayahku berselingkuh dengan pembantuku. Iya! Pembantu. Rahasia yang sama sekali aku tutupi dari siapapun kalau ada yang bertanya, Aku gak pernah liat ayah kamu. Ayah kamu kemana?. Cerai. Kataku yang hanya bisa menjawab sambil cengengesan. Cerita dibalik perceraian itu yang tidak pernah aku ceritakan. Atau jika kalian ingin pergi jauh lagi, aku akan membawa kalian dimana hal-hal yang tidak bisa aku lupa terjadi. Sebelum tragedi pintu belakang terjadi.

***********

Bertahun-tahun lalu. Ayah dan Ibuku yang bertengkar. Ayahku yang memaki ibuku dengan ejekan-ejekan kurang ajarnya. Aku yang selalu disalahkan ketika aku bertengkar dengan adikku. Apa karena umurku lebih tua? Aku yang ditampar, menerima sabetan dengan sapu lidi, tendangan bertubi-tubi. Hal-hal itulah yang membuat suatu hari pembantuku bertanya, “Cece mau jadi anak teteh ga?” “Iya“.

Dulu kami sangat dekat karena memang ayah dan ibuku bekerja. Jadi jarang dekat dengan kami. Aku dan adikku. Anaknya. Pembantuku juga baik. Setidaknya dulu, sampai beberapa bangkai tercium baunya. Sialnya, sebagai anak kecil yang tidak tau apa-apa, dulu aku menjawab pertanyaan itu dengan kata “Ya“. Aku tidak pernah berpikir bahwa pertanyaan itu adalah satu tanda bahwa dia akan berselingkuh dengan ayahku. 

Aku sebenarnya lebih dekat dengan ayahku. Ada satu tebak-tebakan dari beliau yang sampai saat ini masih aku ingat. Ini saat aku kelas 2 SD. Dad jokes khas bapak-bapak punya.

“Cece, tau ga kenapa bebek goreng enak?”

Aku yang belum pernah makan bebek goreng tentu menjawabnya dengan serius, “Hah? Kenapa?

Ya karena ada huruf B nya. Coba ga ada huruf B nya. Kan jadi ga enak.

Aku harus berpikir keras di mana letak lucunya. Setelah paham, baru aku tertawa. Sambil memikirkan seenak apa bebek goreng. Ayahku bilang bebek goreng itu enak. Beliau berjanji suatu hari kita akan makan bebek goring bersama.

Hingga saat kelas X SMA, 2012, dimana teman-teman sekelasku merencanakan bukber di tempat makan bebek terkenal, aku antusias bukan main. Aku pesan dan makan bebek goreng untuk pertama kalinya. Aku terharu saat itu karena ternyata memang enak seperti kata ayahku dulu. Bebek goreng pertamaku bukan menjadi bebek goreng yang seharusnya dimakan bersama ayahku. Janji itu tidak pernah ditepati. Sampai hari ini, setiap aku melihat jualan bebek di pinggir jalan, yang aku ingat pertama kali adalah dad jokes ayahku. Haha.

Aku tidak terlalu dekat dengan ibuku. Karena beliau jauh lebih menyebalkan dari ayahku. Sampai suatu hari aku meninggalkan surat kecil di meja kerja ayahku. Isinya, Papa, mama itu mama aku atau bukan sih?. Kalau aku ingat-ingat sekarang, isi surat itu sangat tidak tahu diri. Tapi untuk anak kecil yang terlalu tersiksa dengan perilaku orang tuanya, surat itu sebenarnya hanya sedikit dari luka yang ingin dia bagi. Aku menulis surat itu sambil menangis. Menaruhnya di laci meja dengan tangan gemetar dan perasaan campur aduk.

Beberapa bulan setelah tragedi pintu belakang, aku harus masuk SMP. Aku hanya bisa masuk sekolah swasta karena sekolah itu yang jaraknya paling dekat dengan rumah. Masuk sekolah swasta berarti membutuhkan biaya yang lebih mahal. Aku selalu ingat seberapa sering aku menunggak uang bayaran sekolah. Sampai seorang guru mendatangi rumahku dan melihat keadaan keluargaku. Hanya ibuku yang membiayai sekolahku dan adikku. Ibuku yang membiayai kebutuhan keluarga kami sehari-hari. Ayahku?

Banyak yang aku sesali hari ini. Banyak hal-hal yang seharusnya tidak aku lakukan dulu. Menulis surat di meja kerja ayahku, bertanya apakah mama adalah ibuku, menjawab pertanyaan bodoh pembantuku, tidak melakukan apapun saat ibuku menangis ketika akan diceraikan ayahku. Semua itu aku sesali.

Aku selalu merasa bersalah pada Ibuku. Andai beliau tahu semua kejadian itu, entah akan sesedih apa beliau. Beberapa kali aku iri pada teman-temanku yang di masa dewasanya tumbuh bersama kedua orang tuanya yang lengkap. Pernah beberapa kali, aku berangkat kuliah dan harus naik KRL khusus wanita. Kadang gerbong itu penuh sampai aku harus tinggal di kereta campuran. Aku melihat seorang ayah dan putri kecilnya sedang becanda. Akur. Pemandangan itu harus aku saksikan sampai aku tiba di stasiun tujuanku. Setelah turun, aku duduk di bangku stasiun sebentar. Menundukkan kepala, melepas kacamata, dan menutupi wajah dengan kedua telapak tanganku. Aku menangis. Iri. Kali ini aku iri pada anak kecil. Bisa-bisanya!

Keadaan sudah membaik saat ini. Setidaknya, ibuku tidak perlu menunggak bayaran sekolahku lagi. Keuangan bukan masalah utama lagi. Aku pernah berpikir, bagaimana jika ayahku tidak pernah selingkuh. Bagaimana jika ayahku tetap tinggal di rumahku di usiaku yang 20 tahunan ini. Apa keadaan akan sama seperti sekarang? Lebih baik atau lebih buruk?

Aku percaya “Inna maal usri yusraan“. Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Rencana Tuhan pasti lebih indah dari yang hamba-Nya inginkan.

Terkadang suara jeritan ibuku masih terasa terdengar sampai detik ini. Juga ada perasaan sedih dan marah ketika aku melihat pintu belakang rumahku sendiri.

Semoga aku bisa berdamai dengan kebodohanku di masa lalu.

Oleh: Aira Seac
Tautan Instagram dan Facebook