Aku selalu berkata pada diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja dan berusaha bangkit tanpa orang lain. Namun kenyataannya, aku adalah satu-satunya yang tidak dibutuhkan. Sebagai seorang insan kita diajarkan untuk tahu bagaimana caranya mengambil keputusan dan siap menanggung apapun resikonya. Penyesalan menjadi sebuah stigma besar setiap kali kita mengambil keputusan itu. NAMUN, kenyataannya kita semua masih merasakan ‘penyesalan.’
Bagiku itu tidak mengapa, menyesal tidak selalu arti dari kegagalan, terkadang kau harus tahu bahwa untuk bangkit dari keterpurukan kau harus menyesal dan menjadikan rasa itu menjadi sebuah kekuatan. Aku, adalah salah satu dari orang yang mengalami penyesalan. Jika saja waktu itu aku mengutarakan semuanya, hidupku mungkin tidak seperti sekarang. Tetapi jika aku tetap menceritakannya, apakah hidupku akan berbeda dari sekarang?
Panggil saja dia Si A. Seorang gadis polos yang menyala-nyala hatinya, berbinar-binar matanya, selalu terpampang senyuman di wajahnya. Dia yang belum tahu kejamnya dunia, jiwa yang mungil dan naif, ketika putri-putri Disney dan Barbie menjadi inspirasi bagi dirinya. Hari-hari Si A selalu indah, tapi kau tahu, Tuhan selalu merencanakan sebuah skenario yang akan merubah hidup seseorang untuk selama-lamanya.
13 tahun yang lalu, tepatnya di sebuah TPQ, Si A mengaji di sana. Dia belajar bagaimana membaca Al-Qur’an dengan tepat dan bagaimana cara mengamalkannya. Si A adalah anak yang rajin, tak pernah sekalipun dia bolos mengaji karena saking sukanya ia membaca Al-Qur’an. Hingga suatu hari, ketidakberuntungan menghampirinya.
Saat itu, sore hari pukul 4. Si A datang lebih awal sebelum teman-temannya yang lain. Kelasnya mengaji ada di lantai atas musala, sehingga begitu sepi di sana. Sambil menunggu yang lain, Si A menyibukkan dirinya dengan menyapu lantai musala atas dengan rasa berbunga-bunga di hati kecilnya mengingat guru dan teman-teman akan senang dan bangga melihat apa yang telah dilakukan olehnya. Tak lupa juga ia sempatkan memandang pemandangan dari lantai atas musala. Di sana dia melihat Pak Lik–Pak Lik yang berjualan jajan dan minuman ringan mulai berdatangan dan menjajakkan dagangannya.
Hingga pandangannya mulai tertuju pada sesuatu yang menjadi nasibnya. Ya, mata itu, tatapan itu. Si A melihatnya dengan jelas. Seorang lelaki remaja yang ia kenali wajahnya karena rumah mereka lumayan tidak jauh, namun ia sama sekali tidak tahu-menahu soal namanya.
Lelaki itu memandang Si A seakan-akan dia telah melihat sebungkus lolipop. Ia naik ke lantai atas musala dan menghampiri si A. Si A yang waktu itu masih polos pun menghampirinya dan mulai berbincang-bincang dengannya. Hingga tanpa disadari, lelaki tersebut mendekatinya. Dekat, dekat, dan dekat.
Si A sontak melangkah mundur. Satu langkah, dua langkah. Hingga tembok itu menjadi jalan buntu bagi tubuh kecilnya. Lelaki itu mengunci Si A. Dia mulai menggerayangi tubuhnya, bahkan mencium pipinya. Si A yang polos itu sama sekali tidak tahu dengan apa yang lelaki tersebut lakukan, namun yang pasti dia merasakan satu hal: tidak nyaman.
Si A merasa tidak nyaman dengan apa yang lelaki itu lakukan kepadanya. Saking tidak nyamannya, Si A mulai memberontak dan mendorong lelaki itu dengan sekuat tenaga. Dan ya, kartu AS, Si A berhasil kabur dari kungkungan lelaki bejat itu. Dia bersembunyi di dalam gudang sambil berusaha menenangkan dirinya. Tak henti-hentinya ia memanggil-manggil ayah-ibunya. Dia tidak punya pilihan lain sembari menangis dalam diam, menahan tubuhnya yang gemetar, dan mengharapkan ayah dan ibu ada bersamanya sekarang.
Si A terus bersembunyi di dalam gudang hingga lelaki itu lelah mencarinya. Si A tidak bisa merasa tenang dan bermaksud menceritakan apa yang telah terjadi kepada sang ayah dan ibu. Namun sesampainya di rumah, Si A melihat sebuah kehangatan dan kebahagiaan yang tidak tega ia hancurkan. Setelah mengucapkan salam, sang ayah menjawabnya dengan lemah lembut, dan sang ibu menyambut Si A dengan wajah sumringah. Begitu hangat suasana rumah waktu itu, hingga Si A lupa bahwa dia telah dilecehkan.
Si A bermaksud menceritakannya di lain hari. Tetapi, sampai dia bernapas 13 tahun kemudian, cerita kelam itu tidak pernah ia utarakan.
Cerita itu menjadi kegelapan dan trauma bagi Si A. Dia menjadi wanita yang kurang bisa dekat dengan lelaki karena ingatan itu selalu menghantuinya. Namun, Si A juga bersyukur karena dia bisa menjadi pribadi yang lebih selektif dalam pergaulan. Dia bisa mengetahui teman yang benar-benar ingin menjadi sahabatnya atau hanya sekedar menjadikan Si A sebagai boneka. Dia bisa mengetahui laki-laki yang benar-benar mencintai diriya dan laki-laki yang hanya memandang fisiknya. Kegelapan itu membuka hatinya. Walau trauma itu belum bisa dicangkok dari hati kecilnya, namun ia tetap melangkah maju dan mekar, semakin mekar layaknya bunga.
Bagi Si A, ketakutan, kegelapan, dan keterpurukan tidak menjadi alasan seseorang untuk berhenti. Karena alasan paling pas tepat bisa berhenti menjalani hidup adalah ketika tiba saatnya arwah meninggalkan jasad.
Hiduplah tanpa penyesalan, namun kita adalah manusia, ratunya penyesalan. Dan jika memang harus ada penyesalan itu, maka Si A adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang berusaha menyelam jauh ke dalam hati hingga ia menemukan penyesalan itu. Jika Si A punya waktu untuk menceritakan segalanya, bagi Si A, inilah saatnya. Si A belum bisa menangkis penyesalan dan masa lalunya.
N.b. Cerita ini adalah kiriman dari kontributor Amelia R.
Tautan Instagram dan Facebook