Aku Cantik, Ibu!
“Bu, aku cantik, ‘kan?”
Aku tersenyum melihat anak gadisku yang berusia 4 tahun mematut dirinya di cermin dengan mengenakan baju baru dan bandana di kepalanya. Makin sini, lekuk wajahnya hampir mirip denganku waktu kecil. Dagu yang melancip serta pipi gemasnya yang mengecil seiring bertambahnya usia dari bayi menuju anak-anak, hidung kecilnya mirip denganku di foto 26 tahun silam, sisanya mewarisi gen ayahnya.
“Iya, dong! Anak ibu cantik dan salihah,” ucapku sambil mengibas rambut sebahunya yang menutupi pipi sambil menciuminya gemas. Dia tertawa bahagia, tapi aku lebih bahagia sebab memilikinya.
***
Aku ingat masaku dulu waktu seusia putriku. Keluarga besar bilang bahwa wajahku mirip bapak. Sebagai seorang anak perempuan satu-satunya, hatiku kadang kecewa mendengarnya. Selayaknya anak perempuan yang mendamba ingin seperti ibunya. Sering kudengar bahwa kakak laki-lakiku tampan dan pintar, mirip mama. Kadang aku iri mendengarnya, namun aku lebih memilih diam.
Seperti yang kusebutkan, kakak laki-lakiku memang dikenal pintar di keluarga. Kami dua bersaudara kala itu. Pernah kudengar keluarga dan tetangga membandingkan kami. Aku yang masuk SD belum bisa membaca, sedangkan kakakku yang masuk SD sudah lancar membaca. Meski begitu, kakakku dan aku tidak pernah bertengkar atau berebut mainan. Aku yang lebih jahil, dia yang lebih sabar dan menjagaku sebagai adik perempuannya.
Masa kecilku cukup bahagia, meski sudah kurasakan bahwa mama keras mendidik kami, terlebih aku yang memang mengalami kesulitan dalam beberapa mata pelajaran. Siksaan fisik tak bisa kuhindari, tapi esok lusa pasti kulupa jika mama sudah kembali menjadi baik dan aku sudah melewati masa krisisku dalam memahami materi. Beda dengan bapak yang lebih kalem mendidik kami, terlebih padaku.
Saat aku tumbuh remaja, secara fisik perlahan aku berubah, sikapku tentu berubah yang semula cuek tapi kini terkadang harus bercermin meski hanya akan berangkat ke warung dekat rumah. Kadang aku merasa malu jika disuruh mama untuk pergi ke warung untuk beli bumbu masakan. Kadang mulai kutolak permintaannya, kadang pula aku pergi tapi dengan persiapan yang lama karena harus mengecek penampilanku di cermin. Dari sana mama mulai menyakitiku secara verbal.
“Kamu itu sok kecantikan sekali! Belum tentu pemuda-pemuda itu juga noleh kamu kalau kamu lewat depan mereka, sampai susah sekali kalau disuruh ke warung!”
Ucapan itu membuat hatiku melemas tiba-tiba. Esok lusa, aku akan lupa dengan ucapan itu dan tak perlu menjadi beban.
Meski mama sempat berbicara hal yang membuatku sakit, tapi perasaanku terhadap lawan jenis di masa remajaku kuhabiskan untuk curhat ke mama. Dari mulai siapa laki-laki pertama yang kusukai di sekolah, sampai salah tingkahnya aku di depan dia. SMP sampai SMA aku seringkali bercerita tentang beberapa laki-laki yang kusukai, meski tak pernah aku mengalami masa pacaran selayaknya teman-temanku. Pertama, karena aku tidak cukup percaya diri dan tidak percaya jika ada lawan jenis yang menyukaiku. Kedua, aku memang tak membutuhkan status pacaran karena fokusku masa itu adalah belajar dan menjadi diriku dengan prestasi yang memang mampu kucapai. Bagiku, sudah cukup aku pernah melalui masa-masa sulit memahami pelajaran di awal masa SD-ku.
Ucapan mama yang menyakitiku terulang. Waktu itu aku lama sekali ketika disuruh mama menjemur pakaian di samping rumah. Seorang pemuda lewat samping rumahku, dia kakak kelas di sekolah. Entah disengaja atau tidak, mama memarahiku ketika laki-laki itu melewati rumah, “Kamu itu buruk rupa! Laki-laki mana yang mau sama kamu? Gadis pemalas! Kasihan sekali sok kecentilan, tapi tak ada laki-laki yang mau pacaran denganmu!”
Aku malu. Air mata tak kuasa kutahan sambil terus menyelesaikan pekerjaanku menjemur pakaian. Dari sana, aku mulai tertutup pada mama dan tak lagi curhat tentang lawan jenis padanya.
Memasuki kuliah semester awal, petualanganku mencari cinta dimulai. Tiga kali aku berganti pacar dan semuanya kuperkenalkan pada orang tuaku, kecuali yang terakhir karena bapak sudah meninggal kala itu. Cukup lama aku pacaran dengan laki-laki terakhir, bahkan pernah berniat untuk menikah dan sudah saling mengenal keluarga. Di usiaku ke 24 tahun atau dua tahun setelah kami lulus kuliah, kami mengakhiri jalinan cinta kami. Hatiku hancur kala itu, namun lebih hancur ketika mama pernah berucap, “Perawan tua, usia 24 tahun tapi belum menikah. Mama seusiamu sudah punya 2 anak. Sekarang saja mau 50 tahun masih laku sama laki-laki seusiamu!”. Sakitku kala itu sungguh berlipat dan rasanya ingin pergi saja ikut dengan bapak. Sejak itu, aku menutup diri tentang perasaan sampai akhirnya bertemu dengan seorang laki-laki yang langsung mengajakku menikah.
***
“Bu, kenapa melamun? Matanya lihat apa?” Aku tersentak ketika putriku menyadarkanku dari lamunan. Aku memeluknya lagi.
Kini aku sudah memiliki anak perempuan cantik yang kukandung sejak usiaku akan menginjak 26 tahun setelah menikah dengan seorang laki-laki senior di kampusku di usiaku ke-25. Kulihat dirinya seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan ulet bekerja. Pada akhirnya, kuputuskan untuk menjalin ikatan pernikahan dengannya. Setelah beberapa tahun, kini duduklah aku bersama buah hati kami berdua.
Aku telah memaafkan mama sepenuhnya kini, setelah mama pernah bercerita bahwa beliau mengalami hal sama secara verbal oleh ibunya yang tiada lain adalah nenekku sendiri ketika ia remaja. Sampai saat ini, aku merasa bahwa orang sedang mengolokku jika mereka bilang, “Kamu cantik!”. Aku tidak percaya padanya meski suamiku sendiri!
Walau begitu, tidak apa-apa. Itu bukan lagi fokusku. Kini, selama suami dan anakku tidak mendapat hinaan, dalam hatiku tidak akan ada kenestapaan.
Ditulis oleh Yulianrwn