Ketika tak ada lagi jalan untuk kembali, lelaki seharusnya terus melaju. Tetapi, kenyataannya sebaliknya. Banyak lelaki menjadi pecundang dengan menghilang dan pergi begitu saja. Bahkan, jika itu hanya terjadi pada pertemanan, ditinggalkan sangatlah menyebalkan. Untuk semua hubungan percintaan, ditinggalkan amatlah menyakitkan. Dan jika itu terjadi pada sebuah pernikahan, kepahitan itu akan meninggalkan luka yang mendalam, selamanya. Itulah yang terjadi pada kisahku.
Aku menikah pada usia 25 tahun setelah menjalin kasih selama 5 tahun dengan orang yang kukira adalah pria terbaik yang bisa kupercayai. Aku memiliki mimpi yang tinggi untuk hidup dan tumbuh menua bersamanya. Aku tak pernah menduga, jika dia akan menjadi pengalaman paling menakutkan dalam hidupku.
Aku sangat bersyukur bahwa aku bisa melewati badai tahun 2012 yang hampir membunuhku. Aku menikah pada April 2012 dan mantan suamiku pergi meninggalkanku pada September 2012. It adalah pernikahan yang sangat singkat dan tak bisa kubayangkan sebelumnya. Akan tetapi, itu bukanlah karena status pernikahanku yang singkat. Pengalaman itu pedih, karena dia pergi dengan meninggalkan banyak pertanyaan.
Sama seperti pada banyak kasus ghosting, orang yang meninggalkan tak pernah peduli dengan perasaan orang yang ditinggalkan. Ghosting adalah istilah yang baru-baru ini kudengar; artinya orang yang pergi begitu saja tanpa memberikan keputusan ataupun penjelasan. Bagi manusia yang tidak dewasa, itu memang mudah untuk pergi dan menghilang. Namun, rasa sakitnya akan tetap terasa nyeri bagi orang yang berharap banyak dari sebuah pernikahan.
Ketika menikah, aku tak pernah berharap akan menjalani hidup yang mudah. Aku sudah tahu, bahwa pernikahan adalah kesempatan untukku belajar banyak hal, berbagi tawa dan kepedihan; juga untuk salin memberi dan menerima.
Sebulan setelah menikah, suamiku mulai berubah. Dia berbohong soal banyak hal, menyembunyikan handphonenya, dan dia tidak memberikan jawaban yang jelas jika aku sedang bertanya. Dua bulan berlalu dan dia mulai mematikan handphonenya. Aku tidak bisa menghubunginya. Bulan ke tiga, dia pulang ke rumah. Dia berharap mendapatkan kesempatan kedua. Itu adalah sebuah keajaiban karena test pack memberikan kami berita gembira: aku hamil.
Hatiku tidak pernah siap menerima jika aku harus ditinggalkan kembali pada saat kehamilanku memasuki usia 12 minggu. Ketika dia pulang, dia tidak pulang sendiri. Dia datang dengan ayahnya. Aku sangat sdih dan hancur melihatnya pulang hari itu. Dia tidak pernah memberikan jawaban dan alasan yang bisa diterima akal sehat. Mengapa ia berubah? Dan mengapa dia memperlakukanku seperti itu? Dia menorehkan luka yang sakit dan kegamangan dalam hatiku setiap kali dia berkata bahwa ia tidak mau lagi denganku karena dia sangat sibuk dengan pekerjaannya.
Aku berharap, ia akan jadi lebih sayang ketika aku hamil. Tetapi, dia memukulku dengan keras dengan kenyataan itu. Dia berkata bahwa dia tidak mau lagi menjadi suamiku. Siapapun akan mengira itu adalah mimpi buruk. Aku ingin percaya bahwa itu hanyalah halusinasiku. Tetapi, itu nyata. Dia tak mau melanjutkan pernikahan karena dia memiliki perempuan yang baru. Dia keji dan ayahnya tak bisa melakukan apapun.
Aku tidak mengerti. Aku sedang hamil saat itu dan aku tidak berbuat salah. Bagaimana dia bisa begitu tega pada seorang perempuan yang dinikahinya baru 5 bulan. Selamanya terasa terlalu lama baginya. Selamanya hanya berarti 5 bulan untuknya.
Setelah itu, dia pergi dan tak pernah mengucap alasan yang cukup mengapa ia melakukannya. Aku memintanya untuk tinggal hanya selama 6 bulan sampai anaknya lahir, tapi dia menolak. Aku memaafkannya dan membolehkannya pergi dengan membawaku serta. Dia pun menolaknya. Aku ingin membelanya, tapi dia memperlakukanku seolah aku adalah wanita paling buruk rupa di dunia. Aku merasa dipermalukan dan aku marah. Aku sangat sedih hingga menangis setiap malam selama 6 bulan.
Yang paling berat dari badai itu adalah bahwa aku tak bisa membencinya. Kenangan manis tetap tinggal, sedangkan kekejamannya seperti bukan persoalan besar untukku saat itu. Mungkin, itu karena aku sedang mengandung. Aku menjadi sangat depresi dan murung. Aku bahkan merasa bisa mati karena merindukannya. Aku mencoba menghubunginya sekali, tapi perempuannya mengangkat teleponku. Hatiku hancur, hidupku seolah sudah usai.
Namun demikian, kesedihan itu memberikan energi yang besar untukku menulis kisah itu. Aku tak dapat menceritakan isi hatiku kepada banyak orang. Karena itulah, aku menuliskannya menjadi sebuah buku. Aku menjadi sedikit sibuk dan melupakan rasa sakit itu. Aku berbicara dengan bayi di dalam perutku, aku jatuh cinta padanya; yang tak beruntung dan menjadi yatim sejak beberapa minggu di dalam kandungan.
Lalu, mimpi buruk kembali terjadi karena aku mengalami preeklampsia ketika kandunganku berusia 8 bulan. Aku tidak bisa bekerja dan tidak memiliki penghasilan. Aku harus berpikir keras untuk biaya persalinan dan persiapan lainnya. Aku benar-benar putus asa.
Di saat-saat yang berat seperti itu, dukungan ibu dan keluarga besar memberiku harapan. Sahabat-sahabatku juga selalu ada untuk membuatku berpikir positif. Banyak di antara sahabatku yang menemaniku tanpa banyak bertanya. Mereka tidak mau tahu apa yang sedang menimpaku. Yang mereka inginkan adalah aku kembali menjadi petarung yang tidak menyerah.
Akhirnya, aku melahirkan buah hatiku secara normal. Anakku cantik dan sehat. Aku memberinya nama sebatang pohon yang kuat; Ebony. Lalu, aku menyelesaikan bukuku dua minggu kemudian.
8 tahun berlalu dan aku masih tetap menjadi orang tua tunggal dari Ebony. Dia telah tumbuh menjadi anak yang cantik dan pintar. Aku sudah sembuh dari lukaku yang lama meski lukanya masih membekas. Ketika dia meninggalkanku, dia juga telah meninggalkan pertanyaan besar yang belum terjawab hingga kini. Aku selalu bertanya mengapa dia pergi, apa yang salah denganku, apakah aku begitu buruk rupa? Tetapi, aku tidak pernah mendapat jawabannya. Jadi, aku membiarkannya. Aku melepasnya. Dia tidak ingin tinggal, maka kupersilahkan dia untuk pergi. Dan dia tidak pernah kembali bahkan untuk menanyakan kabar tentang anak perempuannya. Ebony mulai bertanya di mana bapaknya, dan dia mengerti dengan penjelasan yang susah payah kuberikan pada gadis kecilku. Dia tak pernah merindukannya, karena dia tidak pernah mengenalnya.
Aku merasa menjadi layang-layang ketika dia meninggalkanku 8 tahun lalu. Namun, ketika akta cerai itu telah selesai, aku merasa telah menjadi layang-layang yang bebas terbang. Aku hidup tanpa penyesalan karena aku tidak menyerah untuk merawat anakku, dan aku bersyukur untuk itu. Aku belum menikah kembali bukan karena trauma. Tetapi, karena aku terlalu sibuk bahagia. Namun, aku yakin ada cintaku di sana yang juga sedang menunggu dan mencariku. Aku tak akan berlari.
Dari badai itu aku belajar bahwa hidup ini bukanlah soal memberi dan menerima. Hidupku terlalu indah, sehingga membuatku ingin selalu memberi dan memberi.
Malang, 28 September 2020
Sahabat The Monachopsis bisa mendapatkan buku Karin di Tokoalvablet atau akun Instagramnya @akarigna.