Broken Home

Oleh: Alifia Maharani

Dilihat:
kali

Kebanyakan orang, khususnya anak perempuan, menjadikan sosok ayah mereka sebagai ‘Cinta Pertama’. Namun tidak untukku. Bagiku, ayah tidak lebih dari seseorang yang menorehkan luka. Bagiku, sosok ayah adalah seseorang yang membuat ‘Patah Hati Pertama’.

Broken home, dua kata yang membuat banyak orang memandang rendah kepada seseorang yang mengalami hal tersebut. Apakah kita bisa memilih ingin dibesarkan di keluarga yang seperti apa? Jawabannya tidak!

Jika ditanya ingin dilahirkan dan dibesarkan dengan keluarga yang seperti apa, semua orang pasti akan menjawab “Ingin dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yang utuh dan harmonis”, begitu pun dengan aku. Namun Tuhan berkata lain, kedua orang tuaku bercerai ketika aku masih berumur lima tahun. Ketika aku sedang membutuhkan sosok ayah yang dapat menjadi seorang panutan.

Kedua orang tuaku tidak berpisah secara baik-baik. Alasan keduanya berpisah adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan aku menyaksikan sendiri kejadian tersebut. Sebuah batu bata melayang ke arah ibuku yang tidak memiliki cukup tenaga untuk menghindarinya, sampai akhirnya batu bata tersebut mengenai pelipis ibuku. Aku menjerit dan menangis ketakutan. Untung saja nenekku datang tepat waktu, jika tidak mungkin nyawa ibuku yang menjadi taruhannya.

Usia lima tahun merupakan golden age dalam fase perkembangan seorang anak, dimana seorang anak akan selalu mengingat kejadian yang pernah dia lihat dan yang didengar. Baik itu kejadian baik, atau pun kejadian buruk.

Saat usiaku delapan tahun, aku mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari teman-temanku karena aku seorang anak broken home. Banyak kata-kata tidak pantas mereka lontarkan pada diriku.

‘Ayahnya begitu, apalagi anaknya’
‘Enggak usah ditemenin, anak broken home dia’
‘Anak broken home pasti enggak bener’

Dan banyak lagi kata-kata menyakitkan yang aku terima, yang masih terngiang jelas hingga saat ini.

Mungkin untuk fisik, aku baik-baik saja tetapi tidak dengan mentalku. Kalimat-kalimat yang dilontarkan itu membuatku menjadi sosok yang pendiam dan insecure.

Mungkin yang melakukan salah disini adalah orang tua, tetapi anaklah yang selalu terkena imbasnya dan itu akan berdampak besar pada kehidupannya.

Mengapa setiap perceraian orang tua, selalu anak yang kena imbasnya?

Setiap ingat kejadian itu, aku selalu menangis di dalam kamar sendirian. Ibuku tidak pernah mengetahui bahwa aku sering menangis setiap malam. Aku hanya tidak ingin membuat ibuku semakin sedih, maka itu aku hanya menangis jika malam sudah tiba.

Sebetulnya tidak ada anak yang ingin orang tuanya berpisah. Mereka pasti memiliki alasan tersendiri mengapa mereka akhirnya memutuskan untuk berpisah. Untuk apa mempertahankan hubungan yang tidak membuat kita bahagia, kan?

Walaupun aku hanya sedikit mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah, namun hidup harus terus berjalan kan?

Namun rasa takut itu tetap saja tak bisa dihindari. Terkadang aku khawatir, apakah pendampingku kelak akan seperti ayahku yang ringan tangan? Atau aku akan mendapatkan sosok laki-laki yang bisa membuat lukaku sembuh? Aku berharap mendapatkan sosok laki-laki yang kedua.

Mungkin hal itu yang selalu membuatku masih takut untuk melangkah maju menuju jenjang pernikahan. Banyak orang bilang jika masih pacaran semua akan terasa sangat baik, bahkan terasa indah. Namun, tidak ketika kita sudah menikah. Kita akan hidup dengan laki-laki yang telah kita pilih untuk menemani sisa hidup kita. Maka dari itu kita harus benar-benar dalam memilih pasangan yang akan menemani hari tua kita.

Laki-laki yang pernah melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua, sama halnya seperti laki-laki yang pernah selingkuh. Sekali mereka melakukan kedua hal tersebut, bukan tidak mungkin mereka akan melakukannya kembali.

Ibuku banyak berkorban demi menghidupi anak-anaknya. Dia rela bekerja banting tulang agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Siapa sih yang tidak rela berjuang dan berkorban demi anak-anaknya? Mungkin jawabannya adalah ayahku! Dia sama sekali tidak pernah mengunjungi rumah kami. Jangankan untuk mengunjungi, untuk sekedar menanyakan kabar kami pun tidak! Apakah laki-laki tersebut masih pantas di sebut sebagai ayah?

Namun kembali lagi jika nanti aku menikah, aku pasti harus mencarinya untuk menjadi wali dalam pernikahanku. Rasanya seperti apa sih jika kalian ada di posisiku? Tidak pernah mendidik, tidak pernah membiayai, tidak pernah ada ketika kita butuh, bahkan menanyakan kabar kita pun tidak. Tapi ketika kita menikah, orang yang telah membuat kita patah hati itu harus ada?

Terkadang terselip rasa iri kepada orang yang mempunyai keluarga yang lengkap dan harmonis. Namun, diriku hanya bisa menjadikan kisah ini cermin untuk keluargaku kelak. Semoga aku dipertemukan dengan laki-laki yang bisa sayang kepadaku dan bisa bersama selamanya sampai maut memisahkan.

Oleh: Kuningyellow1202
Tautan Instagram dan Facebook