Sebenarnya untuk apa diri ini diciptakan?
Adakah yang bisa mendengarkan suara ini?
Mungkinkah hidupku harus berakhir saat ini atau menderita selamanya?
Pikiran-pikiran jahat sedari tadi berputar mengelilingi isi kepalaku, bagaikan kabut yang berkepul tanpa cahaya. Sandaran kepala di jendela bus bahkan tak mampu menahan beban berat ini. Linangan air mata yang terus bergulir menyita perhatian beberapa penumpang dalam sepersekian menit. Tak sedikit dari mereka menatapku dengan penuh empati, memberi perhatian. Hatiku menghangat, tapi tak benar-benar baik.
“It’s okay… aku kuat kok,” ujarku dalam hati, mencoba menguatkan diri.
Gerakan dan hentakan kecil dari dalam perutku menjadi salah satu penguatnya. Aku membelainya dengan penuh kasih sayang.
“Yang kuat ya nak, kita berjuang bersama-sama”.
Aku menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Lelah, tidak punya tujuan, dan tidak tahu harus pergi kemana.
“Semoga aku bisa hidup dengan baik ya di Bandung,” ujarku lagi.
Sesampainya di Bandung, aku melangkahkan kakiku memasuki rumah paman yang juga seorang pendeta. Beliau menyapaku dengan hangat. Senyumnya merekah.
“Bagaimana kondisi janin dalam kandungan kamu?”
Pertanyaan pertama yang dilontarkan paman membuatku tercekat. Aku baru saja datang…
“Pa..paman.. t..tau?”
“Hahaha baguslah kalau baik-baik saja. Ya sudah masuk saja, kamar kamu di paling ujung ya sebelah ruang makan. Makanan sudah ada di meja makan, paman yang masak,” ujar paman seraya berjalan masuk ke dalam rumah dan mengarahkanku menuju sebuah kamar kecil di rumah yang terbilang memiliki gaya semi modern.
“Paman…” Langkahku terhenti sesaat, lalu melanjutkan “Paman… tau dari ibu ya?”
Paman berbalik badan, menatap kedua bola mataku dengan tatapan tak berarti.
“Kamu mau cari kerja disini kan?” Lalu paman sedikit menundukkan kepalanya. “Ibumu malu.”
Sesudah masuk di dalam kamar, aku melemparkan pandanganku mengitari seisi kamar. Tidak terlalu luas, namun minim penerangan. Tak ada jendela. Aku menyalakan kipas angin yang sedikit berdebu. Maklum, mungkin kamar ini sudah lama tidak ditempati.
Aku merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Ternyata memang benar, ibu malu. Malu atas kehamilan ini. Malu atas diriku yang baru saja keluar dari lapas. Ibu… tidakkah sedikit saja engkau mengkhawatirkanku?
Tangisku pecah. Entah sudah yang keberapa kali. Aku merasakan tendangan kuat dari dalam kandunganku. Anakku pasti ikut merasakannya… Maafin ibu, nak…
Keesokan harinya, aku menarik kembali tas punggung dan tas jinjingku. Aku harus pergi dari sini. Begitu aku membuka pintu kamar, paman sedang berdiri tak jauh dari kamarku dengan raut cemas tergambar di wajahnya.
“Kamu yakin mau pergi? Kemana?”
Tanpa menghiraukan pertanyaan paman, aku melewatinya dan mengambil sepatu dari dalam rak sepatu.
“Kamu boleh kok cari kerja disini, tapi… maaf..”
“Aku sudah dengar semuanya paman. Aku memutuskan balik saja ke Samarinda.”
Terbesit kembali obrolan menyakitkan yang kudengar semalam antara paman dan istrinya.
“Kenapa kamu biarkan anak itu tinggal disini bersama kita?! Biarkan dia cari kerja tapi jangan tinggal disini!”
Selesai berpamitan, aku pun bergegas menuju terminal bus. Kembali lagi tanpa tujuan. Pikiranku sangat kalut. Mungkin jika aku mati hari ini, penderitaanku akan selesai. Haha iya juga ya.. apa aku sebaiknya mati saja?
Sebelum menaiki bus, niatku untuk mengakhiri hidup sudah bulat. Lantas apalagi yang sedang kuperjuangkan? Janin tanpa ayah ini? Ia pun juga kesakitan sekarang.
Pernikahan kami yang tertunda, calon suami yang tak bisa dihubungi, ibu yang tak memedulikanku lagi, keluargaku yang tak berperan, kejadian tak disengaja berupa kesalahpahaman yang membuatku divonis tujuh bulan dalam penjara atas kasus narkotika, dan… masih banyak penderitaan lain yang tak bisa kuceritakan. Untuk apa aku hidup?
Di dalam bus aku duduk di samping jendela seperti biasa, dengan tatapan kosong. Di luar sedang hujan dan sedikit macet. Tiba-tiba saja perutku terasa sakit. Rasa mulas yang luar biasa datang. Aku merasakan ini bukan sekadar mulas… Ini gelombang cinta!
Satu bus ikut panik menyaksikan diriku yang tengah kesakitan. Supir bus pun tak mampu berbuat apa-apa, karena lokasi tujuan pemberhentian masih jauh. Aku harus menunggu.
Keringat mulai bercucuran menuruni pelipisku. Aku terus menekan kontak calon suami meskipun sedari tadi hanya nada tunggu yang terdengar. Keajaiban datang! Calon suamiku mengangkatnya.
Aku mengatakan akan segera melahirkan, namun aku cepat menyesali apa yang aku rasa. Calon suamiku terkesan tidak peduli. “Semoga lancar dan kalian baik-baik saja”.
Hanya itu yang diucapkannya. HAHAHA… Aku tertawa kencang. Aku merasa gila. Jiwaku tidak waras. Seisi bus semakin khawatir melihat kondisiku saat ini. Ya, aku sangat kacau.
Enam jam kemudian, bayi kecilku lahir ke dunia. Bayi tampan yang tak bisa kusebutkan namanya. Aku bersalin di sebuah klinik terdekat dari pemberhentian bus yang sedang mampir untuk makan, dengan dibantu beberapa karyawannya. Puji Tuhan aku dan anakku masih diberi keselamatan. Saat ini aku sangat bersyukur. Setidaknya aku masih bisa memberikan harapan pada anakku.
Bibi dari Berau datang menjemput untuk membawaku kembali ke kampung halaman. Menemui keluargaku, termasuk ibu. Aku sedikit ragu menerima ajakannya. Takut kehadiranku menjadi hal yang memuakkan bagi orang lain, lagi. Sesampai di kampung, aku beristirahat sejenak di rumah bibi.
“Bibi bersedia rawat anak kamu. Kamu boleh cari kerja.”
“Tidak bisakah aku disini saja?” tanyaku cepat.
Bibi tersenyum tipis dan duduk di hadapanku. Tanpa disangka, ibuku datang.
“Tidak usah khawatirkan anak kamu. Cari pekerjaan yang baik.”
Mendengar itu, amarahku memuncak. Alih-alih menanyakan kabar, mengapa terus menerus menyuruhku mencari pekerjaan?
“Sedikit peduli bisa kan bu?”
Ibu membulatkan matanya. Amarahnya juga tampak membuncah.
“Kamu kira ibu bilang seperti ini karena tidak peduli?”
Pertengkaran hebat pun terjadi. Aku sudah muak dan tak tahan lagi untuk terus memendamnya. Semua yang tersimpan dalam hati selama ini, aku luapkan tanpa sisa. Apa yang kudapat dari pertengkaran hebat ini?
Aku tidak lagi dianggap sebagai anak. Ibu memutus hubungan darah.
Baiklah, jika itu yang ibu mau. Sebagai anak yang baik, bukankah aku harus menurut?
Kejadian tiga tahun lalu memang sepahit itu. Kini aku telah membuka lembaran baru. Menuliskan kisah hidup yang lebih baik. Semua ini berkat rasa syukur yang berusaha aku tanamkan di hati kecilku.
Aku tumbuh menjadi orang yang kuat sekarang. Ketika aku mempercayai ujian Tuhan tidak ada yang sia-sia, caraku memandang hidup juga akan berubah.
Kini aku hidup bersama orang baik yang Tuhan titipkan untuk menjagaku. Anakku? Dia tinggal bersama bibi. Ia hidup tanpa mengenalku. Keluargaku sudah tidak ada yang menerimaku lagi. Aku hanya sampah di mata mereka. Tetapi tidak untuk calon suamiku yang kini telah terbaring di dalam tanah akibat kecelakaan. Sesekali aku sering mengunjungi dan menumpahkan keluh kesah keseharianku, sama seperti dahulu. Aku tetap menyayanginya.
Terima kasih kepada diriku, sudah bertahan mengarungi kerasnya hidup hingga saat ini…
Aku kuat, aku kuat, aku kuat…
Tuhan selalu bersamaku… Semua orang boleh meninggalkanku, tapi tidak dengan-Nya…
Sekali lagi terima kasih… memilih tuk memerangi gejolak perasaan ini…