Perjalananku Menuju Kesembuhan

Oleh: Nurul

Dilihat:
kali

Bulan terlihat samar di langit, awan yang seperti serabut kapas tipis tampak berjalan beriringan membuatnya timbul-tenggelam. Langit kota Jakarta mendung gelap tanpa terlihat satupun cahaya bintang. Seperti perasaanku beberapa hari terakhir, mendung. Kadang terasa seperti musim gugur yang kering dan temperaturnya mulai dingin. Kadang terasa seperti musim dingin yang penuh badai salju, gelap, dingin, dan hampa. Kadang terasa gabungan dari segala musim-semua emosi yang terbiasa dipendam itu muncul bersamaan, memenuhi kepala serta batinku, dan beberapa kali hampir meledak. Mereka ingin diakui dan diperhatikan.

Layar laptop masih menyala menampilkan halaman kosong. Hanya ada tulisan “Jurnal Emosi Harian” sebagai judul. Dari hasil pertemuan pertama, aku diminta rutin menulis jurnal oleh psikologku, menuliskan seluruh peristiwa penting lengkap dengan emosi yang dirasakan setiap harinya, dan nanti hasil tulisan itu harus dibawa di pertemuan berikutnya. Wajahku tampak kesal, amarahku memuncak tanpa alasan yang jelas. Hal yang mungkin sepele di mata orang lain, dapat dengan mudah membuatku merasa kesal. Selain perasaan sedih dan kosong yang dominan, aku pun mudah marah dan tersinggung. 

Perasaan tidak berharga, tidak layak, dan tidak bisa ditolong sudah lama berteman denganku, apalagi semenjak pandemi. Masa di mana aku harus membatasi interaksi secara fisik dengan orang lain dan mengalihkan semua komunikasi ke jalur daring. Masa di mana masyarakat dianjurkan untuk tinggal di rumah saja dan baru boleh keluar kalau dalam keadaan terdesak. 

Padahal, bagiku dan bagi teman-teman broken home diluar sana, rumah sudah seperti neraka. Sejak SMP aku cenderung menyibukkan diriku ke organisasi, belajar bersama di rumah teman, mengikuti ekskul, atau duduk di kursi kantin sambil melihat ke sekeliling gedung sekolah sampai sore. Alasannya satu, agar tidak cepat pulang ke rumah.

Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan melalui mulut, berulang kali sampai emosiku mereda dan aku merasa tenang. Berbekal informasi dari kanal YouTube milik beberapa tenaga profesional di bidang kesehatan jiwa (psikolog dan psikiater) yang membahas tentang trauma, aku akhirnya mencoba memberanikan diri untuk terhubung kembali dengan inner child-ku melalui sebuah guided meditation. Mengikuti panduan, aku melakukan pernapasan dalam dan memejamkan kedua mata.

Aku berada di tengah hutan yang asri dengan sungai yang mengalir tenang. Aku melihat sekelilingku, merasa nyaman dengan pemandangan di sekitarku. Pandanganku terfokus pada sesosok anak kecil berambut pendek dengan poni, memakai dress putih. Ia tampak sepertiku. Ah, mungkin ini yang disebut inner child. Akhirnya aku menemukanmu, Anna kecil. Batinku sambil berjalan perlahan menghampirinya. 

Anna kecil tampak ketakutan dan menjauh begitu melihatku mendekat. Ia terlihat kesepian. Pelan-pelan aku membujuknya agar rasa takutnya berkurang dan mau bermain denganku. Aku menggenggam tangannya dan mengajaknya untuk melihat kilas balik peristiwa yang sudah terjadi dalam hidup kami. Air mata seketika mengalir deras ditemani rasa marah yang besar saat memori itu melintas. Genggamanku menguat. Tanganku memeluk inner child-ku dan meminta maaf karena membiarkannya memendam luka dan tidak menemuinya terlalu lama.

Saat emosi kami sudah lebih tenang, kedua tanganku menggenggam tangannya, menatapnya, sambil berkata, “Anna, terima kasih sudah menerimaku dan memaafkanku, sekarang aku harus kembali, tapi aku janji akan mengunjungimu lagi, berdialog, dan bermain bersamamu. Kita hadapi luka kita sama-sama.”

Kulihat senyuman menghiasi wajahnya. Aku memeluknya erat sekali lagi lalu kembali ke realita. Aku menghapus air mataku, menarik napas panjang, mencoba tersenyum, dan kembali menulis jurnalku. Perjalananku menuju kesembuhan baru dimulai.

Tumbuh di dalam keluarga disfungsional, lengkap dengan ayah yang emotionally absent dan ibu yang emotional abuse, ditambah pertengkaran kedua orang tua yang sudah seperti makanan sehari-hari membuatku menyimpan trauma. Terbiasa diajarkan untuk mengalihkan emosi dan lari darinya, alih-alih mengakui dan menghadapinya, membuatku ingin menyenangkan semua orang agar bisa diterima dan tidak ditinggalkan. Terbukti pada hasil attachment style test-ku adalah disorganized attachment style di mana aku menginginkan relasi personal tapi juga takut saat orang lain mulai menawarkan kedekatan. Semua itu akibat trauma, menjadikan inner child-ku terluka, dan berdampak di masa dewasaku. 

Atas semua trauma dan pengalaman yang terjadi dalam hidupku, walau harus melalui perjalanan pemulihan yang tidak mudah, aku berjanji pada diriku sendiri untuk memutus rantai itu hanya sampai diriku saja, selesai di sini.

Aku harus pulih secara total agar anak-anakku nanti tidak membawa beban trauma yang belum selesai dari orang tuanya seperti aku, agar aku tidak menyusahkan pasanganku, dan yang lebih utama, agar aku tidak lagi berteman akrab dengan depresi, bergulat dengan mood swings, dan menghadapi episode krisis itu lagi di masa depanku nanti.       

Oleh: Anna M.K. Handayani