Saya gak tahu harus mulai dari mana, karena saya sendiri gak tahu dari mana akar dimulainya. Dari pola pengasuhan yang kurang tepat kah, atau dari hubungan saya dengan suami saya. Yang pasti sekarang yang saya rasa hanyalah sakit yang teramat sangat yang membuat saya bisa menangis tiba-tiba, sedih tiba-tiba, dan selalu terpikir “saya ingin pulang“, pulang ke alam yang berbeda.
Dulu saya selalu menjadi anak yang penurut. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan materi, saya berusaha mencapai harapan orang tua saya agar menjadi anak yang berprestasi. Tak tanggung-tanggung, ibu saya melarang saya bermain sepulang sekolah karena disuruh belajar. Jika saya memaksa, batang sapu lidi atau cubitan kasar akan melayang di badanku.
Hal itu juga terjadi ketika prestasiku menurun dan tak sesuai harapannya. Didikan yang cukup keras dari orang tua membuat saya tertekan, dan beberapa kali menggoreskan luka di lengan hanya untuk merasakan kebebasan, memenuhi rasa ingin tahu dan penasaran. Saya sangat mengerti, bahwa segala kekurangan tidak boleh sampai menjadi penghalang manusia untuk berprestasi. Tapi kadang saya ingin sekali dimengerti bahwa saya juga punya keinginan sendiri sehingga saya akhirnya sering nekat melanggar aturan orang tua. Tapi walaupun begitu, saya masih tetap bisa mempertahankan prestasi saya.
Sampai akhirnya saya dipertemukan dengan lelaki yang saat ini menjadi suami saya yang saya rasa bisa mencintai saya dengan kelembutan, sehingga saya menjadi seorang yang penurut dan selalu menerima apapun yang terjadi pada diri saya. Sampai suami saya berkali-kali meminta izin untuk menikah lagi pun saya terima. Sebelum menikah, dia memang sempat mengatakan kalau dia ingin berpoligami dan saya menyetujuinya apalagi dalam agama kami juga diperbolehkan. Tapi berkali-kali juga saat dia akan menikah lagi, entah bagaimana rencananya itu gagal. Bukan karena saya yang menggagalkan, tapi karena perempuan-perempuan yang akan dinikahinya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
Hingga sampai sekitar 6 tahun lalu, dia kembali meminta izin untuk menikah lagi. Tidak seperti biasanya yang selalu menerima, saya menolak hal itu. Kupikir dia bisa memahamiku, memahami ketidakmampuanku sebagaimana dia pernah menghargai kekuatanku untuk menerima poligami. Tapi saat saya berada di titik terendah hidupku, saat saya jatuh dan lalu menolak hukum Tuhan yang satu itu, kenapa dia bersikap intoleran terhadapku?
Berulang kali dia menjelaskan dan membujuk saya, tidak, mungkin lebih tepatnya memaksa saya untuk menerima keputusannya. Akhirnya saya terpaksa menerima keputusannya. Tapi lagi-lagi entah bagaimana, perempuan yang akan dia nikahi membatalkan rencana pernikahan mereka.
Sekitar 2 tahun lalu, suami saya kembali minta izin untuk menikah lagi dan mengenalkan seorang perempuan. Namun saya keukeuh menolak, saya sudah tak sanggup. Saya merasa bahwa bukan karena agama dia minta menikah lagi. Dia kembali menjelaskan dan membujuk saya, dan berulang kali saya menolak hingga akhirnya memicu perdebatan dan pertengkaran hebat diantara kami.
Setiap pikiran pikiran itu memenuhi kepalaku, selalu berujung keingingan untuk bisa mengakhiri hidup. Apalagi saat saya benar benar merasa sangat sakit, yang ada di kepalaku hanya ada kata mati, mati, dan mati. Tapi saya teringat anak-anak saya, itulah yang membuat saya membatalkan niat untuk bunuh diri. Akhirnya saya terpaksa menerima pernikahan mereka dan memutuskan untuk berpisah dengan suami saya.
Sebelum talak dijatuhkan, saya mendengar kabar bahwa pernikahan mereka diambang perceraian. Bukan hanya saya yang sakit hati, istri kedua suami juga tak tahan karena dipoligami dan berharap dia bercerai dengan saya. Namun suami saya menolak berpisah dengan saya. Tak lama, istri kedua meminta cerai. Suami saya berusaha mempertahankan pernikahan itu, begitu juga dengan saya yang terus membujuknya. Saya merasa bahwa dia jauh lebih baik untuk suami saya terutama dari segi finansial yang bisa membantu usaha yang sedang kami kembangkan, biarkan saya yang mundur. Tapi istri kedua tetap pada pendiriannya, hingga akhirnya pernikahan mereka hanya bertahan seumur jagung.
Sejak saat itu, saya menjadi orang yang mudah sekali overthinking dan tersulut emosi karena hal kecil. Setiap pertengkarang kami selalu saya akhiri dengan permintaan cerai. Saya juga masih sering terpikir untuk bunuh diri, bahkan dengan membawa serta anak-anak saya. Di luar dugaan, beberapa waktu kemudian teman dekat saya memberi tahu bahwa suami saya sudah lama menikah lagi dengan seorang perempuan yang saya dan teman-teman tahu sebagai ‘istri dari sahabat suami saya’.
Awalnya saya sangat tak percaya, karena saat perempuan itu menikah saya dan suami datang ke pernikahannya untuk mengucapkan selamat. Saya segera mengonfirmasi kebenarannya ke suami. Ternyata benar apa yang dikatakan temanku itu, semua hanya tipu daya. Pernikahan itu hanya kedok yang menutupi akad sesungguhnya antara perempuan itu dengan suami saya.
Saya pun marah besar. Saya marah, karena pernikahan dijadikan sebagai lelucon padahal itu adalah sesuatu yang sakral. Saya sakit hati dan kecewa, karena dia tidak jujur kepada saya. Pada saat itu saya benar-benar merasa kehilangan pegangan hidup, semakin menuju titik terendah dalam hidupku. Setelah semuanya terbongkar, dia membawa dan mengenalkan perempuan itu dan juga sahabat suami yang menjadi suami pura-puranya. Di depan mereka, saya memaki-maki mereka sebagai orang yang mempermainkan pernikahan. Pada saat itu saya memutuskan untuk membawa serta pergi anak yang paling kecil, namun suami menahan saya karena khawatir saya berniat bunuh diri bersama dengannya.
Jika dibayangkan saat itu anak saya seperti barang yang diperebutkan. Lelah, akhirnya saya memutuskan untuk menyerah dan pergi sendiri. Saya memutuskan untuk berpisah dengan suami saya, menuntut cerai. Namun hingga saat ini suami masih mempertahankan saya.
Saya dan istri ketiga tinggal di rumah terpisah, suami bolak balik ke rumahku dan rumahnya untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Kedua anak saya juga sudah tahu bahwa kini mereka memiliki dua ibu, tinggal anak terakhir yang berusia 2,5 tahun yang belum saya jelaskan karena dia masih belum mengerti.
Sementara hubungan saya dengan istri terakhirnya bisa dibilang asing, padahal kami tinggal di daerah yang sama dengan rumah yang cukup dekat. Saya juga kehilangan respect semenjak pertengkaran yang terjadi terakhir kali. Sementara hubungan saya dan suami perlahan mulai membaik dalam artian kami sudah jarang bertengkar. Terlebih mungkin saya sudah malas untuk meresponnya sehingga setiap masalah saya biarkan begitu saja, terserah maunya apa.
Sekarang saya lebih fokus ke diri sendiri dan anak-anak, sebisa mungkin menjalani peran saya dengan baik sebagai ibu dan istri tak peduli dia bersikap seperti apa. Seperti hati saya sudah mati terhadapnya. Saya hanya berharap untuk bisa lebih kuat demi diri sendiri dan ketiga anak-anak saya.