Sulit, Bukan Mustahil

Oleh: Alifia Maharani

Dilihat:
kali

Kata orang, masa kecil adalah masa yang paling indah. Masa di mana kita hidup tanpa beban, hanya mengenal canda dan tawa. Mungkin, beban saat itu hanya sekadar tugas matematika atau upacara di awal pekan.

Namun, bagi sebagian anak di usia itu mereka sudah harus menanggung beban berat. Ada yang harus menjadi tulang punggung keluarga atau ada juga yang harus menanggung beban psikis akibat perilaku orang terdekatnya, seperti halnya yang terjadi kepadaku.

Dulu, kukira keluargaku masuk ke dalam tipe keluarga harmonis. Namun title itu tak kudapati setelah pertengkaran kedua orang tuaku dimulai. Apakah saat itu memang baru terjadi, ataukah aku yang baru menyadari, akupun tak tahu pastinya. Saling berteriak satu sama lain, membanting pintu, pun saling melempar barang.

Setidaknya moment itu yang paling membekas diingatanku. Sebab malam itu juga, aku yang mungkin baru bisa membaca serta menulis dapat menggoreskan tinta hitam pada surat yang berisikn keinginanku untuk pergi dari rumah karena sudah tak tahan dengan pertengkaran mereka. Tidak, mereka tidak bertengkar di depan anak-anaknya. Karena aku sedang bersembunyi saat mereka saling berteriak.

Kisahku tak berhenti sampai di situ. Suatu hari, ibuku pergi tanpa pamit. Mulai dari pagi hari hingga menjelang senja, sebuah kabar darinya tak kunjung datang. Ayahku dengan menahan emosi, mengajak kami – aku dan adikku untuk ikut dengannya. Saat itu dengan polosnya kami mengira akan diajak jalan-jalan keliling kota. Namun perjalanan itu nyatanya bukan untuk bersenang-senang. Aku masih ingat tanganku ditarik paksa untuk mengikuti langkah lebar ayahku.

“Kita mau kemana sih, Yah?”

“Jemput ibumu!” jawabnya dengan nada kesal.

“Ibu? Mau jemput dimana?”

Tak ada niatan dari ayahku untuk menjawab. Ia terus melangkahkan kakinya dan berhenti di depan sebuah rumah.

“Ini! Ibumu ada di sini!”

“Ini rumah siapa?”

“Ini rumah mantan pacar ibumu!”

Saat itu aku tak paham dengan kalimat ayahku. Mantan pacar? Apa itu

Sebelum mulutku terbuka untuk bertanya lagi, ayahku sudah menggedor pagar rumah itu dengan keras. Membutuhkan waktu yang lama hingga pintu tersebut dibuka, dan munculah seorang pria di hadapan kami. Aku tak ingat persis apa yang mereka bicarakan. Yang aku ingat hanya ayahku menanyakan tentang keberadaan ibuku. Lebih tepatnya, ayahku menuduh pria itu menyembunyikan ibuku di rumahnya, yang tentu saja dibantah langsung olehnya.

Lambat laun, aku mulai paham maksud dari kalimat ayahku waktu itu. Ternyata ayahku berpikiran bahwa ibuku “menyeleweng” dengan mantan pacarnya. Namun, aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah karena semua terasa abu-abu. Apakah memang tuduhan ayahku benar, ataukah ayahku hanya parno saat ibuku sedang berada di tempat lain. Yang kutau, kejadian tersebut sangat berdampak besar pada hidupku.

Semakin aku beranjak remaja, aku mulai mengenal rasa suka terhadap lawan jenis. Tak jarang aku menangis di rumah karena masalah yang terjadi di sekolah. Selama ini aku hanya berusaha menyembunyikannya dari keluargaku. Rasa malu membuatku enggan untuk bercerita pada siapapun.

Hingga suatu hari ibuku masuk ke kamarku dan menemui aku sedang menangis. Mataku sembap dan basah.

“Kamu kenapa?” tanya ibuku.

“Nggak, nggak kenapa-kenapa,” jawabku dengan suara bindeng. Siapa pun akan tahu bahwa aku tidak baik-baik saja. Memang hari itu menjadi salah satu hari beratku pada waktu itu. Pacar pertamaku, selingkuh di depan mataku.

“Kenapa? Cerita aja sama ibu,” bujuknya.

Aku menimbang, apakah akan menceritakannya atau tidak. Akhirnya kuputuskan untuk mempercayainya dan mengesampingkan rasa maluku. Aku menceritakan masalahku untuk pertama kali.

“Makanya belajar yang bener, nggak usah pacaran.”

Sungguh kalimat yang menohok dari ibuku. Setelah mengatakan kalimat itu dengan santai, ia pun meninggalkanku begitu saja. Detik itu juga, aku bertekad tak akan lagi bercerita pada mereka. Tak sekali pun, tak sedikit pun, apa pun itu.

Tak akan ada lagi aku menangis di rumah. Aku akan tersenyum, tertawa di depan mereka. Aku akan menelan semua masalahku sendiri, tanpa perlu mereka tahu. Akan ku buat mereka berpikir aku tak pernah punya masalah apa pun. Sakit hati? Pasti. Dendam? Mungkin. Tapi itu adalah janji yang kubuat dengan diriku sendiri.

Semakin aku beranjak dewasa, aku mulai sadar aku memiliki trust issue. Dengan adanya episode perselingkuhan di hidupku, tak jarang aku menaruh rasa curiga dan dengan gampangnya menuduh pasanganku bermain api di belakangku. Tak sedikit pula yang terbukti benar. Hingga akhirnya, semua itu menghancurkanku dari dalam. Menghancurkan rasa percaya diriku hingga menumbuhkan perasaan “I am not enough”. Keinginan untuk bunuh diri? Pasti ada. Tapi kurasa nyaliku tak sebesar itu.

Namun semua itu hanyalah kisah masa lalu. Kini aku hidup bahagia dengan dikelilingi orang-orang yang mencintaiku dan menerimaku. Orang tuaku? Ahhh.. semakin tua mereka semakin harmonis saja. Entah apa yang terjadi, nyatanya mereka menyimpan rasa cinta yang mendalam terhadap satu sama lain.

Ayahku meninggal tahun lalu, dan di akhir hidupnya ibuku yang setia merawat dan menemani di sisinya. Hingga hari ini pun ibuku masih rindu dengan ayahku, masih menyimpan fotonya, dan masih mengingat semua kebaikannya.

Berdamai dengan masa lalu memang sulit, tapi bukan mustahil. Aku mulai dengan berdamai dengan diri sendiri, berusaha menerima semua kekuranganku, dan meyakinkan diri bahwa I am enough. Tak perlu jadi orang lain untuk bahagia. Perlahan aku mulai berpikir.

“Kalau dulu aku nggak kena masalah itu, mungkin aku nggak akan sesabar ini, sekuat ini, ataupun sebahagia ini.”

Asalkan kita bisa mengambil pelajaran dari masa lalu, maka kita akan baik-baik saja. Setidaknya itu yang aku alami.

Oleh: Pluviophile108
Tautan Instagram dan Facebook