Sebenarnya aku selalu kebingungan saat ingin mengungkapkan apa yang kurasa. Oleh karena itu aku lebih memilih untuk memendamnya sendiri. Tapi kali ini aku akan mencobanya agar bebanku bisa sedikit lebih ringan.
Aku pikir, semua luka batin itu berawal dari masa kecilku. Aku merupakan anak bungsu perempuan dari 3 bersaudara, dua kakakku laki-laki. Sejak kecil kami bertiga selalu dididik keras oleh ayah. Ayah adalah seorang guru di SD di daerahku. Dia juga otoriter, semua peraturan dan kekuasaan ada di tangannya. Tak segan ayah membentak bahkan memukul kami ketika ada hal yang tak sesuai dengannya.
Ayah beralasan didikan itu bisa membuat kami semua memiliki pribadi yang tangguh menghadapi kehidupan orang dewasa yang keras. Tapi kenyataannya justru perlakuan ayah meninggalkan rasa trauma, ketakutan, dan perasaan ilfeel ketika berhadapan dengannya.
Aku akan menceritakan satu per satu kejadian yang masih teringat sampai sekarang. Kisah pertama adalah ketika aku masih kecil. Entah di usia yang ke berapa tahun, aku pernah merengek ingin dibelikan es krim. Bukan es krim yang mahal, aku hanya ingin es krim rasa coklat atau buah-buahan yang biasa dimakan oleh teman-temanku yang lainnya. Aku sangat menyukai es krim, apalagi saat itu cuaca sedang panas dan rasanya memakan es krim sangatlah menyegarkan.
Aku terus merengek dan membujuk ayah agar aku bisa membeli es krim kesukaanku. Tapi ayah tidak memedulikanku. Tak berapa lama ayah bangkit dan menarik tanganku.
“Sini kamu, berisik banget sih nangis terus. Gak liat ayah lagi ngapain?”
Tanpa basa-basi ayah menyeretku ke kamar mandi. Aku pun sadar aku telah mengganggu ayah, aku memberontak sekuat tenaga mencoba melepaskan pegangan tapi tak bisa.
“Ampun yah, aku gak mau. Maaf yaah..”
Dengan wajah marah, ayah mengguyur sekujur tubuhku dengan air bak yang dingin. Berkali-kali, sampai aku diam. Belum cukup sampai disitu, ayah membawaku masuk ke kamar dan mengunciku di dalam. Aku yang masih kecil semakin menangis kencang ketika diperlakukan seperti itu. Rasanya bercampur aduk: sedih, takut, dan bingung.
Aku tak mengerti, kenapa ayah memarahiku sampai seperti itu. Apa karena aku meminta es krim? Memang apa salahnya aku makan es krim.
Aku memukul-mukul pintu kamar agar ayah mendengar rengekanku, berharap untuk dibukakan pintu. Apalagi badan dan bajuku basah kuyup yang membuatku menggigil.
“Huhuhu… ayah buka yah..”
Usahaku berhasil. Tak lama ayah masuk dan dilanjutkan dengan cubitan demi cubitan di paha, tangan, dan pipiku agar aku berhenti menangis. Bukannya berhenti, aku malah menangis semakin keras karena kesakitan. Tapi karena ayah tak berhenti mencubitku, aku terpaksa menahan isak dan rasa sakit itu.
Ibu yang terlambat datang langsung melerai ayah dan memelukku. Tangisku yang berhasil ku tahan kembali meledak, bagiku ibu adalah tempat berlindung yang paling aman. Ibu memiliki sifat yang berbanding terbaik dengan ayah. Meskipun terkadang ibu tak bisa menjaga lisannya, ia tak sekasar ayah dari segi perkataan dan perbuatan. Sedangkan ayah sangat kaku, keras kepala, dan berpikiran sempit.
Ibu mengusap-usap luka cubitan di seluruh tubuhku, menyeka tangisku, dan memberiku handuk agar tak kedinginan. Ibu juga mengajakku ke kamar mandi untuk bilas agar tidak terkena flu. Pada saat itu aku sadar, ibu berusaha sekuat tenaga menahan isak tangisnya. Karena setiap kali ayah memarahi kami, ibu tak bisa berbuat banyak selain berdiri di sisi kami ketika situasi mulai membaik.
Aku pernah melihat ibu membela kami, anak-anaknya, dari perilaku ayah yang kasar. Ibu malah kena marah, bahkan ayah pernah mendorong ibuku hingga kepalanya terbentur kursi. Sejak saat itu ibu tak berani menghentikan ayah dan hanya melihat kesedihan anak-anaknya dengan pilu. Kemudian menenangkan kami.
Lalu aku pernah menyaksikan langsung bagaimana kakakku dipukul oleh gayung sampai gayung itu terbelah. Aku sebagai anak bungsu semakin ketakutan dan menjadi tak percaya dengan ayah.
Setiap kali ayah mengamuk, ibu selalu mengingatkan kami untuk tetap menghormatinya. Ibu bilang “Sekeras dan sekasar apapun ayah kamu jangan pernah melawan, karena bagaimanapun itu adalah tetap ayahmu”.
Sejak saat itu setiap kali ayah bertingkah, aku lebih memilih diam. Ketika aku sudah mulai tak baik-baik saja, aku memutuskan keluar jalan-jalan mencari angin, beli makanan, atau ke rumah teman.
Kemudian ketika SD, aku tumbuh menjadi anak yang tidak suka MTK dan sulit memahami pelajaran itu. Saat itu aku meminta bantuan ibu untuk mengajarkan MTK, tapi ibu sedang sibuk jadi ibu memintaku untuk minta diajarkan oleh ayah. Sebenarnya saat itu ada rasa takut meminta bantuan ayah karena aku pernah melihat kakak- kakak dibentak saat meminta bantuan ayah untuk mengajarkan tugas juga. Benar saja, saat aku diajarkan ayah, aku banyak dibentak.
“Anak bodoh, gini aja gak tau?”
“Ini udah diajarin berapa kali masih tetep gak bisa? Kamu bodoh keturunan siapa sih?”
Umpatan-umpatan itu kerap dilemparkan kepada aku dan kakak-kakakku ketika tidak bisa memahami pelajaran. Ayah memang tidak menuntut anak-anaknya mendapat nilai bagus. Tapi tetap saja perkataan itu membekas di hati.
Ayah lebih banyak mengkritik, tidak pernah sedikitpun memuji atau mengapresiasi anak-anaknya atas keberhasilan yang mereka capai. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan ranking, tapi ayah tetap memandangku sebelah mata. Bahkan dengan aku menyontek dan mendapatkan nilai tertinggi pun ayah tetap tidak memujiku. Padahal aku ingin sekali dipuji dan dipeluk ayah.
Kamu adalah anak ayah yang cantik dan hebat, aku ingin sekali mendengarkan kata-kata itu sekali saja keluar dari mulut ayah.
Hari berganti hari, kehidupan masa kecilku dipenuhi awan gelap hingga sekarang. Karena kejadian-kejadian itu, aku tumbuh menjadi gadis yang seperti tak tahu arah. Puncaknya ketika SMP ayah, ibu, dan kakak-kakakku pernah mengataiku hitam, pendek, gendut dan bodoh.
Aku tau mungkin itu hanya sebuah candaan, tapi saat itu aku sedang berada di fase insecure karena sejak aku masuk SMP aku tidak pernah mendapatkan teman dekat. Di kelas aku selalu dikucilkan karena aku tidak pintar dan juga tidak secantik teman-teman yang lain. Sejak saat itu aku semakin malu dan minder jika diajak bermain oleh teman-teman. Aku banyak mengurung diri di kamar.
Aku semakin tertutup dan takut saat berhadapan dengan orang-orang. Takut mereka akan memandangku buruk. Untungnya kini situasi mulai membaik, setidaknya dari sisi ibu yang mulai bisa menjaga lisannya dan berpikiran terbuka. Sedangkan hubunganku dengan ayah masih renggang.
Aku selalu berdo’a agar ayah bisa mengubah perilakunya dan mengontrol tempramennya agar aku bisa lebih dekat dengan ayah.