Wanita dan Kantor

Oleh: Nurul

Dilihat:
kali

Sudah lama saya menunda untuk menulis ini. Akirnya saya memberanikan diri untuk speak up, semoga tulisan saya bisa menjadi pelajaran untuk orang lain

Saya memulai karir secara profesional di institusi formal sejak usia 22 tahun, sebelum lulus kuliah, tepatnya tahun 2010. Saya memulai menjadi guru Geografi di SMA Islam Negeri di Kabupaten Nganjuk.

Berkarir dari jalur GTT (Guru Tidak Tetap) tidak memberiku pilihan untuk mendapat gaji lebih tinggi. Hingga pilihan bekerja lain ada di luar kantor. Ya, saya akhirnya membuka les private waktu itu.

Masa muda dimana ambisi saya masih begitu besar, ingin mendapatkan income yang lebih besar dan jam kerja yang jelas (bukan random), maka saya memutuskan resign tepat di satu tahun saya bekerja. 

Tahun 2011 saya melamar di salah satu bank BUMN dan alhamdulillah diterima. Agustus 2011 mulailah saya meniti karir sebagai bankir.

Selang 2011–2014 tidak ada yang membuat saya berontak. Senioritas, atasan yang sulit sudah berkali-kali saya rasakan, masih dalam batas wajar. Selama 3 tahun tersebut saya beberapa kali pindah posisi, dimulai dari sebagai CS, back office, teller dan terakhir sebagai marketer lending.

Pada tahun 2015, saya menikah dan selang 3 bulan kemudian hamil. Karena saya menikah di usia 27 akhir, dan suami usia 30 tahun, kami memang memprogram untuk memiliki buah hati di awal pernikahan.

Saya yang biasa aktif, agak kaget juga ternyata di bulan-bulan pertama kehamilan mendapati tubuh sering lemas, mual, tidak nafsu makan, dan perasaan jadi lebih sensitif. Saya tinggal sendiri di daerah lokasi kerja. Saya ditempatkan di Kediri, sedangkan suami di Malang dan orang tua di Nganjuk. Terlalu melelahkan jika harus bolak–balik. Saya biasa berangkat kerja jam 7 pagi dan pulang antara jam 5 sore hingga jam 9 malam, jadi nyaris seluruh hari saya habis di kantor.

Kondisi kehamilan membuat saya lebih sedikit bergerak dan tidak bisa bergerak cepat. Saya juga sempat dirawat inap di awal kehamilan. Hal ini pun berdampak ke pencapaian kinerja saya sebagai marketing. Target jauh dari angka yang ditetapkan. Saya menjadi bulan-bulanan di setiap rapat kantor bahkan rapat kantor wilayah. Jadi tidak ada toleransi apakah kondisi hamil atau sakit, ketika target tidak tercapai, kinerja saya tetap dinilai buruk, walaupun sebelumnya saya pernah mencapai 4x target bulanan yang saya capai dalam waktu 1 bulan.

Suami dan orang tua hanya bisa bilang “Sabar, atasan jangan dilawan tapi diikuti saja”. Awalnya saya tahan terhadap semua sindiran dan kritikan pedas di meja rapat, tapi lama kelamaan akhirnya saya tumbang juga ketika di Desember 2015 Pemimpin Cabang saya bilang “Apa yang bisa anakmu tiru darimu jika ibunya tidak bisa memberi contoh yang baik?!” 

Perkataannya benar-benar membuat mood saya buruk. Belum berhenti sampai disitu, saya masih dibandingkan dengan dirinya-yang juga perempuan-ketika dulu hamil tidak selemah saya, lalu lanjut membandingkan saya dengan teman kantor posisi teller yang juga hamil tapi masih tetap bisa aktif. Percayalah keletoy-an saya tidak saya buat-buat.

Teman kantor hanya memberi support sekedarnya. Bukan support yang menguatkan mental agar saya tetap bertahan di kantor.

Akhirnya 21 Desember 2015, ketika usia kandungan saya 4 bulan, saya memutuskan resign. Bulan-bulan sebelumnya saya sudah mengajukan surat resign namun belum ditanggapi.

Banyak yang bilang bahwa mental saya tidak kuat terhadap tekanan, buktinya banyak wanita lain yang masih tetap bisa bertahan dibawah tekanan. Saya hanya berpikir, saya yang lebih paham diri saya sendiri dan bagaimana saya melindungi anak saya. Saya pikir keluar dari lingkungan kerja toxic akan lebih sehat untuk mental saya dan tentunya lebih sehat untuk bayi yang sedang saya kandung.

Harapan saya untuk semua lembaga/kantor yang mewajibkan wanita hamil bekerja untuk sedikit menoleransi tekanan terhadap mereka. Dan yang harus dipahami, bahwa kondisi kehamilan setiap wanita adalah berbeda. Bukan karena kebetulan kehamilan wanita yang menjadi pemimpin kantor sangat mulus, lantas dia berhak menghakimi wanita lain yang bekerja.

Harapan juga untuk lembaga yang memberikan hak cuti melahirkan, alangkah bijaknya jika cuti ini fleksibel. Jika melihat kondisi ibu hamil di awal kehamilan lemah, bisa diberikan cuti beberapa minggu atau selama sebulan di awal kehamilan. Kemudian cuti melahirkan bisa 2 bulan. Sangat berharap suatu saat lembaga di Indonesia bisa memberikan cuti seperti perusahaan LN yang sangat manusiawi memberikan cuti lebih dari 3 bulan.

Oleh: Mama Mitha
Tautan di Instagram dan Facebook

——-

Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 82 Ayat 1, Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Lebih lanjut Pasal 84 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa setiap wanita yang cuti hamil berhak mendapatkan upah penuh. 

Karena tidak mudah untuk menghitung HPL (Hari Perkiraan Lahir), beberapa perusahaan memberi kebebasan soal kapan cuti hamil akan diambil sepanjang totalnya 3 bulan. Misalnya 1 bulan di awal kehamilan, 1 bulan menjelang HPL, dan 1 bulan setelah persalinan. Cuti hamil/melahirkan juga bisa diperpanjang, diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.

Sayangnya, masih ada perusahaan atau institusi yang tidak memberi kebebasan mengenai cuti hamil/persalinan sehingga akan memberatkan ibu. Selain itu, ibu hamil juga masih rentan mendapatkan diskriminasi dari rekan kerja dan atasan sehingga membebani mental ibu hamil yang bekerja. Diskriminasi bisa berupa tekanan secara verbal, ancaman pemecatan, cuti paksa tanpa bayaran, tak disediakan tempat untuk menyedot air susu ibu, dan dilarang melakukan pekerjaan tertentu. 

Jika hal tersebut terjadi, ibu hamil yang bekerja bisa mengajukan aduan kepada Dinas Tenaga Kerja, meminta bantuan pada lembaga swadaya masyarakat tertentu, atau bergabung dengan serikat pekerja untuk dibantu pencarian solusinya.

Sumber: https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/hak-pekerja-perempuan/hamil-dan-melahirkan, https://www.femina.co.id/career/mengalami-diskriminasi-di-kantor-saat-sedang-hamil-ini-yang-bisa-dilakukan