Yang Kuingat, Aku Hanya Sakit Lambung

Oleh: NN

Dilihat:
kali

Pertengahan Januari 2021, itu pertama kali aku didiagnosa depresi. Aku sendiri tak tahu penyebabnya. Yang kuingat, sejak awal Desember 2020 aku sering mengalami serangan fisik yang datang secara tiba-tiba.

Jantung berdebar-debar… kencang. Nafas pun jadi sesak, kepalaku pusing berputar-putar seakan-akan isinya ingin tumpah semua. Tubuhku lemas dan menggigil kedinginan, perut sakit dan otot kaki melemah. Aku kira aku sedang menghadapi sakaratul maut. Aku pun dilarikan ke IGD.

“Tuhan, aku belum siap berpulang. Aku belum cukup beramal, dan anak-anakku masih kecil”

Kutunggu berita terburuk dari dokter IGD, tak ku sangka beliau hanya berkata, “Kamu sakit lambung”.

Dari situ, aku mulai mengkonsumsi obat-obatan untuk lambung. Namun, tetap saja, setiap 5 hari sekali aku selalu dilarikan ke IGD lagi, karena ternyata kondisiku makin memburuk dengan asam lambung yang tinggi. Aku selalu cemas, cemas berlebihan yang tak masuk akal. Cemas itu datang ketika aku merasa sendirian, ketakutan, dan tak bisa kusangkal aku merasa akan segera berpulang ke pangkuan Tuhan.

Ketika kulihat wajah anak-anakku, aku tak bisa merelakan perasaan-perasaan ini terus berputar di kepala, apalagi memikirkan kematian diusiaku yang masih muda di mana peranku sebagai ibu yang bertanggungjawab terhadap anak-anakku masih sangat dibutuhkan.

Aku jadi teringat momen itu, saat kehamilan anak pertama memasuki usia 3 bulan, ia selingkuh. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ia lakukan padaku sangat parah, bahkan terparah sepanjang usia rumah tangga kami. 3 Minggu sebelum melahirkan, aku mendapati suami baru pulang subuh. Ia dan selingkuhannya menginap di salah satu hotel, lalu ia mengantarkan selingkuhannya ke stasiun untuk pulang kampung.

Ketika ia ketahuan selingkuh, ia marah luar biasa. Aku dipukul hingga berdarah, diseret dan selalu menggunakan wajah sebagai target pukulan.

Aku beri tahu dia dengan halus, “Kamu tahu kah, dalam Islam melarang suami untuk memukul istri di area wajah, karena itu haram”

Ia jawab, “Ya itu untuk didikan kamu! Kamu tuh perlu dididik agar nggak ngelawan!”

KDRT berulang lagi, saat ia memukulku lagi – ia bilang “Kemarin kamu larang aku mukul di wajah!” Akhirnya pantatku yang dipukuli, dari situ dia serang terus area pantat. Ia memukul pantatku dengan payung hingga payung itu patah. Sepatah hatiku.

Aku hanya mengutarakan apa yang aku rasakan. Jadi ketika aku bilang “Aku sakit hati”, dia anggap itu sebagai perlawanan, sehingga bagian mulutku juga yang selalu dipukul. Berargumen dengan dia membuatku sama sekali tidak aman.

Aku tidak habis pikir, setiap kali ia ketahuan selingkuh, aku yang dipukul. Mereka pun masih meneruskan perselingkuhan meskipun aku sudah melahirkan. Dan saat ingin melarikan diri, aku bingung, siapa yang akan menerimaku. Keluargaku terus memintaku untuk tetap bertahan.

Hingga anak pertamaku berusia 1 tahun, aku masih dalam proses pemulihan batin. Hubungan kita sangat toxic, kadang manis tapi besoknya kami berantem. Hari-hari ketika menjalani kehamilan sampai mengurus anak jadi sangat sulit, karena masih ada trauma dari tindakan suami.

KDRT membuatku meminta cerai padanya. Namun, ia tak mau diceraikan. Bukannya memperbaiki hubungan ia malah memaksaku untuk hamil lagi, agar aku tak bisa menggugat cerai dia. Dia sengaja melakukannya agar aku merasa punya beban yang mengikat jika aku hamil lagi.

Ketika akhirnya aku dikabarkan hamil lagi, aku jadi sangat stres. Kehamilan yang tak kuinginkan karena kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh suamiku. Aku baru bisa menerima kehamilan ketika kandungan sudah berumur 7 bulan.

Sehari setelah melahirkan, aku ditinggal kerja. Semua pekerjaan rumah kukerjakan sendirian, sambil mengurus anak pertama yang baru 1 tahun lebih – Masa-masa dia aktif. Aku sempat stres di minggu ke 3 setelah melahirkan. Mengurus anak keduaku dengan kondisi yang belum stabil karena trauma tindakan suami, yang kurasakan hanya lelah luar biasa mengurus 2 anak yang masih kecil-kecil. Di saat seperti itu, kutinggalkan anak-anakku, masuk ke kamar dan menangis sejadi-jadinya.

Aku terus menyalahkan dia atas kehamilan keduaku, hingga sekarang. Aku tak siap punya anak lagi. Punya anak itu tidak sebatas memberikan makan dan minum. Kita memberikan hidup kita untuk mereka, tanggung jawabnya besar. Ketika kubahas masalah ini, dia selalu balik marah,

“Yang udah ya udah, gak usah dibahas lagi. Ini udah terjadi, mau diapain lagi! Ini udah jadi tanggung jawab kita berdua, ngapain dipermasalahkan lagi!”.

Padahal yang kuharapkan hanya kata “maaf”. Itu sudah cukup untuk membuatku tenang. Bukan dengan gampang ia bilang, “Ya udah terima aja!”.

Tak ada dukungan dari siapapun, bahkan dari keluarga pun tidak. Mereka menganggap ini adalah hal biasa dalam rumah tangga, jadi semuanya kutelan sendiri karena di sisi lain suamiku ini adalah pilihanku sendiri. Aku juga merasa bahwa orang tua menganggap akan memiliki beban lagi kalau aku harus kembali pada mereka dengan status janda.

Emosiku pun jadi tak stabil. Setiap malam aku khawatir dan insomnia, karena selalu teringat suami yang sudah selingkuh dengan wanita lain. Tahun berganti, namun hubunganku dan suami selalu tidak akur. Aku berusaha melayani dia sebaik mungkin, memenuhi kebutuhannya. Namun, di sisi lain aku merasa bodoh, untuk apa aku bekerja keras memuaskan dia, sedangkan dia tetap mencari orang lain di luar sana.

Aku tak pernah tahu dampak kedepannya seperti apa dari semua kejadian yang menimpaku ini. Bahkan ketika didiagnosa depresi pun aku merasa keadaanku tidak sedang banyak pikiran. Entah mengapa aku tiba-tiba dinyatakan depresi setelah 6 dokter umum bilang aku cuma sakit maag. Aku pun tidak percaya ketika dokter bilang aku mengalami depresi. Yang aku ingat, aku hanya mengalami asam lambung tinggi.

Oleh: Selfer
Tautan di Instagram dan di Facebook