Barangkali salah satu alasan Tuhan menciptakan binatang adalah agar manusia bisa belajar darinya. Pelajaran pertama yang diberikan binatang pada manusia dan tercatat dalam literatur mungkin berasal dari gagak. Setelah membunuh adik kandungnya, Habil, Qobil diceritakan meletakkan jenazahnya ke dalam kantong dan menggendongnya ke mana-mana sambil didera penyesalan. Ia tak tahu harus melakukan apa. Takut jika ia meninggalkannya begitu saja maka akan ada binatang buas memangsa jenazah adiknya. Saat itulah Tuhan mengutus dua ekor gagak ke hadapan Qobil. Dua gagak itu bertarung hingga salah satunya mati. Gagak yang masih hidup kemudian menggali-gali tanah untuk mengubur gagak yang sudah mati. Itulah yang kemudian ditiru oleh Qobil.
Ada banyak teknologi manusia yang terinspirasi dari hewan. Misalnya teknologi pesawat, GPS, dan kompas yang terinspirasi dari burung. Sampai teknologi sesederhana pisau lipat pun terinspirasi dari hewan: cara kerja kuku kucing. Ya, para hewan adalah para “guru” bagi manusia. Aku pun mengambil kesimpulan, barangkali Tuhan mengirimkan kucing-kucing padaku agar aku juga bisa menarik pelajaran dari mereka, seperti Qobil yang diajari gagak.
Begitu banyak kucing kampung yang singgah di hidupku. Awalnya mereka datang untuk menumpang makan, minum, tidur, atau buang air di kotak pasir. Beberapa memutuskan untuk menetap seolah mendaftarkan diri menjadi kucing penjaga rumah. Tiap satu kucing pergi, maka tak lama kemudian akan ada kucing pengganti yang mendatangi halaman depan rumah keluargaku. Saking seringnya mereka berganti, ada kalanya saat melihat foto-foto lama mereka pun aku sampai pernah lupa nama segelintir kucing-kucing itu.
Hal pertama yang kupelajari dari kucing adalah betapa kilatnya mereka berlari menghampiri saat namanya dipanggil ketika makanan dibagikan. Sering hanya dengan menggoyangkan stoples berisi biskuit kucing sampai menghasilkan suara “trek trek trek”, kucing-kucing itu akan langsung melesat mendatangi kami, bahkan meski awalnya ia berada di tempat yang jaraknya agak jauh dari rumah. Aku pun berpikir, jika kucing saja langsung tanggap menghampiri jika namanya dipanggil, mengapa aku malah kadang menunda-nunda waktu salat setelah azan berkumandang? Bukannya azan adalah panggilan dari Tuhan dan salat sendiri merupakan makanan spiritual, kebutuhan primer bagi pemeluk agama Islam sepertiku? Kesadaran ini menghampiriku di bulan Ramadhan beberapa tahun yang lalu. Lumayan membakar semangatku untuk lebih berusaha salat di awal waktu. Setiap azan berkumandang aku berpikir, “Nggak mau kalah dari kucing.”
Sayang efek dari inspirasi ini tidak bertahan selamanya. Ritme ibadahku kemudian naik-turun sebagaimana kondisi mood-ku. Naik turunnya mood-ku yang seperti papan jungkat-jungkit bukanlah kondisi moody biasa. Ya, aku didiagnosis mengidap bipolar sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kondisi yang membuatku sering meragukan keimananku sendiri. Baik karena faktor dari dalam diri, maupun faktor stigma yang pernah ditancapkan orang-orang di sekitarku bahwa kondisi ini terjadi karena kurang iman dan syukur. Hingga kini, setiap aku mulai meluncur menuju kegelapan, sulit rasanya untuk benar-benar terbebas dari pikiran, “Mungkin bipolar ini adalah hukuman atas dosa-dosa masa laluku yang belum terbayar lunas.”
Lucunya, pikiran ini hanya berlaku untuk diriku sendiri. Ketika berhadapan dengan sesama penderita bipolar, jika mereka mulai down dan berpikir soal dosa, kurang iman, dan hukuman Tuhan, aku bisa mengatakan bahwa ini semua hanyalah salah satu dari ujian hidup dariNya. Tapi jika gejolak itu terjadi padaku, aku sulit mengampuni diri sendiri. Aku bisa bereaksi marah bahkan meledak jika stigma “kurang iman” itu ditamparkan oleh orang lain kepadaku, terutama jika pelakunya adalah ayah. Tapi saat aku sedang sendirian, sebagian alam bawah sadarku tampaknya membenarkan kata-kata mereka. Rasanya seperti dijerat oleh benang laba-laba. Meronta ingin lepas, tapi tak kuasa. Aku ingin berontak dari diriku sendiri. Dari menjadi seorang aku.
Jika mood-ku sedang normal, maka ibadah bisa terasa lumayan nikmat bagiku. Aku bisa bangun pagi hari sebelum subuh, melakukan rentetan ritual pagi seperti membaca Qur’an, zikir pagi, dilanjutkan dengan salat dhuha dan membaca Doa Ukasyah. Di sore hari, aku akan membaca zikir sore. Lalu di malam hari, sebelum tidur, aku akan berwudu dan melakukan salat malam berupa salat hajat atau salat tahajud. Umumnya orang melakukan salat malam setelah tidur dan bangun di sepertiga malam. Tapi jika seperti itu aku takut bakal kebablasan dan tidur sampai pagi lalu melewatkan salat malam. Selain itu dengan berwudu dan salat malam sebelum tidur, aku berharap bisa terhindar dari gangguan setan, mimpi buruk, dan bisa bangun lebih segar esok pagi.
Nikmat sekali, rasanya seperti lebih terkoneksi dengan sang Pencipta dan energi semesta. Udara seolah jadi lebih ringan dan segar. Menjalani hari juga jadi lebih bersemangat. Aku yang biasanya mager ini tergerak untuk berolahgara secara rutin, setidaknya satu set pemanasan plus pendinginan ringan. Biasanya hal ini diikuti dengan rentetan kebetulan atau kejadian kecil yang menyenangkan. Rasanya ada saja hal yang membuat hari-hari jadi lebih berwarna dan menggairahkan untuk dijalani. Aku bisa lebih fokus mengerjakan sesuatu sampai selesai dan optimis dengan hasilnya.
Sebaliknya jika mood-ku sedang drop, aku merasa seperti sedang dirasuki roh kukang pemalas. Punggungku seolah menebal menjadi besi yang lengket pada magnet berupa kasur. Mataku lengket pada layar laptop atau ponsel, tanpa produktivitas yang berarti. Hari-hari berjalan begitu lambat sekaligus begitu cepat. Terasa lambat karena aktivitas fisikku menurun drastis. Tapi tiba-tiba saja hari sudah malam lagi dan berganti menjadi esok.
Segalanya terasa hampa atau malah menyebalkan. Segenap inspirasi yang kukumpulkan dari berbagai buku, film, percakapan dengan orang lain ataupun pengalaman sehari-hari seakan buyar ditiup badai gurun. Kenangan-kenangan dan pikiran buruk pun bermunculan, membuatku bertanya-tanya mengapa jantung ini begitu keras kepala untuk terus berdetak.
Seiring dengan insomnia demi insomnia yang kualami setiap malam, dilanjutkan dengan bangun kesiangan dan salat subuh yang dikerjakan di waktu salat dhuha, ritmeku berubah berantakan. Kurang tidur memperburuk derajat anxiety-ku. Apa pun yang kuikrarkan untuk kukerjakan hari ini pada akhirnya akan terus tertunda entah sampai kapan. Aku hanya mengerjakan ibadah-ibadah wajib, itu pun tak di awal waktu. Konten-konten agama kehilangan daya tariknya kalau tidak terasa begitu menghakimi dan menakutkan. Kata-kata mulai menghilang dari kepalaku. Aku ingin mengakhiri semua fase down itu, tapi rasanya seperti mendaki tebing jurang yang begitu curam. Betapa menyenangkannya jika aku bisa menghilang dalam tidur tanpa rasa sakit. Sayang, sebagai orang yang masih berusaha mempertahankan imannya aku tahu bahwa setiap akhir hidup pasti memiliki konsekuensi. Konsekuensi yang sungguh fatal jika aku tak mempersiapkan diri bagi kehidupan sesudah mati. Hidup segan, mati tak mau, adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan fase-fase gelapku.
Karena ‘roller coaster’ yang sering kurasakan itulah aku sempat menangis saat Ramadhan tahun 2022 tak sengaja menemukan postingan yang di-share seorang friendlist di Facebook. Postingan aslinya diunggah oleh Sakinah Alhabshi, seorang emotional spiritual coach di Stanford Health Care. Postingan berupa gambar berisi teks sederet daftar tantangan yang dihadapi oleh mereka yang mengalami gejolak psikis. Mulai dari gangguan makan, bipolar, hingga gangguan disosiatif.
Berikut hasil terjemahan dari postingan itu:
Seruan bagi para muslim dengan kondisi otak yang tidak biasa menurut standar umum masyarakat.
Teruntuk para muslim dengan gangguan makan yang kondisinya sering terpicu selama Ramadan, yang merasa harus wajib menjelaskan mengapa dirinya tak berpuasa pada para tante yang selalu ingin tahu.
Teruntuk para muslim yang menjalani pengobatan psikiatri, yang tidak bisa berpuasa karena tanpa pengobatan mereka tidak bisa berfungsi dengan baik, yang merasa tak nyaman menjelaskan hal ini pada mereka yang bertanya mengapa dirinya tak berpuasa.
Teruntuk para muslim dengan ADD (Attention Deficit Disorder atau Gangguan Pemusatan Perhatian) yang bersusah payah untuk bisa salat, tarawih, membaca Qur’an, dan ibadah lain.
Teruntuk para muslim dengan depresi yang kadang kesulitan bangkit dari tempat tidur dan sulit mengerjakan salat wajib atau pergi ke masjid.
Teruntuk para muslim dengan bipolar yang merasa kewajiban ibadah Islam itu mudah dilakukan selama sekian hari dan kesulitan atau bahkan tidak mungkin dikerjakan pada hari-hari yang lain. Yang imannya sering dianggap berubah-ubah dan tidak teguh.
Teruntuk para muslim dengan gangguan kecemasan sosial yang takut salat di masjid karena takut membuat kesalahan atau takut pada tatapan orang lain.
Teruntuk para muslim dengan gangguan disosiatif yang kepayahan menjalankan salat atau ibadah wajib lainnya karena takut pada ancaman akan mengalami disosiasi.
Teruntuk para muslim dengan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder atau Gangguan Stres Pasca-Trauma), masalah sensorik atau agorafobia (fobia keluar rumah) yang tidak bisa ke masjid atau tempat ramai lain. Yang dituduh sebagai orang kasar, sombong, atau merasa terasingkan.Teruntuk para muslim dengan harga diri yang rendah, yang punya keinginan bunuh diri dan merasa bersalah karenanya.
Teruntuk para muslim dengan autisme yang dipandang atau diperlakukan sebagai ujian berat bagi para keluarganya.Teruntuk para muslim dengan masalah kesehatan jiwa yang dikata-katai bahwa mereka harus lebih banyak berdoa atau dikata-katai bahwa masalah mentalnya disebabkan kurang iman.
Teruntuk semua muslim dengan segala gangguan kesehatan jiwa yang lupa aku tambahkan di sini, yang masalahnya memengaruhi ibadah dan perlakuan yang mereka terima di kalangan sesama umat muslim.
Semua yang kamu rasakan itu valid.
Keislamanmu itu valid.
Engkaulah hasil karya terindah ciptaan Allah SWT.
Aku menangis karena berharap, seandainya ada yang mengatakan hal ini secara verbal padaku di dunia nyata dengan tulus, sambil menatap mataku dan memegang bahuku. Aku ingin selalu diyakinkan bahwa diriku tak seburuk yang aku pikirkan.
Sebelum kondisiku makin parah, sebelum kata-kata menghilang dari kepalaku, biasanya aku mengungkapkan apa yang kurasakan di status WhatsApp. Status WhatsApp kadang adalah kode S.O.S.-ku yang bermakna, “Aku butuh seseorang untuk bicara”. Kadang ada beberapa teman yang menanggapi statusku, lalu setelah berkomunikasi dengan mereka, perasaan menyesakkan ini jadi tidak begitu buruk. Dalam keadaan seperti ini, aku semakin tidak mahir memulai pembicaraan kecuali jika benar-benar perlu. Semakin sulit bagiku untuk menyapa orang dengan “Hai, apa kabar?” agar aku bisa memulai pembicaraan dengan mereka ketika diriku sendiri sedang tidak baik-baik saja. Karena itulah kutumpahkan kegalauanku di status WA.
Biasanya yang kuungkapkan di status WA tidak seberapa gamblang. Hanya berupa kode samar karena aku masih takut kalau orang akan berpikir aneh-aneh jika semua isi hatiku kutumpahkan di sana. Lagipula kenapa juga aku harus terlalu terbuka di ruang publik? Biasanya aku bermain dengan metafora, sekalian melatih kemampuanku bermain dengan kata-kata. Tadinya aku bermaksud mengeluarkan beban hatiku di sana sampai lega. Namun, tahukah kamu? Sebaris keluhan itu sifatnya seperti magnet yang menarik sederet keluhan lainnya. Menyedot segala rasa syukurku sampai nyaris tak tersisa. Seolah tidak ada satu pun hal baik yang terjadi padaku. Aku mulai berpikir, hal ini tidak benar. Maka aku pun mulai mengurangi keluhan-keluhanku di status WA, meski itu berarti semakin membungkam diriku sendiri dalam kesunyian.
Aku masih meminum obat-obat yang diresepkan dokter bagiku. Pengobatan yang kujalani sesuai prosedur medis yang resmi secara rutin memang bisa dibilang terlambat. Pengobatan medisku tadinya selalu terputus-putus. Mungkin karena itulah efek yang kurasakan pun kadang agak tersendat. Dokter pernah mengatakan padaku, jika seseorang berhenti minum obat psikiatri tanpa persetujuan dokter, gejalanya bisa jadi lebih parah. Kadang aku bisa merasa begitu fokus dan tenang tanpa didera kecemasan setelah minum obat. Tapi begitu ada masalah di dunia nyata, aku kembali merasa goncang.
Betapa jengkelnya aku setiap ayahku bertanya, “Obat yang kamu minum itu ada efeknya kah?”. Seolah bipolar ini adalah penyakit flu yang bisa langsung reda begitu minum obat. Tapi aku berusaha terus meminum obatku sesuai jadwal, sekalian belajar disiplin. ‘It could have been worse,’ pikirku sembari berharap pada konsep brain plasticity atau bahwa otak punya kemampuan untuk regenerasi dan berkembang sendiri seiring dengan berjalannya waktu. Kuanggap rasa sesakku saat ini mungkin masih terhitung kondisi yang lebih baik daripada jika aku tidak minum obat sama sekali.
Kuperhatikan kucing-kucingku yang langsung mengeong keras dan datang menghampiriku setiap mereka menginginkan makanan atau perhatian. Mata mereka membulat lebar-lebar. Leher mereka terus mendongak. Para makhluk berbulu yang menggemaskan itu terus menggosokkan badan dengan semangat ke kaki. Kadang disertai dengan berguling-guling di lantai. Mungkinkah selama ini aku kurang keras “mengeong” pada Tuhan? Kurang gigih dalam berdoa? Kurang sabar dalam meminta? Kurang keras dalam berusaha?
Kebanyakan kucing yang singgah dan menetap di rumahku adalah kucing kampung. Mereka hanya diperbolehkan berkeliaran di halaman rumah. Kami pernah mencoba memelihara kucing di dalam ruangan rumah, tapi rupanya kami belum sanggup mengatasi segala kerepotan yang ditimbulkan. Jadi, biarlah mereka tinggal di luar saja. Yang penting mereka tidak kehujanan apalagi tertabrak mobil. Makanan, minuman, dan pasir untuk buang air, selalu tersedia di luar.
Sebagai kucing kampung yang tinggal di luar rumah, hanya sedikit yang mereka punya dibandingkan dengan kucing-kucing rumahan yang mungkin terbiasa dimanjakan oleh para majikannya. Tapi betapa bersyukurnya mereka dengan kondisi saat ini. Kucing-kucing itu selalu stand by di halaman rumah, menanti waktu makan. Berarti mereka merasa nyaman di rumah kami, kan? Selesai makan mereka menguap lalu bergelimpangan di halaman, di depan pagar, maupun di atas jok sepeda motor. Benar-benar menikmati hidup.
Salah satu kucing betina yang tinggal di rumahku baru saja memiliki tiga anak. Salah satunya berbadan lebih kecil daripada dua saudaranya. Juga lebih lusuh seperti tak terawat. Sebut saja namanya “Cowy”. Ayahku menamainya demikian karena warna bulunya putih dengan bulatan-bulatan hitam. “Seperti sapi,” begitu kata ayah. Cowy jarang menyusu seperti dua saudaranya. Rupanya ia terkena flu parah sehingga ia kesulitan bernapas jika menyusu pada induknya. Matanya selalu kotor dan lengket dengan tahi mata. Wajahnya jadi kotor dan terkena berengan. Tapi meongannya tetap selalu yang paling keras. Karena tak mau menyusu dan makan, makin lama tubuhnya makin lemah. Ayah dan ibuku sempat kaget saat melihatnya tergeletak diam seperti mau mati.
Dengan sabar ibuku berusaha mengembalikan kesegaran tubuh Cowy. Ibuku membelikannya semacam snack berbentuk krim yang berfungsi sebagai penambah vitamin dan nafsu makan Cowy. Karena tak mau makan sendiri, awalnya ibu harus menjejalkan snack itu ke dalam mulut Cowy. Dia mulai ketagihan dan kembali ingin makan. Ibu menggerus obat flu untuk dicampurkan ke dalam snack untuk dimakan Cowy. Perlahan Cowy kembali bugar, flunya berkurang dan ia bisa menyusu. Tapi badannya tetap sulit bertambah besar. Lalu entah kenapa induknya jadi jarang memandikan dan menyusuinya. Untungnya Cowy sudah bisa makan biskuit kucing, meski ia dengan manja selalu menuntut agar biskuitnya dicampur dengan hati ayam rebus. Setiap hari kami membersihkan mata dan wajah Cowy dari kotoran.
Cowy jadi lebih terikat dengan kami. Jika pintu rumah dibuka, ia selalu berusaha menerobos masuk sambil mengeong keras sekali. Meskipun sudah diberi makan ia terus mengeong keras, menuntut perhatian. Mungkin bagi Cowy, kami sudah jadi seperti pengganti orangtua baginya. Suatu hari sambil menjaga toko ibu, aku membiarkan Cowy naik ke pangkuanku. Dia terus mengeong sementara aku terus memainkan ponselku. Lama-lama Cowy tertidur pulas sambil meringkuk. Aku jadi tidak bisa berpindah tempat. Tak tega untuk memindahkannya karena takut ia terbangun. Pasti dia capek karena terus mengeong keras.
Di pangkuanku, Cowy terlihat begitu rapuh dan mungil. Bulu-bulunya kasar, kotor, dan mencuat-cuat, membuatnya jadi terlihat selalu basah bahkan dalam keadaan kering. Cowy jelas bukan kucing yang tampilannya imut menggemaskan seperti yang terpajang di berbagai konten Instagram dan Tiktok. Ia terlihat begitu tenang dalam lelapnya di atas pahaku. Begitu sedikit yang ia punya, tapi itu sudah cukup untuk membuatnya tertidur seolah tanpa beban. Melihatnya aku jadi berpikir, jika aku bisa memiliki sifat nriman yang ia punya, mungkin rasa sakit yang kurasakan tidak akan terasa begitu menggoncang.
Terakhir kali aku konsultasi pada dokter soal kecemasanku, beliau menambahkan merlopam dalam daftar obatku dan berkata bahwa aku perlu lebih mengapresiasi diriku sendiri. Dengan begitu aku tidak akan kufur nikmat, katanya. Setelah itu aku kembali mencoba rutin mengisi jurnal syukur di aplikasi Presently yang kuunduh melalui Google Playstore. Setiap hari aku menuliskan daftar hal yang patut kusyukuri, sampai ke hal-hal terkecil seperti bisa tidur tak terlalu larut dan bisa bangun pagi. Aku pun sedang berusaha membersihkan otakku dari pikiran negatif dengan menonton lagi konten-konten tentang bagaimana menyembuhkan hati yang terluka di Youtube. Aku sedang suka menyimak ceramah Ustaz Nouman Ali Khan. Ceramah-ceramahnya begitu humanis dan terasa tidak menghakimi.
Kesadaran untuk belajar bersyukur dari kucing ini jujur saja belum terasa seperti aha moments yang bisa langsung memutar balik hidupku secara drastis. Kesadaran ini baru terasa seperti, “Ah, iya juga. Kalau begini bagus juga,” yang masih baru menyentuh permukaan hatiku. Dalam artian, besok-besok bisa saja aku kembali harus terseok-seok berjuang mengatasi “roh kukang” dan segala pikiran buruk yang membebani jiwaku. Tapi setitik bibit kesadaran yang baru bertunas ini pun juga patut disyukuri, kan? Dunia ini tidak selamanya hanya berisi hal buruk. Selama masih ada para kucing liar yang dengan santainya tidur bergelimpangan di tepi-tepi jalan, berarti mungkin wilayah itu masih baik-baik saja.