Namaku jUwa. Aku lahir dan besar di daerah pedesaan di sebuah kota kecil di Jawa Timur, Indonesia. Ayah Ibuku awalnya hanya buruh tani, mereka bahkan tidak lulus SD. Aku adalah yang pertama kali bisa sekolah sampai SMA, kuliah dan bahkan sampai bisa belajar di luar negeri dengan beasiswa.
Ya, sekarang aku sedang menempuh pendidikan pascasarjana di sebuah universitas di Amerika. Bagi sebagian orang, tentu ini adalah sesuatu yang patut dibanggakan. Aku pun senang dengan keadaanku, karena jauh lebih baik dari keadaanku yang dulu. Namun terus terang, tidak selamanya perasaan senang itu bersemayam. Ada saat-saat aku merasa takut, minder, palsu, dan seterusnya. Aneh, tapi sungguh begitu adanya.
Sebenarnya, sewaktu kecil aku tidak pernah bermimpi akan bisa belajar atau bepergian ke luar negeri. Naik pesawat terbang untuk pertama kali saja baru aku alami ketika sudah mendapat beasiswa, itu pun tiketnya dibelikan oleh pihak pemberi beasiswa. Dan itu terjadi saat aku berumur sekitar 25 tahunan.
Dulu, aku ingin sekali menjadi pramugari. Alasannya sederhana, agar bisa naik pesawat dan keliling dunia. Tapi terus terang saja, aku tidak mengerti “dunia” seperti apa yang aku maksud. Aku hanya tahu pramugari itu naik pesawat dan bisa bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Sepertinya kok “keren”. Jadi hal itu bukan seperti “mimpi” yang aku benar-benar perjuangkan. Itu hanya sebatas angan yang aku anggap hanya khayalan.
Apalagi aku tidak merasa cukup cantik dan tinggi, pun tidak punya uang, jadi itu benar-benar seperti ucapan yang aku tidak begitu bersungguh-sungguh memaknainya. Tahu kan, seperti bocah yang asal bicara ingin pergi ke angkasa tapi dia tidak tahu apa yang dia maksud? Ya, seperti itu lah aku dengan impianku keliling dunia waktu itu. Tidak jelas, masih kabur.
Bisa dibilang, bayangan atau keinginan untuk kuliah dan jalan-jalan di luar negeri itu pertama kali muncul atau menjadi lebih jelas saat aku kuliah S1. Waktu itu banyak dari dosenku yang lulusan luar negeri. Tentunya mereka sering berbagi cerita tentang pengalaman mereka kuliah di luar negeri. Dan mereka adalah orang-orang keren, sehingga aku rasa wajar saja ketika kemudian aku ingin menjadi keren seperti mereka. Tapi tetap saja, sekalipun waktu kuliah banyak kesempatan untuk ikut pertukaran ke luar negeri, entah kenapa sekalipun aku tidak pernah mencoba.
Waktu itu aku hanya ingin lulus kuliah tepat waktu tanpa tambahan semester. Aku pikir kalau aku ikut pertukaran ke luar negeri, aku tidak akan bisa selesai kuliah tepat waktu. Dan sekalipun aku juga mendapat beasiswa waktu itu, aku tidak mau “molor” karena itu berarti aku harus membayar uang semester, uang kos, dan uang makan “ekstra”, yang tidak perlu aku keluarkan jika aku lulus tepat waktu. Tentunya aku tidak ingin menambah beban orang tua.
Sekalipun mereka selalu bilang jangan khawatir tentang uang karena mereka akan bekerja keras untuk membiayai kuliahku, aku tahu tidak mudah bagi mereka untuk mengumpulkan uang itu, apalagi mereka hanya buruh tani. Oleh sebab itu, aku hanya ingin cepat lulus dengan nilai yang baik, lalu bekerja, dan berpenghasilan. Sekalipun misal tidak bisa memberi uang pada orang tua, setidaknya aku tidak perlu meminta uang pada mereka. Hanya itu saja yang aku inginkan.
Kemudian aku lulus, bekerja, dan pindah kerja. Mungkin Tuhan sudah menggambarkan peta hidupku sedemikian rupa. Dia menunjukkan jalan-jalan yang harus aku lalui secara bertahap. Sampai akhirnya di tempat kerjaku waktu itu, rekan-rekan kerjaku sangat semangat untuk mendaftar beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Berada di lingkungan yang positif dan membangun seperti itu membuatku mencoba “peruntunganku” juga. Akhirnya aku juga ikut mendaftar, dan Alhamdulillah langsung diterima untuk kuliah di Amerika.
Aku tidak tahu apakah aku benar-benar bekerja keras untuk bisa jadi aku yang sekarang, dan aku tidak ingin terlalu membanding-bandingkan usaha kerasku dengan orang lain. Lagipula sekalipun aku merasa bekerja keras tentu ada orang yang kerjanya lebih keras lagi. Namun, memang kalau diingat-ingat, ada saat-saat aku merasa tidak bisa menikmati apa yang teman-temanku nikmati karena harus belajar dan juga bekerja paruh waktu.
Contohnya waktu kuliah S1 dulu, di saat teman-teman “pulang kampung”, aku tidak pulang kampung karena kalau hanya pulang sehari-dua hari rasanya hanya menghabiskan uang untuk ongkos naik bis. Saat teman-temanku bisa nonton film, main di mall, atau ke pantai, aku harus “ngelesi”, jalan kaki, naik angkot, kadang juga kehujanan.
Jadi mungkin karena sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, aku merasa perjuanganku tidak terlalu keras. Aku merasa aku hanya melakukan apa yang biasa aku lakukan dari dulu saja. Dan karena aku mendaftar beasiswa hanya sekali dan langsung diterima, aku tidak merasa itu sulit, tapi tidak merasa hebat juga. Aku hanya beruntung, itu saja. Tapi tentu, aku merasa bersungguh-sungguh dalam menyiapkan semuanya.
Kalau ditanya bangga atau tidak atas pencapaianku sampai saat ini, jawabanku dua-duanya. Di satu sisi aku bangga dan merasa keren. Di sisi lain aku justru merasa malu. Aku bangga karena di keluargaku, aku lah yang pertama kali bisa lanjut sekolah sampai SMA, kuliah, apalagi sampai ke luar negeri, dan dengan mendapatkan beasiswa. Tentu aku senang. Dan sekalipun aku merasa arogan jika mengatakan ini, maaf, aku tahu banyak orang yang menginginkan apa yang sudah aku capai, jadi kalau aku bilang tidak senang rasanya kok justru tidak bersyukur.
Akan tetapi, seperti yang aku katakan, aku juga merasa malu karena aku merasa belum banyak bermanfaat. Dengan apa yang aku capai sekarang, seharusnya aku bisa memberikan banyak manfaat. Teman-teman penerima beasiswa lain mungkin sudah menerbitkan tulisan di banyak jurnal atau menciptakan sesuatu yang memberikan manfaat langsung untuk masyarakat, sementara aku sendiri hanya mengambil manfaat untuk diriku sendiri.
Itulah mengapa sebisa mungkin aku berusaha untuk lebih bermanfaat sekecil apa pun itu, seperti berbagi tulisan di akun media sosialku, atau ke sekolah-sekolah untuk berbagi pengalaman dengan teman-teman yang mungkin keadaannya tidak jauh berbeda denganku dulu. Sebisa mungkin aku juga berusaha berbagi “pengetahuan” dengan orang tuaku karena kan mereka tidak lulus SD. Mungkin menurut orang-orang, orangtuaku adalah orang-orang yang kolot dan konservatif, tapi menurutku mereka hanya tidak punya cukup kesempatan untuk mendapat pengetahuan lebih saja.
Dengan latar belakang yang aku miliki dan dengan pencapaianku sampai saat ini, kadang aku justru merasa seperti “tidak punya tempat.” Contoh sederhananya saja, orang-orang di desaku banyak yang menganggap “aku sudah tidak seperti mereka” karena aku sudah kuliah sampai pascasarjana di luar negeri, sekalipun komentarnya lebih banyak seputar pernikahan seperti…
“Orang biasa tidak akan berani melamar. Jodohnya pasti yang sepantaran, orang besar.”
Namun demikian, ketika aku berkumpul dengan teman-teman atau kenalan yang menurutku keluarganya lebih kaya dan berpendidikan, aku sering merasa “out of place”, merasa seperti bukan tempatku. Aku merasa minder dan aku selalu dihantui rasa takut…
“Bagaimana misal aku tidak sengaja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak aku lakukan?”
Karena siapa tahu kebiasaan yang diajarkan berbeda kan? Mungkin tata krama, unggah-ungguh, kesopanan, etika, dll. yang mereka pelajari berbeda dengan apa yang aku alami sebagai gadis desa yang “miskin.” Dan kadang aku selalu merasa bahwa mereka akan selalu menganggapku anak desa dengan orangtua yang tidak berpendidikan.
Sebenarnya berpikiran begini sering membuatku merasa bersalah. Seolah-olah aku malu dengan keadaan orang tuaku, padahal tidak. Aku bangga dengan mereka. Tapi tentu aku takut mereka akan dijadikan bahan olokan hanya karena tidak lulus SD.
Berpikiran begini pun membuatku merasa bersalah, karena secara tidak langsung aku sudah berburuk sangka pada teman-temanku, padahal bisa saja mereka tidak pernah memandangku dan orang tuaku seperti itu. Mungkin aku sendiri yang memandangku seperti itu. Tapi yang namanya perasaan khawatir dan was-was, tidak percaya diri, dan lain-lain, hal tersebut muncul begitu saja tanpa aku bisa mencegahnya. Bohong rasanya kalau aku bilang perasaan semacam itu tidak pernah aku rasakan.
Jadi memang, kadang aku merasa palsu, dan aku takut orang-orang akan menemukan siapa diriku yang sebenarnya, yang tidak sebaik bayangan mereka, yang tidak sehebat dan tidak sekeren yang mereka harapkan. Ketika orang menganggapku keren, tentu aku merasa senang, tapi di waktu yang sama, aku merasa agak tidak nyaman. Aku takut kalau apa yang mereka bayangkan tentang aku sebenarnya tidak benar atau “ketinggian”.
Aku takut kalau pada akhirnya aku akan membuat mereka kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan atau harapkan. Namun demikian, aku merasa aneh juga dengan ketakutan ini, karena aku merasa kalau sebenarnya aku tidak berpura-pura, aku hanya menjadi diriku sendiri. Aku juga tidak merasa menyembunyikan sesuatu.
Tapi entah kenapa aku selalu dihantui rasa takut bahwa sebenarnya aku hanya sedang menjelma menjadi orang lain, yang diharapkan dan dibayangkan orang-orang, yang sebenarnya bukan diriku. Aneh? Tapi nyata. Tapi kalau mereka berharap banyak padaku dan aku tidak bisa memenuhinya, hal itu bukan sepenuhnya salahku kan?
Kadang aku berpikir, apakah aku ini hanyalah seorang “aktor”? Seperti misal, ketika tampil di depan umum, presentasi atau ceramah atau mengajar di depan kelas, atau ketika hadir di kancah internasional, sebenarnya aku tidak terlalu merasa gugup atau cemas.
Aku merasa aku adalah aktor yang cukup baik dan aku ingin menjadi orang yang profesional, sehingga dalam kesempatan itu aku cukup menjelma menjadi “aku yang lain” saja secara profesional. Tapi tentu saat-saat sebelum atau sesudah aku tampil, aku sering merasa gugup dan cemas, seperti misal, aku akan merasa tegang. Bahkan, kadang aku sampai merasa mual karena terlalu “kepikiran.” Dan tentunya, sekalipun aku suka berbagi dan mendapatkan “spotlight”, kadang aku berusaha sebisa mungkin menghindari perhatian yang berlebihan.
Kadang aku ingin berperan tapi di belakang layar. Seperti misal saat ini, aku senang bisa berbagi, aku senang jika ada yang membaca, aku senang jika tulisanku bisa membuat bahkan satu orang saja merasa lebih baik, aku senang jika ada yang merasa ceritaku ini bermanfaat bagi mereka. Di satu sisi aku ingin mereka tahu siapa aku. Di sisi lain, aku tidak ingin mereka tahu. Aku takut, dan kadang aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku takutkan.
Penghakiman?
Harapan yang terlalu tinggi?
Entahlah.
Pertentangan serupa juga terjadi ketika aku mendapat pujian. Aku manusia biasa, tentu saja aku senang dipuji. Mungkin dulu aku terbiasa menyanggah dan tidak percaya ketika dipuji, tapi sekarang aku belajar berterima kasih ketika dipuji alih-alih menyangkalnya. Namun demikian, kadang sulit untuk mempercayai orang-orang ketika mereka memujiku. Aku selalu berpikir…
“Apakah yang mereka katakan itu benar atau mereka hanya sedang berbaik hati dan ingin menyenangkan hatiku saja?”
Mungkin ini karena aku tidak terlalu biasa dengan pujian. Aku lahir dan dibesarkan di tempat di mana orang jarang memberi pujian, di mana ketika dipuji, kita diharapkan untuk menyangkal agar terlihat sopan, di mana alih-alih dipuji, kita sering dikritik dan “diejek” agar kita bisa terus memperbaiki diri.
Tentu semua ada sisi baik dan buruknya. Namun, mungkin karena terlalu biasa dengan budaya itu, aku tumbuh jadi orang yang minder dan tidak percaya diri, seolah-olah pasti ada yang salah dengan diriku, seolah-olah sebentar lagi aku pasti berbuat salah. Dan perasaan itu tidak menyenangkan.
Untungnya, aku merasa punya “dalih” untuk membuat diriku merasa “lebih baik” ketika perasaan-perasaan yang membuatku tidak nyaman itu muncul, seperti…
“Aku terlahir di keluarga miskin di desa, wajar kan misal aku tidak tahu beberapa hal yang diketahui oleh teman-temanku yang dari kota atau yang mempunyai orang tua lebih berpendidikan?”
“Wajar kan kalau misal pencapaianku tidak sehebat mereka?“
“Dan manusia itu derajatnya sama kan? Tidak ada yang sempurna.”
Asal kita mau terus belajar, aku rasa tidak ada yang salah juga misal kita berbuat salah dan belajar dari kesalahan itu. Kadang dalih seperti itu membuatku merasa lebih baik. Akan tetapi, ketika dihadapkan dengan orang lain yang asalnya sama dengan aku (desa, miskin, dll) tetapi bisa menggapai lebih banyak dan lebih bermanfaat, aku jadi merasa kurang berusaha keras, dan itu tidak menyenangkan.
Tapi kadang aku lelah, aku merasa aku sudah berusaha semampuku, dan aku tidak ingin membebani diriku berlebihan. Kadang aku ingin menjadi egois, aku hanya ingin menikmati hidup saja. Tapi tentu tidak bisa kan? Dalam hidup, akan selalu ada hak dan kewajiban, kita juga hidup tidak sendirian, dan semuanya harus imbang. Jadi pergolakan batinku itu selalu ada, seperti pergolakan antara ingin menjadi orang yang lebih baik atau sudah cukup dan menerimaku apa adanya saja.
Entahlah. Terus terang, aku tidak tahu harus bagaimana ketika perasaan-perasaan seperti itu muncul. Ketika aku merasa tidak punya tempat. Ketika aku merasa palsu. Dan seterusnya. Aku hanya berusaha menikmati hidup sebisaku.
“Dan aku rasa wajar saja jika sesekali aku akan selalu merasa seperti itu. Kadang aku juga terlalu disibukkan dengan tugas dan pekerjaan sehingga tidak sempat memikirkannya kan?“
“Namun, jika pun aku memang tidak punya tempat, berarti aku bebas ke mana saja dan bisa memilih tempat manapun yang aku mau kan?”
“Sekalipun mungkin aku tidak sebebas itu karena sekarang aku terikat kontrak beasiswa. Jika pun memang aku hanya lah seorang aktor, itu berarti aku akan selalu bisa menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarku atau dimanapun aku berada kan? Bukan berarti aku palsu kan?”
Terus terang aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya berusaha bersyukur dan memahami serta menerima perasaanku saja.
Dan aku rasa, terlalu percaya diri jika aku merasa sebagai satu-satunya orang yang memiliki perasaan seperti itu. Kebetulan aku juga pernah “ngobrol” dengan temanku dan dia juga bercerita bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama, tentang tidak percaya diri, tentang merasa palsu, takut mengecewakan, dll.
Aku tidak merasa sendiri dalam hal ini. Namun demikian, sekalipun aku tahu aku bukan satu-satunya orang yang merasa demikian, aku tetap harus merasakan semuanya sendirian. Kan mereka tidak tahu tepatnya apa yang aku rasakan atau kapan aku merasakan semua itu? Perasaan itu sesuatu yang agak susah dijabarkan. Dan aku tidak selalu bisa menggambarkannya dengan baik. Dan aku tidak selalu bersama dengan orang-orang yang mempunyai perasaan yang sama. Jadi tetap, pada akhirnya aku “sendirian.”
Namun, jika ada orang yang mempunyai perasaan sama sepertiku, perasaan seperti tidak punya tempat, aku ingin tahu…
“Bagaimana mereka mengatasinya?”
“Bagaimana mereka menghadapinya?”
“Apakah mereka bahagia?”
“Apa yang mereka lakukan untuk bisa merasa lebih baik?“
Aku tidak tahu siapa mereka, tapi aku harap, tulisanku ini bisa membuat mereka merasa sedikit lebih baik. Atau setidaknya, tulisanku ini bisa meyakinkan mereka bahwa mereka tidak sendirian. Bahwa ada orang lain yang memiliki perasaan-perasaan tidak nyaman seperti itu, sebanyak atau setinggi apapun pencapaiannya. Jadi, semangat? 😊
Blog jUwa: ceritajuwa.com | IG: @stjwryh