Perundungan Berat Badan Membuat Jiwaku Berantakan

Oleh: NN

Dilihat:
kali

Aku Rere. Tahun ini aku berusia 32 tahun, dan aku adalah peretas perundungan (pem-bully-an). Sejak aku dilahirkan, tubuhku sudah dimasukkan ke dalam golongan ‘gendut’.  Pem-bully-an sudah terjadi sejak aku kecil, dan yang memulainya adalah orang tuaku sendiri.

***

Awalnya berat badanku dibanding-bandingkan dengan teman-teman sebaya. Ketika mau cari baju pun orang tua ku sering berkomentar…

“Lihatin temen-temenmu itu gak gendut kayak kamu, lha kamu gendut gini susah nyari baju”

Selanjutnya, mereka menyuruh aku melakukan ini itu. Menyuruh makan sedikit dan les renang biar ‘kurus’.

Sampai sekarang pun, aku sering mendengar berbagai macam komentar bully dari teman yang ‘mungkin’ maksudnya memotivasi tapi malah menyakiti.

“Rere, kamu gak pingin diet kah? Biar kurusan dikit. Kalau kurusan dikit, bagus lho badanmu”

“Waduh badanku kok guendut banget ya… aku diet ah”, kata salah satu teman kerja yang badannya jauh lebih kurus dari aku. Dan dia komentar seperti itu kalau dekat aku.

Bahkan pasanganku sebelumnya pun berkomentar, “Sayang, coba kalau anakonda di perutnya dihilangin, pasti seksi”.

***

Waktu aku masih anak-anak, mendengar komentar-komentar negatif dari orang tua sendiri bikin mood ku turun. Ketika beranjak dewasa, bully-an tersebut berpengaruh terhadap kondisi jiwaku. Aku stres, dan kehilangan nafsu makan. Berat badanku turun drastis dari 80kg menjadi 56 kg, dalam waktu kurang dari 2 bulan. Dan, ketika sudah turun berat badan, masih saja mendengar…

“Eh badan kurus gini kamu makin kelihatan tua lho, gak seger lihatnya. Kamu ngobat ya?”

Apapun yang kulakukan dan apapun hasilnya, aku tetap salah. Aku sempat sangat terpuruk yang membuatku benar-benar membatasi makan, karena ketakutan akan naik berat badan lagi. Jiwaku semakin kacau. Aku tak bisa fokus kerja, hubunganku dengan orang-orang terdekat berubah. Aku tak tahan dengan luka batin tersebut, aku pun lari ke alkohol untuk membuatku mati rasa. Dan itu caraku menghukum diri sendiri karena ‘aku gagal untuk kurus’.

Aku pernah melarikan diri dari rumah, karena aku ingin melarikan diri dari kata-kata tajam orang tua. Pekerjaan jadi berantakan yang akhirnya aku harus keluar. Kuliah pun jadi kewalahan, aku lebih memilih bolos. Orang tua mencari-cari, ingin menemukan anaknya. Tapi, ketika di rumah, mereka tidak berusaha menemukan isi hatinya.

***

Kadang aku tak mampu memahami, orang tua yang harusnya menjadi tempat untuk dicintai dan mengadu, malah menjadi sumber keterpurukanku. Semakin lama, aku menyadari bahwa mereka yang mem-bully, dulunya adalah korban bully juga. Apakah orang tua ku salah satunya?

Namun, aku masih bersyukur ada teman-teman yang mendukung dan membantuku meredam luka batin, terutama almarhum mantan pacarku. Karena dukungan mereka, secara mengalir aku bisa meredam gejolak luka batin ini. Mereka memberiku atap ketika aku pergi dari rumah, meskipun mereka sendiri tinggal di kos-kosan. “You guys…. Thank you so much!”

Bila di antara kalian ada yang menjadi korban bully, terutama bagi para wanita…

“Biarlah mereka mem-bully mu, mungkin batin mereka tak damai. Tenangkan hatimu. Tuhan menciptakanmu sebagai dirimu. Kamu sempurna dengan caramu. Dia yang Maha Kuasa menerimamu apa adanya, kenapa khawatir dengan bully-an mereka?”

Rere