Aku Menderita PTSD dan Frigiditas, Sebab…

Oleh: NN

Dilihat:
kali

Pengantar dari The-Monachopsis.Com

PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau dalam bahasa Indonesianya – Gangguan Stres Pasca Trauma – adalah sejenis gangguan kecemasan yang bisa Anda alami setelah terlibat atau menyaksikan peristiwa traumatis.

Frigiditas adalah sebuah keadaan yang seringkali menyerang seorang wanita. Istilah frigiditas kerap kali digunakan untuk mendeskripsikan seorang wanita yang ‘dingin’, kerap kali sulit mengetahui jalan pikirannya, tidak menunjukkan emosi, ataupun tidak memiliki gairah seksual terhadap pasangannya sekalipun – dikutip dari Fimela.

***

Hai… Nama aku Melan, di sini aku mau berbagi cerita. Tentang aku yang didiagnosis pengidap PTSD dan frigiditas untuk seorang perempuan.

Waktu masih kecil, aku sering dipukuli sama kakak-kakakku. Pokoknya, semenjak Mama keluar pulau buat bekerja, dan Papa juga ada di luar pulau sejak aku dikandung Mama, aku kurang kasih sayang orang tua.

Awalnya aku gak ngerti apa-apa, aku gak tau letak kesalahanku itu di mana, sampai kakak-kakakku melakukan tindakan kekerasan. Selama aku tinggal dengan kakak-kakakku, rasanya kayak di neraka bangettt… aku pikir mungkin aku buat kesalahan yang membuat mereka sering marah.

Kejadiannya waktu aku masih SD, aku masih belum ngerti apa-apa lho itu. Aku pernah buat kesalahan, dan itu sepele banget. Gak sengaja buang air di mesin cuci yang masih baru aja diisi buat cuci baju. Aku gak tau kalau airnya masih dipakai, karena aku pikir udah gak dipakai lagi soalnya warna airnya tuh agak keruh. Ternyata, sama kakak perempuanku masih dipakai. Terus aku ditampar berkali-kali, aku nangis dan menyalahkan diri.

Lalu, adanya seorang kakak ipar, semakin memperparah keadaan. Iparku sering mengadu domba kakak-kakakku buat nyerang aku, jadi kesalahan kecil pun itu dipermasalahkan sampai masalahnya gede. Aku sering ditampar, ditendang, dibanting, dijambak, bahkan pernah dibenturin ke dinding.

Suatu kali, pulang sekolah aku langsung pergi les sampai jam setengah enam sore setiap hari. Kakak iparku bilang…

“Belajar sana!”
Ya aku jawab, “Tadi kan udah belajar, aku mau istirahat.”
Eh, dia marahin aku, “Kamu itu jangan males, disuruh belajar malah bantah!”

Ya udah, akhirnya aku balik ke kamar dan bermaksud buat belajar seperti yang dia minta. Parahnya, dia malah bilang ke kakakku (suaminya), katanya aku gak mau belajar. Terus kakakku datang ke kamarku dan nendang aku, rasanya sakit banget.

“Disuruh belajar malah bebal!!”
Gak sampai di situ, “Goblok!”

Ya, aku dikatain goblok. Kejadiannya sekitar dua belas sampai tiga belas tahun yang lalu, dan aku masih ingat sampai sekarang bagaimana mereka memperlakukan aku. Lagi, hal sepele kembali terulang. Gara-gara cuma makan siang, aku ditampar berkali-kali sama kakak laki-laki kedua. Berulah lagi lah ipar aku,

“Makan kok sedikit banget,” dia bilang begitu.

Porsiku gak banyak karena kalau kebanyakan aku muntah. Ya udah, aku tambah lagi nasinya beberapa centong kan agak sebel pas ambil nasi,

“Heh! Yang bener kalau ambil nasi!” Iparku yang bilang gitu, dan kebetulan kakak keduaku di sebelah aku, terus aku ditampar deh dua kali. Panas banget.

Aku pernah ditampar sampai mimisan sama kakak pertamaku (laki-laki juga), gara-gara belajar matematika waktu kelas satu SD, belajar desimal bayangin udah ada di kelas satu, aku juga heran ya. Aku masih ingat…

“Matematika tuh gampang, kok kamu goblok!”

Udah dia nyakitin secara verbal maupun fisik bikin aku makin down, dan aku ditampar berkali-kali, ada lebih dari lima kali sampai keluar darah banyak dari hidung aku. Terus, besoknya aku gak sekolah, aku sakit demam beberapa hari. Aku pikir kecapekan, ternyata aku sakit akibat dari luka yang kakak kasihkan ke aku.

Aku pernah gak sengaja tumpahin es krim cokelat ke celana kakak perempuanku, celananya warna putih, gimana gak makin sengsara aku? Setelah itu, dia nyiksa aku. Ditampar empat kali kanan-kiri, terus diguyur air di kamar mandi, habis gitu aku dijambak. Kakak perempuanku ini paling jahat, dia gak segan pukul kepala aku sama tasnya Mama yang ada hiasan di bagian tengah, teksturnya keras dan kena kepala tuh rasanya sakit banget.

Tengkukku pernah dipukul gara-gara gak sarapan, aku terpaksa gak sarapan karena udah telat banget buat berangkat ke sekolah. Sedangkan, letak sekolahku sekitar dua sampai tiga kilo buat sampai di lokasi, dan aku harus jalan kaki. Beda sama kakak perempuanku yang keluar dari perumahan jalan dikit terus menyabrang udah sampai di sekolahnya, lah… Kan beda sama aku.

“Kamu gak berguna!”, yang dibilang sama kakak keduaku.
Rasanya perih gitu, sempat berpikir— “Aku gak berguna, ngapain dilahirin?”.

Aku masih SD, aku belum paham sama dunia orang dewasa. Pemikiran anak SD sama SMP aja beda, apa lagi aku dengan kakak-kakakku yang usianya terpaut jauh semua. Usia kita terpaut lima tahun lebih, dan aku anak terakhir.

“Kalau aku gak berguna, kenapa masih mau merawat aku? Tapi, kalian gak tulus merawat malah makin menyiksa aku sehingga aku dikatain gak berguna, goblok, gak bisa apa-apa, bisanya nyusahin, dan sebagainya. Lalu, kenapa kalian gak buang aku?”.

Kalimat di atas, yang bikin aku depresi bertahun-tahun.

Di sekolah, jarang ada yang mau berteman sama aku, karena aku orang yang berkarakter keras. Aku sering masuk BK, gara-gara mukulin teman, ribut sama senior, sering gak masuk sekolah dengan berbagai macam alasan, bahkan paling parah—menghadap wakil kepala sekolah.

Aku gak akan mukulin teman kalau dia gak mulai duluan, aku gak bakal ribut sama senior kalau dia gak cari masalah duluan, aku sering bolos—that’s right, my soul is shaken by various problems.

Aku hampir keluar dari sekolah, karena pembullyan. Udah masalah keluarga gak pernah selesai, masih dibully lagi. Dan sempat melakukan percobaan bunuh diri karena gak tahan sama kejamnya dunia ke aku, kayak aku ini mau melanggar takdir Tuhan buat mengakhiri hidup. Tapi, aku gak berani! Aku udah menenggelamkan diri di bathtub, terus gak bisa napas akhirnya bangun lagi dengan keadaan seluruh badan basah kena air.

Rumit banget, semenjak kepulangan Mama dari luar pulau sampai aku SMP, hubungan kita gak pernah baik, akrab, akur, sama sekali gak pernah. Mama dulu juga gak peduli aku makan atau gak, pulang naik apa ya mana ada urus, kasih sangu jarang, dan uang saku aku habis cuma buat PP bayar angkutan umum.

Setiap malam, aku selalu berdoa dan berharap semua baik-baik saja untuk seterusnya. Mohon pengampunan dengan kesalahan yang aku buat, yang bikin orang lain sakit hati dengan perkataan aku, bikin orang kecewa, bikin orang berpikir, “I’m done with you, Melan.”. Just like that, aku selalu menyalahkan diri sendiri.

Papa pernah pulang ke rumah dan bilang, “Anak itu bisanya apa? Gak menghormati orang tua!”

Lagi, kalimat yang sama terlontar dari mulut Papa, yang pernah diucapkan sama kakak-kakak aku membuat aku kembali teringat masa lalu kelam. Karena menurut aku udah berani, jadi aku membalas…

“Anda baru pulang jangan mencari masalah, hanya orang gak terhormat yang minta dihormati!”

Papa itu beraninya menjelek-jelekan orang di belakang, kalau udah berhadapan langsung dengan orang itu, dia akan takut. Begitulah sifat Papa, melihat Papa dan Mama pernah bertengkar gara-gara Papa menjelek-jelekkan istrinya di depan banyak orang, ngomongnya di belakang lagi! Mereka pun bertengkar, di depanku, meskipun gak pakai kekerasan tapi cara mereka berbicara udah cukup buat aku ngerti.

“Pernikahan gak semudah itu dilakukan, jangan coba-coba”, itu isi pikiranku.

Sampai suatu ketika aku masuk SMK, karena mental aku masih gak baik, ada dua psikiater secara sukarelawan menangani aku. Dan dua psikiater berbeda ini, hampir mengatakan hal yang sama. Kalau aku mengidap PTSD dan frigiditas.

Penyebab frigiditas berhubungan dengan PTSD, yang bikin aku trauma dari masa lalu, berpikir gak mau nikah, mau hidup secara individual, menjadi diriku yang seperti ini aja gak apa-apa, kerja untuk diriku sendiri, dan sebagainya.

Semuanya, itu dulu.

Karena aku takut, trauma, gak mau keulang lagi, pokoknya gak mau sakit lagi lah. Capek, aku terus yang disalahkan. Setiap melihat anak kecil yang pernah seumuranku waktu dulu, dimarahi sama orang tuanya hingga dipukul di depan umum, tiba-tiba aku sesak napas. Makanya kemana-mana, aku selalu bawa obat sesak, takut kambuh kapan aja.

“Kamu frigid dan PTSD, orang tua kamu tahu?”, salah satu psikiater bilang begini ke aku.
Awalnya aku gak percaya. Malah mikir, “Anda bukan Tuhan, sok tau banget.”

Maunya jawab gitu, tapi gak jadi, aku lebih memilih diam. Dokternya tuh tanyain tentang masalah kehidupan yang pernah terjadi, ya udah aku ceritain masa lalu aku itu. Berhadapan dengan psikiater lain, dokternya kasih aku makanan ringan. Aku kalau lagi makan apapun pasti rahangku bakal bunyi gemeletuk,

“Rahang kamu kenapa bisa gitu?”

Ya aku jawab jujur… “Dulu sering ditampar Cece sama Koko, jadi kalau makan tuh rasanya sakit makanya bunyi begini.”

Aku gak tau ya, ekspresi dokternya tuh kayak kasihan ke aku, tapi aku mana peduli.

“Sakit?”.

Dan jawaban yang aku sampaikan bikin dia geleng kepala,

“Yang sakit perasaan aku Dok kalau keinget-inget, soalnya mereka jahat ke aku.”

Dokternya gak sengaja pegang pipi aku langsung aku tepis keras, karena aku gak mau disentuh. Dokter sebelumnya dan sekarang juga meminta hal yang sama ke aku, menceritakan masalah kehidupan aku.

“PTSD dan frigiditas,” dua hal yang aku simpan sampai sekarang.

Ah jadi gini, jadi aku baru paham ternyata gak cuma salah satu di antara mereka yang aku pikir sok tau banget kayak Tuhan main tebak-tebakan begitu.

“Muka kamu ada beberapa bekas luka samar, kenapa?”
“Aku suka berantem sama temen, abis dia gangguin aku makanya aku hajar.”

Mereka bilang, “Itu keponakan kamu jangan dipukul terus!”
Aku jawab, “Aku gak bakal pukul kalau dia gak ngebantah!”
Ada juga yang berkata, “Kenapa kamu cuek sama lingkungan sekitar ya, Mbak? Ini di sekolah lho.”
Dan kutampis dengan, “Ya siapa bilang ini di kuburan? Kalau sekiranya bukan urusan saya, ya ngapain saya urusin, Buk?”.

“Kepribadian kamu dingin sekali, frigiditas dengan hormon seks rendah akibat masa lalu yang membuat trauma terjadi pada lingkungan, menyebabkan kamu mengidap PTSD dan sempat depresi.” What a surprise!

Aku ke kamar, kunci pintu, dan menangis. Dalam hati, Tuhan, kenapa? Kok gini? Iya aku pernah depresi dan gak ada orang yang berusaha menyelamatkan aku, aku seolah sendiri. Semua yang aku alami memiliki masa teramat sulit, di saat itu aku butuh orang yang bisa angkat aku dari keterpurukan. Malah mereka semakin menginjak aku hingga aku gak bisa berdiri. Kayak tenggelam sampai ke dasar laut, terus aku harus renang dari kedalaman yang dalemmmm bangetlah pokoknya, berenang sendiri ke daratan. Tanpa sadar, aku juga melakukan tindakan kekerasan lain kepada orang lain. Melampiaskan kekesalanku kepada orang yang gak bersalah, dan aku menyalahkan diri lagi untuk kesekian kali.

Pas aku ingat-ingat kekerasan yang aku terima, aku bakal memukuli diri sendiri karena udah buat kesalahan kepada mereka. Ragaku udah mati rasa waktu menerima pukulan, tapi batinku yang kesiksa—bangettt.

Kiasannya kayak gitu, semua sulit. Sesek banget, hampir mau nyerah sama kehidupan aku sendiri. Aku gak kuat, setiap hari rasanya mau melangkah aja susah, aku pun gak tau harus ke mana. Cari tempat bersandar, gak ada yang bisa aku jadikan sandaran buat sementara. Seiring berjalannya waktu, mungkin pikiranku terbuka, aku gak bisa stuck di situ mulu sedangkan masa depan di sana udah nunggu.

Aku bangkit sendiri, cuma minta pertolongan ke Tuhan aja, supaya aku bisa tetep kuat dan melewati hari-hari tanpa sehariiii aja gak nangis. Jadi, semenjak SMK itu, perlahan aku mengubah kebiasaan aku yang selalu dipenuhi dengan kesensitifan hati, yang dikit-dikit marah, tersinggung, rasa peduliku yang minim banget sekarang jadi peduli ke sesama meskipun orang yang aku bantu gak tau siapa yang udah bantu dia, penting aku udah bantu dia. Tanpa mau menunjukkan diri, karena aku kasih kepedulian ke mereka dengan caraku sendiri.

Karena aku berusaha buat memulihkan diri dan mengubah karakterku yang dingin sedikit menghilang, sekitar 30% frigidnya hilang, masih tersisa 70%. Bukan gak ada niat buat mengubah, karena dengan caraku sendiri frigid bisa aku gunain untuk melindungi diri. Bukan berarti aku gak mau sembuh, tapi ada faktor lain yang bisa kumanfaatkan dari frigid ini.

And thennnn, hubungan aku sama Mama berjalan dengan baik, pertengkaran kita mungkin hanya karena aku yang bangun kesiangan, udah gitu aja. Suatu kali, ketika udah lulus SMK di mana aku baru menginjak 19 tahun, aku jujur ke Mama. Setelah bertahun-tahun lamanya aku tertutup dan semuanya kupendam sendiri, keberanian itu muncul dari diri sendiri. Ditambah hubunganku dengan Mama membaik, aku jadi lebih percaya dan terbuka pada Mama.

“Ma, waktu aku masih SD, kakak-kakakku mukulin aku sampai rasanya udah mati rasa. Tapi perasaanku yang sakit sampai sekarang setiap kali keinget.”

Mama nangis, aku ikutan nangis. Mama marah sama dirinya sendiri, menyesal karena dulu udah pernah ninggalin aku di saat aku butuh kasih sayang dari kedua orang tuaku. Mama peluk aku dan berulang kali minta maaf, beliau menyalahkan diri karena udah bikin aku tertekan sama keadaan ketika bersama kakak-kakakku.

“Maafin Mama, kenapa kamu baru bilang sekarang?”

Prinsip aku dari dulu, kalau ada masalah selesaikan sendiri jangan sampai orang tua tau. Tapi, nyatanya aku salah, karena aku masih butuh dukungan dari orang tua. Kayak, “Urusanku ya urusanku, urusanmu ya urusanmu sendiri dan jangan melibatkan aku.” Masih aku pegang sampai sekarang, tapi ada beberapa yang kuubah di mindset ku. Aku masih butuh orang tua, dan Mama yang sekarang selalu kasih dukungan buat aku, menyemangati aku, menyebut namaku dalam doanya.

Mama marah sama kakak-kakakku, memaki mereka, terutama kakak perempuan dan iparku, “Waktu Mama pergi, kamu apakan adikmu?”.
Aku masih ingat jelas setiap kalimat yang diucapkan Mama kepada mereka, dan—mereka mengelak.

Selama dua minggu setelah aku jujur semuanya, tentang kekerasan yang aku terima, tentang aku bertemu dengan dua psikiater berbeda, sampai aku pernah mencoba obat-obatan terlarang karena stress, Mama tahu. Mama selalu meminta maaf, berkata dia menyesal, gak mau ninggalin aku lagi.

“Mama gak salah, jangan salahin diri sendiri. Semua udah lewat,”
“Kenapa suadara-saudara kamu yang seharusnya melindungi malah menyerang? Sampai kamu sakit begini?”

Mama akan terus membahasnya, dan aku sempat menyesal karena udah cerita ke Mama. Bikin Mama ikutan sedih, Mama juga sempat gak nafsu makan gara-gara kepikiran, dan terus memaki kakak-kakakku yang yahh—bodo amat. Tapi, setiap kali kakak-kakakku pulang ke rumah dan disinggung seperti itu sama Mama, aku bisa lihat mukanya merasa bersalah. Agak senang sih, seharusnya mereka mengerti.

Waktu Mama bilang, “Kenapa baru bilang sekarang?” Aku jawab, “Mereka ngancam aku.” Dan Mama semakin marah, aku orangnya sangat jujur, kalau udah seperti ini sempat berpikiran untuk menghancurkan mereka dengan mengorek-ngorek masa lalu yang udah mereka perbuat ke aku.

Salah satu di antara kakakku bilang, “Didikan keras.”

What? That’s what you said “Didikan keras.” By breaking my mentality into a mental disorder like this! Ada saatnya dimana aku ingin menyumpah serapahi mereka, tapi aku gak bisa. Semuanya cuma aku pendam, orang melihat aku seolah aku gak kenapa-kenapa, tapi dalam jiwaku ini yang kenapa-kenapa.

Karena kami udah pada dewasa, jadi kami menghempaskan masa lalu kelam yang udah terjadi dulu. Aku memaafkan mereka, dan bersyukur karena aku cuek jadi menganggap itu—ya udahlah, gak apa-apa.

“Melan bukan termasuk cuek doang, tapi juga kategori dingin apa lagi ke lawan jenis.” I don’t care.
“Melan itu sarkastik orangnya.”
Gak apa-apa, silakan bicara seperti ini karena kenyataan.
“Dia galak.” Kenyataan.
“Suka gelud.” Emang.

Sampai suatu ketika…

“Emang cara bicaranya gitu, Melan gak akan bicara selama gak ada yang menyinggung perasaannya.” Yes, it is true.
“Suka gelud, tapi dia gak akan memulai kalau gak ada yang geplak kepalanya duluan.”
The other side of me, “Kamu ditampar, ya bales tendang.” Kalimat ini, aku pakai untuk melindungi diri.

But, my Mom said, “Kalau pipi kanan kamu ditamper, kasih pipi kiri kamu untuk ditampar selanjutnya.”

”Ya, Ma. Udah kok, udah aku kasih dua-duanya”.

Aku dengan kakak-kakakku, udah biasa aja. Kita menjalani kehidupan layaknya adik dan kakak, kalau dulu, aku kayak perusuh dan harus dikeroyok orang sekampung buat dibunuh secara perlahan. Terima kasih buat mereka, karena aku belajar banyak hal.

Kalau dipikir, masa lalu gak bisa dilupain, masa lalu jangan dikenang, tapi masa lalu harus diterima. Masa lalu tuh gak enak, iya emang bener. Dan ini versi aku, dari opini aku sendiri, bersahabat sama masa lalu gak masalah bagi aku. Karena, gak akan ada masa depan tanpa masa lalu. Artinya aku harus menata kehidupanku lagi buat menjadi yang lebihhhh dari masa lalu.

Aku bersyukur, karena frigid membuat aku merasa melindungi diri sendiri. Karena frigid, gak ada yang bisa cari masalah sama aku, mereka akan berpikir dua kali. Biasanya, aku bakal kasih peringatan, tapi kalau udah ketertaluan, ya udah—selesai.

Aku gak sombong gara-gara frigid yang disebabkan oleh ptsd, justru aku senang menjalani hari-hariku seperti ini, menerima yang namanya laki-laki di suatu saat nanti bukan masalah besar. Meskipun, yaahhhhhhh masih agak takut mau nikah, lah… Merinding dong, bayangin orang nikah itu kayak mereka hidup bahagia, ternyata gak, gak semua yang menikah itu punya kehidupan bahagia seperti orang di luar sana.

Belajar lagi dari masa lalu, karena kedua orang tuaku memiliki relasi hubungan yang tidak baik pula, jadi aku harus lebih berhati-hati lagi nantinya saat akan menikah dengan laki-laki yang udah ditakdirkan buat aku. Karena, aku percaya sama Tuhan, Dia pasti mempersiapkan seseorang buat aku suatu saat nanti.

“Melan, udah banyak berubah.”

Terima kasih buat kalimat yang masih aku ingat sampai sekarang, bangkit sendiri dari keterpurukan dan aku bisa senyum lagi ke dunia. Kakak-kakakku juga gak sekasar seperti dulu, Mama sama aku gak sering tengkar, Papa lebih berhati-hati juga ketika sedang berbicara sama aku, dan teman-teman aku memaklumi setiap karakter diriku, sebaliknya, aku juga belajar memahami dan memaklumi setiap karakter manusia yang berbeda.

Usiaku dua puluh tahun, dan menghadapi kejamnya dunia saat ini, aku lebih tertantang dan harus waspada. Gak semua bisa dipercaya, gak semua bisa diandalkan, gak semua bisa peduli satu sama lain, gak semua bisa dimintai pertolongan, dan semua harus dimulai dari diri sendiri buat menghadapi keadaan luar.

Selepas jujur ke Mama, dari situ hingga saat ini, aku belajar berdamai dengan diriku sendiri. Ketika aku salah, aku akan memperbaiki kesalahan itu. Ketika aku emosi, aku berusaha meredam dan tetap sabar. Someone told me, “As time goes by—Melan orang yang tenang.” Yaaaa…

Aku, menempatkan Mama di sebelah aku, karena Mama yang menggenggam tangan aku buat terus maju ke depan.

Be brave,” she said so. “The enemy must be resisted,” ya Ma, makasih.

Musuhku, adalah saudaraku di masa lalu atau masa yang akan datang, gak akan tau kedepannya bakal seperti apa, kan? Tapi yang lebih tepat, musuhku, diriku sendiri. Dan Melan, harus berdamai setiap hari.

There was so much I wanted to say but I couldn’t say anything—oh no, but now I can say what’s on my mind. Because I can say the important point and everything has been answered.

Pesanku, “Make peace with myself.” Memaafkan yang telah terjadi, dan jalani kehidupan baru kamu. Masih banyak yang lebih parah dari aku, jadi aku harus tetap bersyukur dan menerima keadaan. Yang terpenting, selalu meminta jalan keluar kepada Tuhan, dan terus percaya kepada-Nya.

Untuk kalian yang pernah atau sedang mengalami hal yang serupa… Jangan mau menerima ketika disalah-salahkan tanpa sebab yang jelas. Kalian harus lawan, harus tetap kuat dan cobalah untuk membela diri. Setelah usaha kalian lakukan, tetap bersabar dan berdoa kepada Tuhan untuk dibukakan jalan dan mendapat pertolongan. Seenggaknya itu yang masih bisa menguatkanmu untuk tersenyum pada diri sendiri.

Untuk para orang tua dan saudara yang lebih tua yang Melan hormati, dari perspektif anak seperti Melan… Tolong didiklah anak dan adik kalian dengan membimbing menuju ke jalan yang baik untuk kehidupan mereka. Bukan dengan kekerasan. Satu kali tamparan di pipi mereka, dibutuhkan sampai seumur hidup untuk menyembuhkannya. Didikan dengan tamparan bisa membuat orang tua menyesal di kemudian hari.

Ketika anak berbuat salah, beritahulah kesalahan apa yang telah mereka lakukan. Jangan lekas mengambil tindakan sehingga mereka harus menderita luka batin yang berkepanjangan seperti yang terjadi pada Melan. Anak-anak perlu diajari secara perlahan, bukan dengan tindakan kekerasan, karena pemikiran anak kecil dan orang dewasa itu jauh berbeda.

Terima kasih.