5 tahun lalu, pernikahan kami secara sah berakhir. Aku bercerai dengan suamiku. I am not proud of that. Dan sampai sekarang pun masih ada rasa malu ketika ada yang mengetahui kisah ini, bahkan dengan orang yang sudah kukenal. Aku sering bertanya, mengapa hal ini tidak bisa segera lenyap dari pikiranku. Pikiran di mana orang akan cenderung menghakimi dan menyalahkan, karena aku gagal berumah tangga. Ada beberapa dari mereka yang berkomentar…
“Kalau gagal, ya sudah, mau gimana lagi?”.
Akan tetapi, bagiku tetap saja ini adalah hal yang sangat sensitif dan berpengaruh terhadap keadaan jiwaku. Sangat sulit untuk bahkan menceritakan salah satu bab perjalanan hidupku ini pada orang lain, karena aku merasa benar-benar malu.
Rasa malu tersebut bukan berasal dari perasaan di mana aku masih ada ‘rasa’ dengan mantan suamiku, tapi lebih kepada betapa tiba-tibanya perceraian itu terjadi. Jiwaku terkejut, dan inilah yang membuat rasa malu itu berlipat ganda. Aku hapus semua foto-fotonya di akun jejaring sosial, supaya aku tak perlu lagi melihat memori-memori yang telah kita lalui bersama, kala itu. Dengan hilangnya foto-foto kita sewaktu masih bersama, merupakan satu tanda jelas dan keras bahwa ‘kita sudah mengambil jalan masing-masing’.
Sebagai perempuan, diusiaku yang sudah di atas 30, dengan status bercerai, tidak membuat orang-orang di sekitar berhenti menanyakan hal seputar “Kapan punya momongan?”
Tekanan lingkungan untuk segera memiliki anak kadang terdengar secara tidak langsung. Kalau diurutkan secara alfabet A – B – C – D, sebagai orang timur, kita harus menikah dulu. Kalau status masih single, bagaimana aku bisa siap punya anak?
Walaupun pertanyaan kapan punya anak ini membuatku risih, kesulitan yang lebih besar adalah bagaimana aku menghadapi luka batin dan perasaan malu yang teramat sangat dari perceraian ini. Walaupun aku telah lama hidup di negara barat yang memberi banyak kebebasan pilihan, aku masih orang timur dengan ketimuranku yang masih tebal melekat. Sebagai orang Indonesia dengan elemen Jawa dan Islam yang mengakar kuat di jiwa, aku merasa terikat dengan adat-adat, tata cara dan etika di mana aku dibesarkan.
Gagal dalam membangun rumah tangga merupakan kegagalan yang sangat besar dalam hidup. Di dalam benakku, impianku hanyalah menikah sekali untuk seumur hidup, serta kita berdua tua bersama hingga maut menjemput kita. Namun, kenyataan hidup begitu memukul berat jiwaku. Setelah perceraian sudah terjadi, perasaan menyalahkan diri muncul begitu kuat meskipun aku berusaha untuk tidak melakukannya. Aku menyadari bahwa aku sudah melakukan hal yang terbaik, namun Allah memberiku rencana yang berbeda. Sampai saat ini pun aku masih bertanya-tanya,
“Apa sih yang salah dengan diriku?” Bukan “Apa yang salah dengan dia?”
Akan tetapi, kadang dalam hidup, kamu sudah memberikan 100%, namun hidup tidak memberikan yang sesuai dengan harapan dan impian kamu. Atau, dalam ceritaku, orang yang aku harapkan memberikan energi yang sama, namun tidak demikian. Seperti yang ada di alam kita, ketika menanam padi bukan berarti prosesnya akan selalu mulus yang nantinya semua padinya bagus-bagus. Ada kalanya ada hama belalang dan akar ilalang menyerang yang membuat tumbuhkembangnya padi-padi tersebut tertantang atau bahkan terhalang.
Terdengar sederhana sekali, tapi ketika kamu berada di dalam bab kesedihan, hal itu susah sekali dicerna. Itulah alasan mengapa aku menjalani terapi bicara dengan psikolog, untuk mencerahkan kembali keadaan jiwaku. Aku tidak pernah ada keinginan untuk bunuh diri, namun saat itu aku sangat amat sedih.
Bertemu dan berbicara dengan seorang psikolog memang sangat membantu, namun keberhasilannya tetap kembali kepada diriku sendiri. Setelah selesai sesi dengan psikolog, aku selalu ada PR untuk mencintai diri sendiri dan menerima bahwa aku tidak bisa menyenangkan semua orang, termasuk pasanganku sendiri.
Selalu ada rintangan atau hal buruk dalam hidup kita. Secara perlahan, aku belajar untuk menerima bahwa dalam hidup aku tak akan selalu mendapatkan apa yang aku mau, dan tak semua usaha yang kuberikan akan berbalik sama.
Proses penyembuhan luka batin ini cukup lama. Setiap kali aku mulai membuka hati untuk mencari pasangan baru, pasti mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang cerita cinta di masa lalu. Dan itu selalu berat bagiku. Setelah bercerai, aku berhenti membuka hati, karena aku tidak mau mengulang cerita yang sama kepada orang yang berbeda. Mengulang cerita itu seperti membuka luka baru. I hate that story because it was a big sh*t in my life.
Aku hanya akan membagi cerita ini ketika aku sudah percaya dengan orang baru tersebut, karena betapa sedihnya cerita itu, tetap menjadi bagian dari hidupku.
Dan setiap aku bercerita tentang rumahtanggaku yang sebelumnya, malamnya aku mimpi buruk, dan mimpi buruk tersebut selalu berhubungan dengan yang kualami dalam perceraian tersebut. Dan itu benar-benar tidak sehat.
Selain lama sembuhnya, buatku yang lebih lama lagi sendiri adalah mulai percaya orang lain lagi, karena aku harus percaya terhadap diri dahulu. Aku harus mencintai diri sendiri. Dan ketika melihat orang lain, yang kelihatannya baik-baik saja, mungkin mereka juga sedang mengalami bencana dan kesedihan dalam hidup mereka. Atau, mereka yang baru saja mengalami hal buruk dalam hidup mereka namun kelihatan baik-baik saja, belum tentu adanya.
Ketika ada seseorang yang kamu kenal sedang mengalami hal buruk, atau baru saja mengalami hal buruk, berilah perhatian kepada mereka. Berikan hiburan, atau mungkin ditemani. Hanya karena mereka terlihat ok, bukan berarti mereka tidak perlu ditemani, didukung, dan dimotivasi. Ketika aku berada dalam kesedihan setelah perceraian, aku berusaha menutupinya. Aku tidak suka berbagi kesedihan, jadi semuanya kutelan sendiri. Dan itu tidak malah membuatku tidak segera pulih. Menutupi tanpa memproses kesedihan itu tidak akan menyembuhkan.
Inilah yang menjadi nasehat selanjutnya. Ketika mengalami kesedihan atau ada hal buruk yang sedang terjadi, carilah orang yang terpercaya untuk berbagi cerita. Agar tidak menjadi beban sendiri. Dengan membuka diri dengan orang yang bisa dipercaya, kita dengan sengaja menunjukkan kelemahan (vulnerable). Dengan menunjukkan kelemahan, kita memberikan sinyal bahwa kita membutuhkan bantuan. Dari sini kita membangun koneksi, ikatan batin dan kepercayaan. Aku berusaha jujur dengan keluarga, dan mereka sangat suportif. Hingga saat ini, mereka tetap bertanya “Bagaimana perasaanmu?”.
Aku tahu, bapak dan ibuku pasti ingin anaknya berumah tangga lagi, tapi mereka memahami bahwa aku sudah dewasa untuk menentukan jalan hidupku sendiri. Menentukan kapan dan dengan siapa aku akan membangun rumah tangga lagi. Aku juga bisa melihat bahwa mereka ingin sekali aku segera menemukan tempatku sebagai istri di dalam sebuah keluarga. Tapi karena mereka paham bahwa aku sendiri yang menentukan, mereka percaya bahwa aku tahu yang terbaik untuk diriku sendiri.
Teman-temanku juga mendukungku. Mereka membantu memotivasi, tidak nyinyir. Karena tidak jarang kalau di Indonesia, setelah terjadi perceraian, banyak orang malah menghakimi. Kebetulan aku tinggal di negara yang orang-orangnya memiliki pemikiran lebih terbuka untuk masalah perceraian. Perceraian bukanlah aib. Aku sangat bersyukur karena aku masih diberkahi dengan lingkungan yang positif.
Kadang aku berpikir, mungkin tekanan sosial akan jauh lebih tinggi kalau saat itu aku tinggal di Indonesia. Aku merasa sedikit terbebaskan karena di sini tidak ada yang menghakimi meskipun aku sudah lebih dari 30 tahun, belum punya anak. Jadi aku merasa lebih santai, tidak banyak mikir, tapi lebih merasakan segalanya lebih lambat dengan hati. Jadi, aku memperhatikan kesehatan jiwaku, seperti misalnya, ‘Bagaimana perasaanku saat ini?’, ‘Aku sekarang berada di mana di dalam bab kehidupanku?’, ‘Apakah aku sudah benar-benar bisa menerima perceraian tersebut, meskipun sudah lama dan masa penyembuhannya juga lama’.
Pesanku, terutama untuk diriku sendiri, hargai dan cintai diri sendiri. Itu adalah langkah pertama sebelum bisa mencintai orang lain. Dan menjadi bahagia ketika sendiri itu tidak mudah.
Sekarang, aku sudah merasa jauh lebih baik. Aku menemukan diriku yang baru, bukan yang dulu. Bekas luka dan rasa malu yang seumur hidup tidak pernah terbersit dalam benakku, membuatku menjadi diriku yang baru sekarang. Aku sekarang yang [semoga saja] lebih kuat dan sabar dalam menjalani hidup.
Semoga, ceritaku ini bisa memberi sedikit perasaan lega untuk teman-teman [terutama wanita] yang sedang mengalami rasa malu karena perceraian dan hal-hal lain, seperti belum punya anak yang kemudian menyalahkan diri sendiri, atau belum menikah hingga saat ini dan mulai menanyakan “Apa yang salah dengan diriku?”. Ketika kamu sudah merasa bahwa kamu harus berubah untuk menjadi dan merasa lebih baik, lakukan sekarang dan dengan caramu. Karena tujuan hidup orang berbeda-beda, jadi caranya juga beda. Kalau beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan itu membuatmu lebih baik, lakukanlah! Kalau mencari cara untuk mencintai diri sendiri akan membuatmu lebih baik, terimalah, cintailah dirimu, sekarang juga. Jelajahi kelebihan-kelebihanmu dan apa yang membuatmu bahagia, meskipun prosesnya pasti butuh waktu.
Kita semua pasti pernah mengalami perasaan tidak aman [insecure] dan masa-masa krisis. Jangan berhenti berharap, percaya bahwa sesuatu yang baik akan muncul dari krisis tersebut. Kalau usaha-usaha kita masih ada yang kurang, jangan terpuruk di dalam kegagalan secara berlarut-larut. Pada akhirnya, bukan hasilnya tapi pada proses apa yang telah kita lalui.