Anak Bungsu Penopang Keluarga

Oleh: Nurul

Dilihat:
kali

Mereka bilang, anak sulung adalah anak yang paling kuat karena banyak bebannya. Lalu bagaimana dengan anak bungsu?

Aku terlahir sebagai anak bungsu dari 4 bersaudara yang sangat disayang keluarga. Meski begitu aku berusaha untuk mandiri. Hingga masuk kuliah, aku sudah berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang agar tak membebani orang tuaku yang mulai sakit-sakitan. 

Semakin aku dewasa, label anak bungsu seperti berubah menjadi anak sulung. Aku dijadikan sebagai tempat curhat kakak-kakakku tentang masalah keluarga dan pribadi mereka, belum lagi orang tuaku yang sakit-sakitan membuatku selalu kepikiran. 

Semua masalah itu membuatku tak pernah berhenti berpikir, “Apa yang harus aku lakukan untuk membantu mereka?”

Bagiku beban mereka adalah bebanku juga, kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku. Aku selalu menempatkan keinginan mereka di atas keinginanku, yang selalu aku pikirkan adalah bagaimana membahagiakan kedua orang tua dan kedua kakakku. Akupun kerap menangis sendirian di tengah sepi.

Tahukah kalian bagaimana rasanya menangis dalam keheningan malam hingga tertidur?

Di balik cerita tentang keluargaku ini, aku akan menceritakan diriku sendiri di sini. Aku yang overthinking di keluarga ini telah penyakitan sejak kelas 1 SMA. Hingga saat aku menulis cerita ini pun, aku sedang terbaring lemah karena kambuh lagi. 

Di akhir semester aku sudah bekerja, tempatku bekerja dengan kampus cukup jauh, tapi tetap kuambil tawaran pekerjaan itu agar aku bisa punya penghasilan sendiri dan bisa aku berikan ke orang tuaku. Aku lakukan semuanya dengan bahagia. Aku bagikan juga ke kakak-kakak dan keponakanku. Di depan mereka yang kuberikan adalah senyum terbahagia yang aku punya, namun saat sendiri di kamar aku menangis haru dengan penuh syukur yang tiada tara.

Tahun 2019, duniaku seakan berhenti. Penyakitku kembali kambuh hingga membuatku aku dilarikan ke rumah sakit. Rasa sakit yang aku rasakan seolah aku akan mati. Saat perjalanan ke rumah sakit di dalam hati hanya bergumam “Ya Allah tolong jangan Engkau ambil aku sekarang, aku belum bahagiakan orang tua dan kakak-kakakku. Tolong kasih aku waktu lebih lama lagi untuk bisa berbuat baik pada orang lain juga”.

Setelah aku kembali sadar, aku sudah di rumah sakit. Wajah sedih ibu dan bapak membuatku bersalah karena telah membuat mereka khawatir untuk kesekian kalinya. Tanpa sadar air mataku mengalir saat menatap wajah mereka.

Setelah 7 tahun bergelut dengan penyakitku, baru kusadari bahwa aku didiagnosa penyakit kronis bernama Lupus (SLE). Ketika dokter menjelaskan tentang penyakit ini, rasanya duniaku terhenti dan hancur. Aku sangat ketakutan.

Di rumah, entah berapa kali penyakitku kambuh. Saat berjalan aku seringkali tiba-tiba jatuh, seakan aku sudah tidak bisa mengendalikan diri sendiri. Di gelap dan heningnya malam, aku sendirian menangis di dalam kamar. Semua seolah berbicara di otakku, apalagi orang tuaku yang semakin rapuh dan sakit-sakitan.

“Ya Allah, aku ingin sehat, aku ingin bekerja kembali. Aku ingin berikan kebahagiaan kepada keluargaku. Tolong aku ya Allah, tolong berikan aku waktu lebih lama lagi….” 

Bulan september 2020, akhirnya aku mencoba bekerja kembali walau dengan keterbatasan fisik. Namun sepertinya Tuhan sangat mencintaiku. Bulan Desember pada tahun yang sama, saat adzan subuh berkumandang aku mendapat telepon masuk. Kakak mengabarkan bapak sakit keras. Tanpa berpikir panjang, aku segera pulang dan langsung membawa bapak ke dokter spesialis. 

Aku temani beliau dan memastikan beliau diperiksa dengan baik. Di ruangan bapak sempat mengkhawatirkan biaya. Aku yakinkan bapak untuk tak perlu khawatir.

“Pak, aku bekerja demi bapak. Ini tugasku Pak, tugas bapak adalah semangat untuk sembuh” ucapku lirih.

Pengobatan dokter tidak membawa perubahan apa pun. Bapak masih kesakitan, selama aku hidup baru kali ini aku melihat bapak kesakitan seperti ini. Ini adalah kehancuran buatku. Sedihnya, sehari setelah aku bawa bapak ke dokter tiba-tiba ibu demam tinggi.

Ya Allah, ada apa lagi ini, bapak belum ada perubahan sekarang ibu yang sakit. Tanpa pikir panjang aku bawa ibu ke dokter dan benar saja ibu harus di rawat inap.

“Ya Allah bolehkah aku menangis lagi, Engkau uji keluargaku dengan seberat ini. Kedua malaikat ku terbaring lemah tak berdaya, apa yang harus aku lakukan??”

Sendiri aku menangis sejadi-jadinya. Setidaknya dari tangis itu aku bisa sedikit melegakan hati untuk memikul beban ini.

3 bulan sudah kedua orang tuaku sakit. Bapak masih belum bisa jalan, ibu pun kondisinya masih belum stabil. Tak lama kakakku jatuh sakit dan harus dioperasi. Kulihat tabunganku semakin menipis, tapi aku tak bisa meninggalkan mereka untuk mencari uang tambahan. Hal terpenting adalah kesembuhan mereka, pikirku biarlah aku hanya minum vitamin untuk menjaga agar tidak kambuh. Ah, rasanya sudah bodo amat dengan diri sendiri.

Sampai akhirnya pelangi perlahan hadir. Kondisi kedua orang tua dan kakakku semakin membaik meskipun mereka masih harus menjalani terapi dan pengobatan. Semua aku biayai dengan senang hati.

Dari apa yg aku alami ini, aku ingin mengatakan bahwa tidak semua anak bungsu itu selalu akan menjadi anak manja yang tidak bisa apa-apa, dan hanya mengandalkan orang tua dan kakak. Anak bungsu juga memiliki hati dan pundak sekuat baja. 

Namun tak bisa dipungkiri, kadang aku merasa lelah. Kini aku bisa menangis tanpa air mata, berteriak tanpa suara, otak bising karena suara-suara yang tidak bisa dikeluarkan. Sering kali berbicara sendiri dan menjawab sendiri juga, ingin berbicara tapi pada siapa? Ingin mengeluh pun tapi buat apa, tak akan memberikan solusi.

Untuk kalian yg anak bungsu tapi memiliki beban yang sangat banyak, semangat buat kalian. Kita kuat dan mampu menghadapi ujian karena Tuhan selalu punya rencana terbaik.

Oleh: Echi (Dyen Rinjani)
Tautan di Instagram dan Facebook