Siapa wanita terhebat yang kamu kenal? Aku akan menjawab nenek. Bagi anak-anak lain, mereka mungkin akan menjawab ibu adalah salah satu wanita terhebat dan idola mereka. Tapi bagiku, nenek adalah orang yang pantas mendapat sebutan itu.
Sejak bayi, aku tinggal bersama kakek dan nenekku. Kakek dan nenek menjadi saksi bagaimana aku berubah dari seorang gadis kecil manis menjadi perempuan dewasa. Jangan kira aku ini yatim piatu ya, karena aku masih punya orang tua lengkap, bahkan 2 ayah dan 2 ibu.
Kedua orang tuaku kerap bertengkar sejak aku masih merah. Mereka menikah di usia muda, sehingga mungkin saja mereka seperti itu karena belum bisa mengontrol emosi dan masih ingin memenangkan egonya masing-masing. Ibu selalu menyalahkan bapak, sedangkan bapak memang sering kasar kepada ibu dan tidak bertanggung jawab. Itulah salah satu alasan akhirnya aku dikirim ke rumah saudara atau nenekku.
Kebetulan rumah orang tua dan nenekku bersebelahan, jadi aku kecil masih sering pulang ke rumah. Maklum, aku ingin melepas rindu dan bermain bersama mereka. Ketika aku ingin menghabiskan waktu dengan bapak dan ibu, mereka berdua malah bertengkar di depan mataku. Setiap kali mereka bertengkar, aku selalu bersembunyi di balik dinding menyaksikan pertengkaran itu.
Walaupun begitu, bapak tidak pernah mengajarkan hal-hal negatif kepadaku dan adikku. Justru kadang bapak yang suka memberikan perhatian kecil, seperti menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Inilah yang tidak aku dapatkan dari ibu. Selain itu kakek nenklah yang paling banyak memberikan perhatian padaku. Pernah suatu malam saat SD aku demam tinggi, kakek dan neneklah yang mengantarkanku ke RS untuk diobati secepatnya.
Lulus SMK, aku memutuskan untuk bekerja di Bogor. Rencananya, aku ingin kuliah sambil bekerja. Akan tetapi di usiaku yang ke-19 tahun, ibu dan bapak memutuskan bercerai. Aku sadar biaya kuliah sangatlah mahal. Dengan berpisahnya kedua orang tuaku, pupus sudah harapanku untuk bisa melanjutkan jenjang pendidikan ke yang lebih tinggi.
Ku pikir rumah tangga mereka bisa dipertahankan, tapi aku baru tahu ternyata selain bersikap kasar bapak juga selingkuh. Anak mana yang tak sakit hati mengetahui orang tua mereka berselingkuh dan meninggalkan keluarganya demi orang baru? Aku sangat sakit hati, dan berpikir ibu juga pasti merasakan hal yang sama. Sayangnya pada saat kejadian itu aku sedang bekerja di luar kota sehingga tak bisa menemani ibu.
Setelah kabar perceraian terdengar, aku memutuskan resign dan pulang ke rumah. Aku berniat untuk bekerja di kampung halaman saja agar bisa menjaga sekaligus membantu kakek dan nenek yang sudah renta. Selama itu, aku terus menerka-nerka apa penyebab ayah berselingkuh, tapi lambat laun aku bisa menerima. Pikirku toh aku masih punya ibu yang akan mengasuh, merawat, dan menjaga anak-anaknya dengan lebih baik lagi.
Sayangnya harapanku terlalu tinggi. Saat aku pulang ke rumah, tetangga, saudara, serta kakek dan nenek bilang ibu semakin centil. Ibu sering sekali menggoda dan tergoda pria muda di facebook. Sejak itu ibu jadi kenal dengan banyak pria berhidung belang. Banyak juga laki-laki muda yang mendekati ibu hanya untuk dimanfaatkan, dimintai uang pulsa, atau hal lainnya.
Padahal untuk makan sehari-hari kami mengandalkan hasil jualan sayur mayur nenek di pasar, dan kakek sebagai petani. Sebagai anak satu-satunya anak dari kakek dan nenek, ibu masih sangat manja dan tidak bekerja. Alhasil kakek dan neneklah bertugas membiayai kebutuhan ibu dan adikku mulai dari uang pulsa, uang makan, dan kebutuhan lainnya. Sedangkan ayah pun dilarang berkunjung oleh ibu.
Aku sudah sering memberi tahu ibu bahwa ibu hanya dimanfaatkan. Ibu yang saat itu menjadi budak cinta tak mau mendengar malah memarahiku. Sikap ibu yang seperti itu membuatku tambah membencinya. Kami pernah bertengkar karena masalah tersebut, dan pertengkaran itulah yang membuatku jarang bertegur sapa dengan ibu hingga sekarang.
Bapak sempat berkata pada kami, “Jangan membencinya. Mau bagaimanapun dia adalah ibumu, yang melahirkan kamu”. Sedangkan respon ibu malah sebaliknya, memaki-maki bapak sok suci dan seperti tak punya salah.
Belum selesai permasalahanku dengan ibu, kakek dan nenek malah mendesakku untuk kuliah. “Nenek dan kakek dulu bercita-cita bisa melihat ibumu memakai toga. Tapi karena gak kesampaian, mau gak kamu saja yang berkuliah untuk memenuhi impian kakek dan nenek?”
Awalnya aku menolak, aku tak mau membebani kakek dan nenekku. Aku ingin bekerja saja agar beban mereka sedikit terangkat. Tapi melihat ketulusan mereka, dengan terpaksa aku mengiyakan permintaan mereka. Pada saat itu mereka senang sekali, aku tak bisa melupakan senyum cerah yang menghiasi dua wajah penuh guratan usia tersebut.
Saat perkuliahanku dimulai, aku berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bisa membantu kakek dan nenek. Ketika ada waktu luang, aku bergantian dengan nenek menjual sayur di pasar. Aku juga menyempatkan diri pergi ke sawah menemani kakek mengusir burung-burung yang memakan padi.
Kehidupanku mulai membaik, tapi hubunganku dengan ibu masih renggang. Meskipun ibu sudah mulai membantu nenek berjualan di pasar, sifanya tetap tak berubah.
Waktu itu Ibu pernah benar-benar kepincut dengan pria yang tidak diketahui sosok aslinya dan meminta izin kakek dan nenek untuk menikah dengannya. Tapi aku kukuh bahwa ibu tidak boleh menikah lagi. Kakek dan nenek juga masih belum siap dengan keputusan ibu.
Tapi suatu hari, ibu membuat kesalahan yang amat fatal sampai nenek murka dan sakit hati. Dengan uang yang didapat dari nenek, ibu kabur ke daerah Jawa Barat untuk menemui pacar virtualnya.
“Sana silahkan pergi sesukamu, biar anak-anakmu saya yang urus.” ucap nenek seakan-akan sudah terlalu lelah menghadapi anak semata wayangnya itu.
Selang beberapa lama ibu kembali. Ibu putus dengan pacarnya. Tapi perilakunya kembali seperti dulu, berkenalan dengan pria di facebook yang tidak jelas nyata atau tidaknya. Melihat ibu yang bersikeras menikah, akhirnya kakek dan nenek luluh dan menyerahkan semua kepada ibu. Tapi aku tetap kukuh menolak rencana ibu untuk menikah.
“Kenapa ibumu tidak boleh menikah lagi? Bapakmu aja boleh, kenapa ibu enggak? Kan ibumu juga masih muda”. Tak terhitung berapa kali aku mendapat pertanyaan itu dari kakek dan nenek, bahkan tetangga sekitar rumah.
“Sudah, biarkan ibumu menikah dan menemukan kebahagiaannya.” ujar nenek di suatu malam. Tapi aku masih bersikeras, kenangan pertengkaran dan perceraian bapak dan ibu masih jelas terlintas di benakku.
Bukannya mendukung, nenek malah marah kepadaku, “Yasudah kalau kamu nggak mau, ikut bapakmu aja sana gausah tinggal disini!”. Betapa hancurnya aku saat itu.
Perlahan-lahan aku mulai membuka hati. Aku mencoba mengizinkan ibu untuk menikah lagi dengan syarat alangkah lebih baik suami ibu berasal dari sini biar bisa lebih mengenal keluarga besarnya seperti apa. Aku masih belum menerima kalau ibu menikah dengan orang yang ia temui di social media.
Selang berapa lama, ibu akhirnya menikah siri dengan pria yang ia temui di facebook. Pria itulah yang menjadi ayah tiriku sekarang. Aku ingat sekali pada saat pergelaran acara, aku sedang outing class di Bali. Keluarga seperti menutupi pernikahan itu dariku, mungkin takut aku menolak. Teman curhat ibulah yang memberi tahuku.
Katanya, ayah tiriku statusnya gak jelas, duda sudah pernah menikah 3x. Tapi aku tak mau mencari kebenarannya lebih dalam lagi, aku sudah lelah. Biarkan saja ibu bertingkah semaunya.
Di tengah permasalahanku dan ibu, ada kakek yang selalu menemani. Kakekku tercinta yang selalu menguatkanku dan mengatakan semua pasti akan baik-baik saja.
Namun suatu hari, aku mendapati kakek terbujur kaku.
Aku menangis sejadi-jadinya, kehilangan salah satu orang yang sangat mendukungku. Dulu kakek berjanji akan menemaniku hingga aku berhasil memakai toga yang dibanggakan. Tapi kakek pergi lebih cepat, mengingkari janji yang telah dibuat. Sepeninggalan kakek membuatku seperti kehilangan sebelah sayap.
Sekarang, aku menjadi pengganti kakek untuk menemani nenek di setiap malam. Kami sering bercerita, tertawa bersama, bernostalgia masa-masa dulu saat masih ada kakek. Aku ingat sekali, kakek sering menyuruhku ke sawah untuk membantu kakek. Terkadang aku juga mengajak teman-teman bermain ke sawah. Bukannya terganggu, kakek malah merasa senang. Katanya, aku dan teman-teman bisa jadi pengganti orang-orangan sawah untuk mengusir burung.
Kini tinggal nenek yang bekerja demi sesuap nasi anak dan cucunya. Aku tidak sanggup, melihat tubuhnya yang membungkuk diantara pedagang lain membuat hatiku sangat sakit.
Aku selalu berdo’a, semoga nenek tetap kuat menghadapi semua cobaan yang menimpa keluarga ini. Aku juga berharap, Tuhan dan kakek selalu mendukung kami disini.