Bagaimana Rasanya Menjadi Seseorang Dengan Bipolar?

Oleh: NN

Dilihat:
kali

By: Awkward Pink_Queen

“Seperti apa rasanya menjadi seorang bipolar?”

Seandainya ada yang menanyakan itu pada saya, mungkin ingin sekali rasanya saya bisa menjawabnya begini, “Seperti apa rasanya menjadi normal? Tunggu. Yakin kamu normal?”

***

Insomnia

Saya menulis ini dalam keadaan insomnia parah. Lagi. Seperti ada gumpalan batu bara yang membara di dalam dada. Panas. Sesak. Andai saya bisa memasukkan tangan ke dalam dada lalu membuang batu itu ke tempat sampah dengan penjepit.

Saya mencoba tidur, tapi saya terus mengkhawatirkan akan hari esok. Terbayang deretan tanggung jawab yang sudah saya iyakan, tapi tak kunjung juga terselesaikan karena rasanya sulit sekali untuk duduk diam dan berkonsentrasi mengerjakan semua itu sampai selesai. Termasuk tanggung jawab untuk menyelesaikan tulisan ini.

Konflik Internal

Sudah berminggu-minggu sejak kakak tingkat saya yang merupakan founder sekaligus developer situs web ini bertanya apakah saya bisa membantu menyumbangkan artikel tentang bagaimana saya menghadapi mental health issue selama ini. Dengan pedenya saya langsung mengiyakan. Karena saya pikir apa susahnya, sih menuangkan pengalaman personal semacam itu? Tak perlu susah-payah berimajinasi, langsung saja ambil dari pengalaman pribadi. Toh saya sudah cukup sering mencatat naik-turun gejolak kondisi saya melalui status-status WhatsApp: kode-kode SOS sangat terselubung kepada siapa pun yang kebetulan membacanya bahwa saya sedang tidak baik-baik saja. Sekaligus cara untuk menghayati berbagai rasa sakit tak terlihat dan menyimpannya baik-baik demi bahan riset novel-novel yang sedang saya konsep.

Ya, sejak menjadi “alumni” bangsal psikiatri no. 23, saya jadi suka menulis kisah fiksi kelam yang menggambarkan gejolak psikis para tokoh utamanya. Padahal, sebelum mendapatkan diagnosis tulisan-tulisan saya hampir semuanya murni bergenre komedi. Tentu saja bahan utama riset untuk “teknik menarasikan konflik internal para tokohnya” saya ambil dari diri saya sendiri. Sering saya dengan agak bercanda bertanya-tanya apakah Tuhan memberikan “anugerah afektif bipolar” hanya agar saya mampu menulis novel dengan penuh penghayatan.

***

Kewalahan

Tapi nyatanya ternyata menuangkan semua kisah saya tidak semudah itu. Padahal, begitu tawaran itu saya terima, serentetan kisah dan narasi langsung mengalir dalam otak saya. Terus datang bersahut-sahutan. Seolah sisi dalam diri saya menjerit-jerit berlomba-lomba untuk menunjukkan dirinya karena merasa diberi panggung. Dasar. Sudah bipolar, ekstrovert sanguinis pula. Namun kurang ajarnya, begitu saya mengira sudah siap menulis, tiba-tiba saja aliran narasi itu tersendat. Macet. Lalu mandeg. Kalau tidak begitu arus kisah dan kata-katanya jadi terlalu deras hingga tangan dan kesadarannya tak mampu menerjemahkannya ke dalam bentuk tulisan secara konkret. Biasanya saya lalu jadi pusing dan memilih untuk tidur saja. Meskipun begitu kepala ini menyentuh bantal, kurang ajarnya lagi mata malah jadi segar meski kepala tetap nyut-nyutan. Dan akhirnya saya kembali terjaga, tapi juga tidak menulis. Begitu terus yang terjadi selama berminggu-minggu.

Saya memiliki dua tanggungan utama yang lain ketika menerima tawaran menulis artikel ini. Mengedit naskah novel milik orang lain, dan meneruskan revisi naskah rancangan cerita komik yang sedang dalam proses bimbingan editorial di sebuah agensi bersama seorang partner ilustrator. Saya kira tidak masalah jika hanya menambahkan satu tanggungan lagi. Namun, setiap saya hendak memutuskan mana dulu yang akan dieksekusi, tiba-tiba saya merasa limbung dan kebingungan. Dan akhirnya saya jadi ketakutan. Pada akhirnya tak satu pun yang bisa saya selesaikan.

Saya terus menyalahkan diri saya sendiri karenanya. Bagaimana ini bisa terjadi? Padahal sebelum Ramadhan tahun ini saya begitu produktif. Permintaan revisi naskah biasanya bisa langsung saya selesaikan dalam waktu satu hari. Rasanya begitu powerful dan di atas awan. Daya kreasi saya mendadak luruh diguyur sesuatu yang oleh generasi milenial saat ini disebut dengan “mager” alias males gerak. Sepertinya pergantian editor di agensi dari sebelumnya sudah sudah senior dan sangat aktif ke editor baru yang masih junior dan bersifat pasif punya andil dalam penurunan mood berkarya secara drastis. Tapi mari kita simpan kisah ini untuk lain kali saja.

Manic

Apakah saya dalam keadaan manic saat dengan yakin mengiyakan tawaran menulis di web ini dari kakak tingkat saya? Bahkan saya mengatakan ada begitu banyak hal yang ingin saya sampaikan dalam tulisan-tulisan itu nanti. Dan kakak tingkat saya mengatakan mungkin saya bisa membuat semacam serial dalam situs web ini. Keren. Saya tidak tahu apakah keputusan untuk berkata “ya” itu adalah hal impulsif akibat berada di bawah pengaruh kondisi manic. Segalanya terasa normal dan datar-datar saja saat itu. Tak ada lonjakan gejolak hati yang berarti. Hanya saja begitu saya duduk di depan laptop atau memangku komputer tablet untuk mencoba menuangkan rancangan tulisan-tulisan itu, yang saya lakukan malah mengakses dan membagikan tautan video-video lucu di Facebook, membaca novel, mencari-cari bacaan baru di aplikasi Ipusnas, mengupdate progress baca buku di Goodreads, dan menyimpan file-file gambar dari Deviantart.

Oh ya ngomong-ngomong kondisi manic adalah kondisi yang dialami penderita bipolar berupa peningkatan suasana hati secara ekstrim. Akibatnya orang itu akan cenderung jadi lebih impulsif dan spontan dalam mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan risiko dan konsekuensinya matang-matang. Orang dalam kondisi manic juga bisa jadi overpede dan merasa terkoneksi dengan banyak orang sekaligus. Setiap mengalami kondisi manic saya bisa jadi sangat sosial dan terbuka, serta ingin berkomunikasi dengan banyak orang. Kondisi yang ironisnya dipandang sebagai sesuatu yang charming oleh banyak orang yang tak tahu gejolak macam apa yang sebenarnya sedang saya alami di dalam kepala dan juga di dalam dada. Tingkat kreativitasnya dan produktivitas orang dalam kondisi manic pun bisa jadi naik secara signifikan, namun semua itu bisa terjadi secara tidak terkontrol. Dan jika berkonfrontasi dengan orang dalam kondisi manic, siap-siap saja menghadapi ledakan emosi bagaikan tumpahan lahar gunung berapi. Eksplosif. Total jenderal. Full-throttle.

Jadi kembali lagi, apakah saya sedang manic saat saya menerima tawaran menulis artikel ini? Kayaknya enggak. Oke-oke saja, tuh. Oh. Sial. Jangan-jangan kepedean saya yang mengira bahwa saat itu saya tidak sedang manic justru pertanda bahwa sedang mulai manic?

Prokrastinator Tingkat Akut

Semakin lama saya menunda untuk menuliskan artikel ini, semakin menumpuk gumpalan perasaan bersalahnya. Sempat sampai tak berani mengklik pesan di FB dari kakak tingkat saya itu yang menanyakan kapan naskah ini akan dikirimkan, dan apakah saya butuh bantuan. Kami baru kembali berkomunikasi saat kakak tingkat tersebut mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan rencananya untuk menghabiskan cuti hamilnya di Indonesia. Dan saat itu barulah saya bisa punya kesempatan meminta maaf karena belum sempat menyelesaikan tulisan yang saya janjikan.

Sungguh. Menjadi prokrastinator tingkat akut adalah salah satu hal yang saya benci selama saya mengalami gejolak psikis. Kelihatannya saja saya bisa bersantai-santai menikmati hari. Tapi aslinya di dalam ini saya tidak bisa sesantai itu. Rasanya seperti bersenandung dan bersiul-siul sambil berjalan menuju jurang di depan mata. Sampai sekarang saya tak tahu apakah menunda-nunda pekerjaan adalah efek dari kebipolaran saya, atau malah saya menjadi bipolar salah satunya gara-gara pola prokrastinasi selama menahun.

***

Depresi Mayor

Padahal, sudah lama saya ingin sekali menuangkan jurnal tentang bagaimana awalnya saya bisa mendapatkan diagnosis afektif bipolar dan bagaimana saya bisa melewati kondisi-kondisi paling berat tanpa pernah harus berakhir dengan percobaan bunuh diri. Namun, saya terlalu takut untuk menuangkannya secara detail. Tak ada wadah yang memadai. Jurnal-jurnal tentang gangguan kesehatan mental jelas biasanya ditulis untuk memberikan pemahaman kepada orang awam atau sesama penderita. Untuk apa saya menuliskan semua itu kalau pada akhirnya hanya berani saya baca sendiri? Tapi saya tak sanggup menanggung risiko jika kemudian orang-orang mengetahui sayalah yang membuat tulisan-tulisan semacam ini. Hampir satu dekade menghadapi diagnosis bipolar rupanya tidak cukup untuk membuat saya terbiasa. Sampai sekarang.

Saya memang senang sekali menulis secara acak di media sosial saya, tapi hal ini bukan hal yang mudah untuk disebar begitu saja. Sebagai catatan, saya pernah mencoba mendeklarasikan bahwa saya seorang bipolar di tahun 2017. Pada saat itu jelas saya sedang sangat manic. Hasilnya? 50% pengalaman saya saat itu tidak begitu memuaskan. Karena itu saya kembali menutup diri. Membiarkan orang-orang mungkin lupa akan apa yang sudah terjadi. Tapi sekali lagi, mari kita simpan detail cerita itu untuk kesempatan lain, ya.

Paling jujur sekarang saya hanya sesekali bercerita bahwa saya pernah berhadapan dengan depresi mayor berkali-kali. Karena entah ini ironi atau justru komedi, ternyata cukup banyak kawan senasib dalam lingkar pertemanan saya. Mungkin karena saya biasanya berteman dengan sesama penulis ataupun pengkarya lain seperti ilustrator atau komikus. Jurnal-jurnal psikologi pernah menuliskan bahwa orang-orang yang menekuni bidang seni memang lebih rentan terkena gejolak psikis dan gangguan mental. Jika mengingat konsep no pain no gain, mungkin itulah harga yang pantas untuk dibayar demi setiap keindahan artistik buatan tangan yang ada di muka bumi?

Yang jelas saya tak lagi berselera untuk membahas diagnosis afektif bipolar saya secara publik. Kecuali hanya pada orang-orang tertentu yang jumlahnya sangat terbatas. Mereka yang dari awal sudah tahu soal kondisi psikis saya, dan terbukti sebagai manusia-manusia luar biasa yang sanggup memperlakukan saya dengan normal dan sewajarnya saja. Karena biasanya mereka sendiri juga pernah merasakan apa yang saya rasakan. Dalam tingkatan taraf yang berbeda. Entah lebih ringan, setara, atau malah justru lebih berat. Kepada kawan-kawan senasib itulah saya baru bisa terbuka dan berbagi cerita. Itupun sering saya tidak terlalu luwes untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan kepada mereka kecuali kalau benar-benar sudah tidak tahan lagi. Pasalnya saya takut ketidakstabilan saya bakal “menular” dan memengaruhi kondisi psikis mereka yang mungkin saja sedang naik-turun.

***

Bisa berkata bahwa saya pernah mengalami depresi seperti kebanyakan orang tapi tak bisa bercerita bahwa saya adalah penerima diagnosis bipolar itu rasanya seperti mengatakan saya suka mie instan tapi saya tak bisa mengatakan bahwa saya suka Mie Gaga Kuah Jalapeno Level 5 gara-gara dikelilingi para pemuja Indomie. Penjelasannya begini: orang-orang yang memperhatikan takaran gizi asupannya secara ketat akan menganggap bahwa para pecandu mie instan adalah orang-orang yang berada di luar batas kewajaran. Tidak normal. Namun, bagi sesama pecandu mie instan, tidak masalah jika kami secara serentak mendeklarasikan kecintaan kami pada Indomie. Faktanya tampaknya saat ini nyaris semua orang suka Indomie. Dan pada hari ini, mengaku diri menderita depresi tampaknya menjadi “trend” di kalangan generasi milenial. Sesuatu yang oleh orangtua saya diinterpretasikan sebagai tanda-tanda akhir zaman.

Kembali lagi pada analogi konyol saya soal depresi mayor vs bipolar dengan Indomie vs Mie Gaga Kuah Jalapeno. Bagi para pecandu mie instan, “yang lazim” adalah menyukai Indomie, bukan Mie Gaga Kuah Jalapeno Level 5. Indomie lebih mudah ditemui karena dijual di banyak tempat. Sedangkan Mie Gaga Kuah Jalapeno Level 5 hanya dijual di tempat-tempat tertentu secara terbatas. Hingga tidak semua orang tahu bahwa produk ini benar-benar eksis. Iklan-iklannya saja nyaris tak ada di televisi, kan? Begitu juga dalam kasus depresi vs bipolar. Banyak orang yang langsung paham begitu mendengar seseorang didiagonis menderita depresi klinis mayor maupun minor. Setidaknya mereka memiliki bayangan umum soal kondisi orang dengan depresi. Walau mungkin mereka akan menggeneralisir kondisi kesedihan biasa sebagai pertanda depresi juga. Namun, masih banyak orang yang bengong begitu disodori istilah “bipolar” apalagi “afektif bipolar”. Umumnya orang menginterpretasikan bipolar hanya sebagai kondisi moodswing, padahal diagnosis gangguan mental lainnya yang bukan bipolar pun ada juga yang disertai gejala moodswing. Parahnya, malah ada yang mengira bipolar itu sama dengan kepribadian ganda, bahkan psikopat.

Sial. Di kalangan sesama penderita gejolak psikis pun tetap saja kami yang didiagnosis bipolar ini kena stigma aneh-aneh. Jangan gitu, dong.