Duck Taped

Oleh: Nurul

Dilihat:
[post-views]
kali

“I will never turn into the kind of parent I had.”

Sebuah kalimat menyakitkan, namun anehnya bisa sedikit menenangkan amarahku ketika itu terucap. Perasaan yang sudah lama terpendam di benakku mendadak mencuat ke permukaan. Perasaan familiar kembali mengawang di dadaku. Menyedihkan memang. Menjelang umur 30 ini, aku ternyata masih harus mengulang kembali afirmasi seperti itu dalam hidupku. Ternyata aku dan tentu saja suaraku masih belum ‘didengar’ oleh mereka hingga saat ini. Bahkan ketika aku mengeluhkan tentang suaraku yang tidak didengar, mereka tetap tidak mendengarkannya.

Kukira kebiasaan suara yang diabaikan itu hanya terjadi selagi aku masih kecil dan remaja saja, tapi siapa sangka pendapat dan keinginan diriku yang sudah dewasa ini masih juga ‘bukan apa-apa’ untuknya. Hal ini membuatku kembali bertanya-tanya kepada diri sendiri tentang apa dan dimana yang salah. Bukankah Tuhan menciptakan telinga dua kali lebih banyak dari mulut agar manusia lebih mau mendengarkan dibandingkan berbicara?

Ketika kecil aku terbiasa tidak didengar oleh orang dewasa terdekatku. Ketika mengobrol, ceritaku terkadang terputus di seperempat jalan. Rasa syukur kupanjatkan jika ceritaku bisa sampai pada setengah jalan. Ketika berdiskusi, pendapatku tidak dihiraukan. Ketika menanyai keinginanku, ucapanku selalu ditangguhkan. Bahkan hal kecil seperti potongan dan gaya rambutkupun tidak bisa bebas mengikuti kehendakku. Rambut dan kepala memang ada pada ragaku, tapi tidak dengan kekuasaan dan kebebasannya. Rasanya seperti apa? Ya, seperti suaramu itu tidak ada. Seperti pendapatmu itu tidak berarti. Seperti keinginanmu itu bukan sebuah harapan. To sum it up, it makes you feel like you are no one.

Meskipun pendapatku tidak selamanya sesuai dengan milik orang dewasa di sekitarku, tapi itu juga perlu dan butuh untuk didengarkan. Kau tahu? Bahkan buih berisi udara yang berada di dalam air pun ingin didengar, mereka meletup bersuara ketika muncul di atas permukaan air. Ouch! I am way less than a bubble, I assume.


Tidak nyaman? tentu saja iya, tapi lama-kelamaan menjadi terbiasa. Ha! Seorang anak kecil yang baru mulai mengenal dunia, sudah harus dipaksa merasakan ketidakadilan. Harus mendengar tapi tak pernah didengar.

Bagaimana menurutmu? Dia merasa ‘tidak dianggap’ selagi dirinya mulai mempelajari segala hal yang dilihat dan didengarnya. Selagi dirinya mempertanyakan ini dan itu. Selagi dirinya ingin mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Selagi dirinya bersemangat tentang hidup.

Sewaktu kecil, aku belum dapat menjelaskan apa yang kurasakan. Aku hanya tahu semua emosi saat itu membuatku tidak menyukai keadaan dan beberapa orang di sekitarku, bahkan sesekali aku sempat tidak menyukai diriku sendiri. Perasaan tidak nyaman kala dibungkam itu menetap dan menjadi hal yang tidak asing untuk dirasakan.

Aku yang masih kecil dan tidak memiliki banyak pengalaman, kemudian berteman baik dengan ketidaknyamanan.

Sayangnya, itu bukan pertemanan yang sehat. Bukan pertemanan apik seperti anjing Hachiko dengan tuannya. Aku semakin merasa ada yang salah dengan pendapatku, bahkan dengan diriku yang membuat orang lain tidak mau dan/atau tertarik mendengarku. Oh, sudah tentu aku mulai mencari kesalahan atas kondisi itu dari dalam terlebih dahulu –yang kemudian kukenal dengan istilah introspeksi. Aku mulai mempertanyakan ‘diriku’ kepada—ayolah, menurutmu siapa lagi yang akan mendengarkannya?!— tentu saja, diriku sendiri. Alhasil diriku yang lain menjawab agar aku mulai mengambil jalan pintas, yakni menyesuaikan diri dengan menjadi bukan diri sendiri sehingga aku tidak perlu lagi gelisah selagi berkomunikasi.

Aku pernah memilih untuk lebih banyak diam hingga akhirnya orang mengenalku sebagai anak yang pemalu. Aku pernah memilih untuk mengiyakan semua omongan yang kudengar, kendatipun aku tidak menyetujuinya. Aku pernah memalsukan responku semata-mata untuk mempercepat proses komunikasi yang pincang sebelah itu. Aku mulai tumbuh dengan ‘pertemanan’ yang tidak sehat itu dan lebih banyak menyimpan pendapat dan perasaan kepada diriku sendiri. Aku tidak lagi peduli membaginya dengan orang lain, toh aku juga merasa mereka juga tidak memedulikannya. (Oh, seandainya diriku memiliki tempat untuk memperjelas semuanya kala itu).

Yeah, I never felt good about myself.
Aku yang memasuki masa remaja, mulai gelisah dengan ketidaknyamanan yang melekat dan mulai memikirkan cara agar didengar. Aku mulai ‘bersuara’ ketika berada di tengah-tengah lingkungan sekolahku. Ternyata, ketika berada di tengah-tengah percakapan dengan teman sebaya suaraku dapat didengar. Aneh bukan? padahal sejak dulu suaraku tak pernah didengar.

Meskipun aneh, aku menyukainya. Aku lepas berteman dengan ketidaknyamanan dan menghabiskan waktu dengan orang-orang yang mau mendengarkanku agar aku tidak lagi gelisah. Kau tahu? Rasanya seperti ‘menemukan’ diriku yang selama ini hilang dengan memendam segala pikiran dan perasaannya.

Sayang sekali keadaan menyenangkan itu hanya terjadi di waktu-waktu tertentu saja. Bak suara radio rusak, suaraku kadang terdengar dan kadang tidak. Oleh karena itu, aku kemudian menjadi dua sosok yang berbeda. Aku menjelma menjadi sosok yang pendiam, jika sedang berada di rumah atau di lingkungan keluarga. Sosok lainnya akan muncul, jika sedang bersama teman-temanku. Iya, sosok aku yang tidak pendiam, bersuara dan didengar. Well, tidak bisa dibilang bawel karena sesekali aku masih merasa sungkan untuk berbagi cerita maupun pendapat kepada teman-temanku.

Sosok satu berganti menjadi sosok lainnya, seolah ada tombol switch yang bisa kugunakan untuk mengganti sosok yang ingin kutampilkan. Namun, satu hal yang kusadari dan tidak kusukai adalah aku menjadi seseorang yang asing, terutama bagi diriku sendiri. Selagi kita membicarakan hal yang tidak kusukai, ada hal yang ingin kubagikan. Namun, rasa dan memori ketidaknyamanan yang menempel sewaktu kecil membuat diriku tumbuh menjadi seseorang yang takut akan kritik dan ragu dengan intuisi milikku sendiri, bahkan hingga sekarang.

But, I’m working on it and I will never stop until I feel better ‘cause I’m afraid to turn into the adult I knew.

Oleh: Andromeda
Tautan Facebook dan Instagram