Perkenalkan, namaku Aci. Kisahku dimulai ketika aku pertama kali bertemu dengan lelaki itu, 8 tahun yang lalu. Kami pertama kali bertemu di kantor BKD, dia termasuk dalam tim penerimaan CPNS dan aku peserta ujian.
Lelaki itu tak terlalu tampan, tapi cukup membuatku terpana. Tutur katanya baik, sopan, dan lembut. Sikapnya manis sekali. Kami tak berbicara banyak, hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata pelaksanaan ujian. Kemudian berpisah satu sama lain.
Selang sehari setelah itu, tiba-tiba aku mendapatkan telepon dari panitia CPNS. Katanya ada yang mencariku. Pada saat itu aku khawatir, apa aku berbuat kesalahan? Aku tak melakukan kecurangan apapun. Aku terus bertanya-tanya kalau-kalau aku berbuat fatal.
Panggilanku pun dialihkan ke seseorang dan menambah debaran jantungku.
“Halo?” dari seberang telepon aku mendengar suara lembut yang tak asing. “Halo, ini Aci ya?”
“Iya, halo. Benar. Ada apa ya pak?”
“Oh enggak, gak apa-apa. Cuma mau nelfon aja. Aci tau gak ini siapa?”
Dan begitulah awal mula cerita kami. Dia selalu menelponku dari kantornya, dan aku sudah hapal kalau-kalau dia mengaku sebagai panitia. Itu memang kebiasaannya. Kemudian hubungan kami berlanjut ke bertemu di kantor masing-masing. Saat itu aku bekerja sebagai asisten apoteker di salah satu apotek daerahku, cukup jauh dari kantor ataupun tempat tinggalnya, tapi dia rela menempuh jarak tak jauh demi menemuiku.
Setelah 2 bulan PDKT, kami memutuskan untuk berpacaran. Kata orang, masa pacaran tak sehangat PDKT, tapi aku tak merasa begitu. Dia tetap menghargaiku, memperlakukanku sangat lembut, dan juga dia sangat dekat dengan orang tuaku.
3 bulan merajut kisah cinta, kami semakin serius. Setelah mendapat restu kedua orang tua masing-masing, akhirnya kami sepakat melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Bisakah kalian bayangkan, betapa aku adalah wanita yang beruntung karena mendapatkan suami yang sangat penyayang dan perhatian. Sudah terbayang di benakku kami akan menjadi keluarga dengan penuh kebahagiaan.
Di usiaku yang ke 23 tahun, aku resmi menjadi istri dari seseorang. Setelah akad dilangsungkan, aku pun diboyong tinggal bersamanya. Seperti yang sudah kuduga, kami menikmati hari-hari penuh tawa bahkan bisa dibilang lebih romantis dibandingkan dengan masa-masa kami berpacaran.
Namun perlahan-lahan kehangatan itu berubah menjadi dingin yang mencekam. Mendadak ia menjadi orang yang sangat berbeda. Dulu saat kami berpacaran, dia tak pernah cemburu dan sangat mendukungku dalam karirku. Tapi sekarang dia menjadi sangat posesif, bahkan dengan orang terdekatku yang ia juga kenal.
Kami berdua memang pekerja, jadi sudah sewajarnya jika memiliki hubungan baik dengan rekan kerja yang berbeda jenis kelamin. Aku memaklumi dia saat menghubungi atau mendapat telfon dari rekan kerja wanitanya dengan alasan pekerjaan. Tapi ketika temanku menelfonku, dia bisa sangat marah sekali. Bahkan saudara dan ayahku pun dicemburui.
Aku tak habis pikir kenapa dia bertingkah seperti itu. Setiap kali aku menanyakan alasannya, dia selalu menghindar dan tak menjawab. Hal ini membuatku sangat sangat frustasi, bagaimana bisa aku mengerti alasan kecemburuannya kalau dia tidak terbuka?
Tapi lama kelamaan sikapnya semakin parah, aku dipaksa berhenti bekerja dan tak diperbolehkan ke luar rumah. Tembok pagar ditinggikan, sampai-sampai cahaya matahari pun tak mampu menembus rumah kami. Pintu utama dan pagar selalu dikunci dan dibawa kuncinya oleh dia, sehingga akses keluar rumah benar-benar tidak ada.
Aku selalu mencari alasan untuk keluar, beli sayur, sabun mandi kalau habis, atau lainnya. Tapi dia tetap tak mengizinkanku pergi sendiri. Kalau aku harus pergi, ia akan ikut menemani. Termasuk membeli sayur di depan rumah atau keperluan rumah di warung. Pernah sekali aku menolak untuk ditemani, balasan yang ku dapat adalah makian kasar.
Aku benar-benar seperti burung yang terjebak dalam sangkar yang dingin tanpa kehangatan sinar matahari.
Selain mengurungku, dia juga sudah mulai berani KDRT. Tiap ada nomor yang tak dikenal, satu tamparan mendarat di wajahku. Kalau teman, saudara, atau ayahku menelpon, pukulan atau cekikan aku terima. Karena akses rumah ditutup, aku tak bisa meminta bantuan siapa-siapa. Hanya aku sendiri merawat luka fisik dan batinku, mengobati luka memar sendiri, menahan rasa sakit yang sangat dalam.
Dia juga selalu membuang HPku setiap itu terjadi. Tak terhitung berapa kali aku membeli HP baru agar bisa berkomunikasi kembali dengan orang-orang yang aku sayangi.
“Punya istri kok gak becus!!”, dia juga sering memarahiku seperti itu. Padahal aku sudah menuruti semua kemauannya. Aku tertekan sekali, aku merasakan tekanan mental yang sangat hebat.
Di tengah luka batin yang kurasakan, aku masih berusaha menjadi istri yang baik dan mencoba memaklumi sifat posesifnya. Kalau-kalau ada teman atau saudara laki-laki yang menghubungi, aku berusaha untuk tak menghubungi mereka jika sedang bersama suamiku.
Tapi tak cukup luka yangg ditorehkan oleh suami, orang tua pun ikut menuang luka demi luka karena tak terima aku tidak diberi izin untuk kerja.
“Ibu dan bapak sudah capek-capek menyekolahkanmu tapi kamu gak kerja. Trus apa gunanya semua itu?”
Di mata mereka, hanya akulah yang salah. Mereka tak terima dengan alasan yang ku berikan, pokoknya di mata mereka akulah penyebab sampai suamiku berbuat demikian. Sumpah serapah tak luput dari mulut mereka. Aku merasa, kenapa orang tuaku justru seperti membela suamiku, bukannya aku yang merupakan anak kandung mereka.
Lama kelamaan aku tak bisa membendung beban ini. Aku mulai merasa depresi yang sangat hebat. Setiap kali orang tuaku datang berkunjung, badanku selalu gemetar sampai tangan dan kaki terasa dingin hingga terasa mau demam. Beberapa kali pikiran bunuh diri menghampiriku. Aku rasa penderitaan ini akan berakhir jika aku mengakhiri hidupku.
Tapi hal itu tak jadi ku lakukan. Beberapa bulan pernikahan kami, akhirnya aku dikabarkan positif hamil oleh dokter. Betapa bahagianya aku mempersiapkan kehamilanku. Kulihat suamiku berkaca-kaca mengetahui kabar kehamilanku, walaupun ia berusaha menutupinya tapi pancaran kebahagiaannya terlihat jelas.
Sayangnya penderitaanku tetap tak berakhir. Caci maki masih ku terima, walaupun ia tak lagi melakukan kekerasan padaku. Beberapa bulan setelah bayiku lahir, tepat saat mertua berkunjung, aku tinggalkan bayiku dan memutuskan kabur ke rumah orang tuaku. Meskipun aku sangat terluka dengan perkataan kedua orang tuaku, saat itu rumah orang tua adalah tempat teraman.
Sesampainya disana aku menangis tersedu-sedu. Ku ceritakan penderitaan yang ku alami selama ini, perlakuan kasar yang diberikan suami. Tanpa ada rasa empati, orang tuaku justru menyuruhku kembali pulang.
“Disana kamu masih punya bayi yang harus kalian besarkan. Dia membutuhkan kamu. Bayi itu tak bisa membesarkan dirinya sendiri tanpa bantuan ibu, kan?.”
Tepat pada saat itu, suami juga menghubungiku. Dia berjanji bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi. Tapi janji hanyalah janji. Sekembalinya aku kesana, aku kembali di pukul dan dicaci maki. Ia juga jadi tambah protektif. Siklus itu terus berlanjut hingga aku melahirkan bayiku yang kedua.
Mengurus anak, tak dihargai suami, dan dicaci maki orang tua membuatku sangat rapuh. Tapi aku tak bisa berhenti begitu saja. Satu lagi tanggung jawabku bertambah, aku tak bisa meninggalkan malaikat kecilku seperti dulu lagi.
2,5 tahun menikah, pada bulan Juni 2013 suamiku berpulang karena serangan jantung. Aku tak tahu harus sedih atau bahagia. Ada perasaan lega karena aku terbebas dari sangkar dingin itu. Tapi aku juga merasa sedih mengingat kedua anakku menjadi yatim di usia yang sangat muda.
Seminggu setelah pemakaman, aku memutuskan keluar dari rumah. Merantau ke tempat yang baru bersama kedua anak-anakku agar bisa lebih tenang dan fokus merawat mereka. Tak lupa aku juga menemui psikolog untuk mengetahui depresi dan trauma yang ku dapat.
Dengan segenap keinginan untuk pulih dan demi anak-anakku, aku mencoba berdamai dengan masa lalu. Akhirnya kini aku sudah mulai bisa menata kembali kehidupanku yang damai.