Orang bilang, memiliki pasangan yang lebih tua dari kita bisa membuat hubungan pernikahan menjadi langgeng. Ternyata perbedaan itu tak bisa membuatku aman dan merasa disayangi. Kupikir dengannya aku bisa bahagia. Tapi ternyata keegoisannya membuatku sangat terluka. Luka yang begitu dalam sehingga aku tak bisa melupakan rasa sakit itu.
Ya, dia adalah mantan suamiku, seseorang yang kucintai pada masanya. Laki-laki itu 4 tahun lebih tua dariku. Dia adalah lelaki baik yang rela melakukan apa saja demi keluarganya, tapi tidak untukku.
Pernah suatu kali dia ingin membelikan adiknya hp yang cukup mahal. Aku menolak dan menasehatinya untuk lebih fokus kepada hubungan pernikahan kami yang baru seumur jagung. Kondisi keuangan kami juga sedang tidak baik. Tapi dia malah memarahi dan mengusirku keluar rumah.
Selama kami menikah, bukan pujian atau kata-kata cinta tapi justru caci maki dan luka lebam yang kuterima. Di setiap pertengkaran, aku hanya bisa menangis. Aku sering menangis di kamar mandi ditemani dengan keran air yang menyala untuk meredam isak tangisku.
Aku sangat tersiksa. Rasanya ingin bercerita kepada keluarga, tapi niat itu selalu aku batalkan karena tak ingin mereka sedih, apalagi orang tuaku. Aku selalu menceritakan hal baik tentangnya kepada keluarga.
Suatu hari aku jatuh sakit dan harus ke rumah sakit. Hanya orang tua dan keluargaku yang menemaniku. Setiap kali mereka bertanya, “Dimana suamimu?”, aku hanya bisa tersenyum pahit dan mengatakan ia sibuk kerja.
Aku rela bertahan karena percaya ia akan berubah. Tapi semakin hari dia malah semakin menjadi-jadi. Seringkali pikiran untuk bunuh diri terlintas, namun segera ku tepis karena teringat dengan orang tua dan mereka yang ku sayangi.
Di tahun 2020, aku merasa kelelahan dan harus menceritakan semuanya kepada keluarga dan sahabat. Setelah mendengarnya, mereka sangat kaget. Ibu menatapku sambil menangis karena tak percaya anak yang begitu disayangi diperlakukan sangat kasar oleh suaminya.
“Aku memendamnya selama 2 tahun. Aku rasa ini sudah tidak bisa dibicarakan lagi. Karena selama aku memendam itu aku sudah bicara kepadanya untuk berubah. Tapi tidak ada perubahan sama sekali.” ucapku.
Setelah itu ayah pergi menemui keluarganya, tapi respon mereka sangat melukai aku dan keluargaku. Aku hanya ingin ucapan maaf dari mereka semua tapi hingga kini tak sedikitpun ku terima.
Dua tahun lamanya aku memendam luka, setelah dua tahun pula hubungan kami kandas. Sejak kejadian itu aku sering mengalami pusing tak terkendali. Dokter mengatakan aku terkena vertigo, dan menyarankanku ke psikolog jika dalam seminggu tak kunjung sembuh. Seminggu pun berlalu, dan aku memutuskan pergi ke psikolog klinis dewasa. Aku menceritakan semua keluh kesahku, lalu dia berkata bahwa saat ini aku terkena stres berat karena memendam masalah yang menumpuk. Aku juga disarankan untuk lebih banyak bercerita kepada teman yang bisa membuat sedikit lega.
Setelah konseling itu aku merasa lebih baik. Namun aku tetap menyembunyikan lukaku dari orang lain. Bahkan aku tak bisa marah ke orang yang membuatku marah, aku hanya diam menahannya sendirian. Butuh waktu lama agar aku bisa terbuka dengan orang lain.
Belum usai pemulihan itu, aku kehilangan satu lagi orang yang ku sayang. Dia adalah saudara ipar yang sudah kuanggap sebagai kakak kandungku sendiri. Aku merasa sangat hancur tapi di sisi lain aku harus kuat sebagai sandaran saudaraku yang lain.
Hari demi hari berlalu. Waktu berlalu begitu cepat, namun kepedihan itu masih terasa. Suatu ketika aku bertemu pria yang terlihat baik. Awalnya aku takut dia akan menyakitiku, kenangan menyakitkan itu kembali terlintas di benakku. Namun ternyata dia sangat mensupport aku. membuatku tak ragu menceritakan masa laluku. Dia selalu ada disaat aku sedang tidak baik. Hari-hariku kembali berwarna.
Tapi setelah 3 minggu mengenal, dia mengaku bahwa ia sudah dijodohkan dengan wanita lain. Bak tersambar petir aku menangis, “Apa salahku? Apakah aku tak pantas bahagia?”, ucapku padanya.
Dia memelukku dan meyakinkan bahwa hanya akulah ratunya, orang yang ia cintai. Ia memohon agar aku tak pergi. Melihatnya sedih aku ingin sekali menguatkannya. Dengan hati hancur, aku mengiyakan permintaannya.
Aku kembali merajut mimpi dengannya. Hari demi hari kami lalui dengan indah. Tapi lagi-lagi keindahan itu berakhir luka. Suatu hari Ibunya mengirim pesan kepadaku untuk menjauhi anaknya. Ia juga mengancamku untuk tidak memberitahukan hal ini kepada anaknya.
Aku hanya bisa menangis, aku pikir aku benar-benar bodoh sekali karena masih bertahan dengan pria tunangan wanita lain. Harusnya kamu sadar bahwa kamu sudah berbeda dengan yang lain dari statusmu mana ada yang mau menerima kamu sebagai menantunya, bentakku dalam diri.
Aku pun mengirim pesan perpisahan pada pria itu. Responnya kaget, ia sangat marah kepada ibunya. Pria itu tetap bersikeras tak pernah bertunangan dengan wanita manapun dan kembali memperjuangkanku.
Namun tak lama, wanita yang mengaku tunangannya mengirimku pesan. Ia mencaci makiku, mengatakan aku bodoh dan tidak berharga. Saat itu aku tak ingin berdebat, aku terima semua perkataannya dan meminta maaf padanya. Tapi dia terus saja membalas dengan kalimat yang sangat menyakiti hati, “Maaf yaa mbaa dunia itu sempit untuk orang orang kaya anda”.
Dadaku sesak sekali mendengar kalimat itu, tapi aku hanya bisa mengucap maaf. Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa wanita itu bisa mengatakan hal itu? Jika tidak tahu apa yang sudah terjadi lebih baik berbicara dengan baik jangan seolah-olah tahu kehidupanku dan seolah-olah semua salahku.
Setelah kejadian itu, kondisiku drop sekali ditambah dengan riwayat asam lambung yang ku derita. Saat itu aku merasa hidupku sudah berakhir, nafasku terengah-engah.
Saat itu aku melihat kedua orang tuaku mendampingiku. Tanpa terasa air mata menetes, aku berkata dalam hati “Ibu, ayah, maafkan aku. Aku sayang sama kalian”.
Aku segera dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi setengah sadar. Aku terus beristighfar sepanjang perjalanan. Sesampai di rumah sakit tim medis langsung mengobati, aku bersyukur karena masih diberi umur panjang oleh Tuhan.
Sepulangnya dari rumah sakit, ibu berkata bahwa mereka sangat mengkhawatirkanku. “Saat melihatmu tadi ibu berzikir agar kamu sehat. Ibu berdoa jangan dulu kamu biar ibu saja yang duluan pergi”, ucapnya.
Ucapan ibu membuatku berpikir, ya Allah kenapa hidupku seperti ini? Tapi setelah itu aku berjanji pada diri sendiri untuk cepat pulih dan bangkit demi kedua orangtuaku. Sampai detik ini, aku sedang berjuang untuk membuat orangtua dan orang sekitarku bahagia.
Sekian ceritaku semoga ini bisa menjadi pelajaran hidup untuk kita semua. Percayalah kalian tidak pernah sendirian, seringlah melihat orang yang selalu ada bersama kalian saat kalian terjatuh.