Natal, Mimpi Burukku

Oleh: Nurul

Dilihat:
[post-views]
kali

Hallo, aku D, anak pertama dari 4 bersaudara dan baru saja 3 bulan menjadi seorang ibu. Beberapa hari lagi, Natal akan segera tiba. Seharusnya momen ini adalah momen yang menggembirakan untuk dirayakan bersama keluarga. Akan tetapi tidak berlaku untukku, karena itu artinya aku harus bertemu dengan keluargaku, terutama mamaku. Aku rindu dengannya, tapi rasa takutku jauh lebih besar daripada rasa rindu ini.

Bukan tanpa alasan rasa takut dan khawatir ini muncul. Tapi kenangan buruk yang ditinggalkan saat aku masih tinggal bersama beliau masih membekas dalam ingatanku. Aku baru setahun menikah dan meninggalkan mama dan adik-adikku untuk tinggal bersama suamiku. Sebelum menikah, hubungan aku dan mamaku memang sudah tidak baik, terutama semenjak papa meninggal 8 tahun yang lalu.

Hampir setiap hari mama mencaci maki aku, segala sumpah serapah selalu dia ucapkan untukku. Aku selalu ketakutan setiap kali terbangun dari tidur. Rasanya saat pagi tiba, ingin rasanya kembali malam lagi, agar aku bisa kembali tidur dan tidak perlu bertemu mama sementara waktu. Karena setiap kali aku bangun, aku wajib mendatangi mama, duduk di hadapannya, hanya untuk di caci maki olehnya, dari pagi sampai malam tiba.

Aku ingin sekali menghindar, menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah atau pekerjaanku sendiri. Tapi kalau aku melakukan itu, itu akan membuat mama semakin marah karena menurutnya aku menghindari dia dengan menyibukkan diri. Jadi aku harus selalu ada di hadapan dia, untuk mendengarkan semua kebencian yang dia rasakan.

Dia sebutkan secara detail apa yang tidak dia sukai dariku. Mungkin kalau hanya 2-3 jam, aku masih sanggup bertahan. Tapi hal itu akan terus berlanjut sampai subuh. Bukan berlebihan, tapi memang itulah yang terjadi. Mengingat mamaku pengopi dan perokok berat, membuatnya mampu untuk tidak makan dan tidur berjam-jam. Mama mampu, tapi aku tidak. Kalau aku meminta izin untuk mengakhiri percakapan dan pergi beristirahat, itu artinya aku membuat masalah baru. Hal itu bisa menghidupkan kembali percikan api yang tadinya sempat mereda. Jadi aku lebih memilih bertahan, sampai menunggu mama puas dan mengakhirinya sendiri. Biasanya kalau belum subuh, ‘percakapan’ kami belum selesai.

Aku adalah seorang guru private, setiap jam 16:00 sampai jam 20:30 adalah jadwal aku pergi ke rumah murid untuk mengajar. Jadi hanya di saat aku bekerja saja aku bisa beristirahat. Seringkali aku meminta izin untuk tidak mengajar kepada orang tua murid hanya agar aku bisa duduk di suatu tempat, healing dan beristirahat. Rasanya jangankan untuk mengajar, untuk berdiri pun aku sudah tidak sanggup setelah berjam-jam dimarahi mama dan menangis di hadapannya. Sering juga sebenarnya tidak ada jadwal mengajar, tapi aku berkata ada jadwal mengajar, hanya agar aku bisa keluar dan bernapas sejenak. Rasanya sesak sekali berlama-lama ada di rumah itu.

Tapi di saat aku kembali ke rumah, aku harus menyiapkan hati dan telinga untuk kembali mendengarkan kata-kata mama yang sangat menyakitkan. Aku bukan anak kecil lagi. Semua ini terjadi sejak dulu sampai kini aku berusia 29 tahun. Setiap aku mencoba menjelaskan kesalahpahaman yang mama rasakan, selalu aku dikatakan membangkang dan melawan mama. Jadi aku hanya bisa menangis, diam dan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak aku lakukan.  Karena mama akan selalu playing victim, menceritakan kepada semua orang betapa brengseknya aku, seolah-olah akulah yang menyakitinya.

Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa aku memilih bekerja freelance dan tidak pernah mencari pekerjaan tetap. Sering orang bertanya kepadaku, ‘Kenapa tidak melamar kerja di kantor A? Kenapa tidak berkuliah?’, dan pertanyaan lainnya. Tidak akan ada yang paham bagaimana kondisi keluargaku. Susah untuk aku jelaskan ke orang lain nantinya, jika sewaktu-waktu aku berhalangan bekerja karena harus izin ‘menemani’ mama.

Terkadang mama bisa menyuruhku untuk tidak mengajar karena dia masih belum selesai berbicara. Di satu sisi, dia masih mengkhawatirkan keselamatanku di jalan, mengingat kondisi emosionalku yang tak begitu stabil dan tidak tidur semalaman karena sedang ‘bermusyawarah’ dengan mama. Aku ingat sekali dia pernah berkata, “Jangan sampe ada ambulan datang ke rumah mencari mama kalau nanti kamu sampai mati di jalan.” 

Beliau berkata kepadaku, semua yg dia lakukan ini untuk keselamatanku, untuk kebaikanku agar aku menjadi orang yg lebih baik. Di luar sana lebih banyak orang yang lebih sadis daripada mama, katanya saat itu. Mungkin maksud hatinya baik, entahlah. Tapi dia tak sadar bagaimana sikapnya yang sangat otoriter itu sudah meninggalkan trauma untukku, bahkan terbawa sampai aku menikah dan punya anak. Yang pasti selama hidup bersamanya, yang ada di otakku saat itu adalah aku anak yang brengsek, anak yang durhaka. Cap seperti itu sudah terekam di pikiranku. Tapi setelah menikah, aku tersadar sepertinya aku sudah di brainwash sehingga aku selalu menyalahkan diriku sendiri selama ini dan ingin sekali menghancurkan diriku sendiri. Aku sudah tidak bisa membedakan mana yang benar mana yang salah. Karena setiap aku melakukan sesuatu yang menurutku benar, tapi ternyata semuanya salah di mata mama. Se-toxic itu efeknya memang.

Setiap marah, mama selalu mengatakan bahwa dulu aku bukan anak yang baik, dulu dia kecewa karena sikapku yang kekanak-kanakkan, tidak memikirkan keluarga dan hanya memikirkan diri sendiri. Bahkan dia menganggap bahwa akulah penyebab kematian papa. Jadi bisa disimpulkan kemarahan mama selama ini adalah bentuk kekecewaan yang dia rasakan atas perbuatanku saat masih kecil dulu. Ya..mama marah bukan karena aku sedang melakukan kesalahan saat itu, tetapi mama membahas kembali semua kesalahan-kesalahan saat dulu aku masih kecil dan tidak menyadari saat itu bahwa sikapku mengecewakannya. Semua caci maki, cap ‘anak durhaka’, nama-nama hewan sampai kata-kata kotor yang tidak pantas diucapkan seorang ibu, sudah pernah ia lontarkan untukku. Belum lagi bentakannya yang bisa terdengar sampai kemana-mana.

Lucunya, sikapnya seperti ini hanya berlaku untukku, tapi tidak dengan adik-adikku. Dia bisa begitu lembut memperlakukan mereka. Berkali-kali aku dibanding-bandingkan dengan mereka, bahkan disuruh belajar dari adikku yang paling kecil, yang baru berumur 11 tahun saat itu. Dulu awalnya tidak ada perasaan iri sedikitpun atas perbedaan sikap mama kepada kami. Tapi makin kesini, aku merasakan semakin adanya ketidakadilan. Setiap hari aku membersihkan rumah, aku menyiapkan makanan,dan lain-lain. Bahkan aku pun selalu menyisihkan penghasilanku untuk diberikan kepada mama. Adik-adikku tidak peduli bagaimana berantakannya kondisi rumah, mereka terlalu sibuk bermain dengan gadget mereka. Aku ikhlas menjalaninya, tetapi setiap ada yang kurang berkenan, kenapa selalu aku yg disalahkan dan dipertanyakan?

 Masih banyak lagi sikap mama yang sangat menyakitkan untukku, yang tidak bisa aku ceritakan disini. Berkali-kali aku memikirkan bagaimana cara mengakhiri semua konflik ini. Aku pernah mencoba mengakhiri hidup, terpikirkan untuk kabur dari rumah, sampai pada titik aku berpasrah kepada Tuhan. Aku mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda, dan aku menemukan ada inner child mama yang juga pernah terluka. Mungkin ia pun juga tidak merasakan kasih sayang dari orang tuanya, dan mama tidak menyadari hal itu, sekalipun aku mencoba memberanikan diri menyampaikannya dari hati ke hati. Aku berusaha percaya, suatu hari nanti keadaan pasti akan berubah, semua air mata ini pasti akan berlalu.

Dan puji Tuhan, do’aku pun terjawab. Tahun 2020, akhirnya aku menikah dengan seseorang yang luar biasa bagiku. Dari pernikahanku, aku menemukan kehangatan keluarga yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Suami yang bertanggung jawab, mertua dan ipar-ipar yang sangat perhatian. Sungguh tidak pernah terbayangkan sebelumnya aku akan merasakan kehangatan di dalam keluarga seperti ini. Terharu sekaligus sedih, karena “rumah” itu harus aku temukan di dalam keluarga orang lain, bukan dari keluargaku sendiri.

Tentunya perjalananku dengan suami untuk bersatu tidak mudah. Dulu aku berpikir, mungkin dengan tidak lagi tinggal bersama, aku dan mama bisa saling merindukan, rasa benci perlahan-lahan akan lenyap. Tapi ternyata dugaanku salah. Di mata mama, dengan menikah, itu artinya aku memutuskan hubungan antara ibu dan anak. Jadi dia semakin sinis denganku dan juga suamiku.

Awalnya hubungan kami masih baik-baik saja. Aku sesekali menghubungi mama untuk menanyakan kabar, atau bermain ke rumah untuk sekedar bersilaturahmi. Uang bulanan pun tetap aku kirimkan, bahkan aku tambahkan jumlahnya, walaupun memang tidak seberapa, mengingat saat ini aku sudah tidak lagi di sana untuk membayar uang air, listrik, dan lain-lain, juga atas kesadaran kondisi mama yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Belum lagi adik-adikku masih kecil dan masih harus bersekolah. Aku sadar tanggung jawabku sebagai anak tertua harus tetap dilakukan, sekalipun aku sudah menikah.

Tapi setiap kali aku ke rumah, ada saja sindiran-sindiran dan sikap-sikap yang kurang menyenangkan dari mama untukku dan juga suami. Adik-adik juga sering cerita bahwa mama selalu membicarakan aku yang tidak baik, bahkan menghasut adik-adikku dengan menceritakan semua kebencian yang dia rasakan kepadaku. Mereka yang tadinya biasa saja pun lama-lama menjadi kesal karena sesungguhnya mereka tahu aku tidak salah apa-apa. Tapi kalau mereka mencoba menjelaskan dan membelaku, mereka akan dimarahi juga oleh mama. Jadi tidak ada pilihan buat mereka selain diam dan ikut mengiyakan apapun yang mama katakan. Tapi bagiku, asal mereka tahu selama ini aku tidak bersalah, itu sudah cukup buatku.

Jadi singkatnya, bukan aku yg membatasi diri, tapi sikap mama yang membuatku tidak nyaman dan tidak berani untuk bersilaturahmi lagi. Tapi sikapku yang seperti ini pun tetap salah di mata mama. Mama menyampaikan ke adik-adikku kalau aku dan suami tidak lagi peduli dengan mereka, sudah melupakan mereka dan lain-lain. Mama bahkan menyuruh adik-adik untuk juga memblokir whatsapp aku dan suami. Adikku sempat membuka blokirannya dan meminta maaf karena dia terpaksa memblokir kami atas perintah mama. Setelah menjelaskan demikian, dia memblokir kami lagi supaya tidak ketahuan mama. Tapi seperti biasa, akhirnya aku mencoba memperbaiki hubungan dengan minta maaf dengan beliau atas kesalahan yang aku pun tidak paham apa. Akhirnya mereka membuka kembali blokirannya.

Akan tetapi disaat aku hamil, satu-satunya orang yang tidak senang dengan kehamilanku saat itu hanya mamaku. Dia menyalahkanku karena tidak melihat situasi, mengandung anak di saat pandemik seperti ini. Mungkin menurut dia berkata demikian untuk kebaikanku dan anakku. Tapi entah kenapa saat melihat sikapnya demikian, membuatku menangis terus-terusan dan teringat kembali sikap-sikap mama selama ini. Bahkan selama aku hamil, mama tidak pernah menanyakan keadaanku ataupun menanyakan tentang kehamilanku.

Puncaknya saat kehamilanku berusia 5 bulan. Saat itu mama marah besar hanya karena aku berencana mengajak adik-adikku bermain kapan-kapan di saat sedang liburan sekolah. Mama tersinggung karena menganggap aku lancang mengajak mereka jalan-jalan, aku sudah melangkahi mama dan tidak meminta izin kepada beliau. Dia merasa terhina, seolah-olah sikapku yang demikian memandang mama sebelah mata karena tidak mampu mengajak adik bersenang-senang. Entah dari sisi mana dia bisa berpikir demikian. Padahal aku berkata demikian karena aku pun rindu dengan adik-adikku. Mereka juga rindu bertemu dan bermain denganku. Tidak ada niat busuk apapun selain ingin mengajak mereka bermain bersama, dan aku juga telah meminta izinnya sebelumnya. Hanya saja seperti biasa, mama membenci semua apapun tentang aku, termasuk dengan suamiku. Akhirnya saat itu aku agak emosi dan bertanya kenapa hal sepele seperti ini pun salah di mata mama? Aku merindukan adik-adikku, dan kami harus menjaga jarak seperti ini karena mama. Kenapa harus memisahkan hubungan aku dengan adik-adikku?

Mama marah, dia memblokir kembali whatsappku dengan suami. Dari situ aku memutuskan aku tidak mau menjadi diriku yang dulu, yang selalu mendatangi beliau untuk mengaku dosa dan meminta maaf. Kali ini aku harus memikirkan kehamilanku dan kesehatan mentalku, juga untuk menjaga rumah tanggaku sendiri. Sesungguhnya suami pun sudah tidak tahan melihat sikap mamaku selama ini dan melihat aku menangis setiap hari karena mamaku. Dia yang tadinya tidak begitu kenal kepribadian mamaku menjadi agak syok setelah menyaksikan langsung seperti apa perlakuan mama kepadaku.

Sejak hari itu, setiap malam aku selalu bermimpi buruk tentang mama. Aku selalu mengigau dan menangis dalam tidurku. Ketika tersadar dari tidur pun, bukannya tenang, aku malah semakin histeris karena mimpi buruk tentang mama yang selalu menyakitiku bahkan di dalam mimpiku. Suamiku sampai tidak tahan melihat kondisiku yang demikian. Aku yang tadinya baik-baik saja, bisa tiba-tiba menangis histeris karena teringat mama. Kejadian ini berlangsung terus menerus selama aku hamil, bahkan sampai hari ini. Aku pun mencoba mencari cara untuk mengakhiri trauma ini. Aku mencoba konseling dengan psikolog dan psikiater, dan beberapa dari mereka mendiagnosis aku mengalami kondisi traumatik yang biasa disebut PTSD. Setiap kali aku mendengar hal yang berkaitan dengan mama, pikiranku selalu mengarah kepada masa-masa menyakitkan bersama mama dulu. Sekecil apapun itu, akan selalu mengingatkanku dengannya. Betapa menyiksanya.

Beberapa bulan kemudian, aku melahirkan anakku. Dan ternyata kami harus mendapati cobaan pertama kami sebagai orang tua, karena anak kami saat dilahirkan tidak menangis/gagal napas. Bayi kami pun harus dirawat di NICU selama sebulan. Saat mendapatkan kabar tersebut, mertuaku pun sedih juga kaget. Lebih kagetnya lagi, dia mendengar cerita dari suamiku bahwa mamaku tidak mengetahui keadaan kami ini, bahkan tidak tahu aku sudah melahirkan. Mertuaku pun bertanya alasannya, dan suamiku yang sudah tidak lagi tahan akhirnya bercerita kalau mamaku sudah lama memblokir kami dan tidak ada tegur sapa sampai sekarang. Jadi kami pun memutuskan tidak bercerita dengan mamaku.

Hal itu membuat mertuaku geram, bagaimana bisa seorang ibu bersikap demikian dengan anaknya sendiri. Menurut dia, selama hampir setahun mengenal aku sebagai menantunya, aku sudah sangat baik menjadi seorang anak dan menantu. Akhirnya mertuaku inisiatif menghubungi mamaku dan menegurnya. Aku sama sekali tidak tahu kejadian ini sampai pada akhirnya adikku menghubungiku dan menanyai apakah aku masih mau berbicara dengan mama.

Akhirnya disaat kondisiku sedang terpukul saat itu, aku mencoba untuk tetap tenang dan mengiyakan untuk berkomunikasi kembali dengan beliau. Kemudian mama membuka blokirannya dan menghubungiku. Ada rasa cemas dan takut di dalam hatiku, tapi kekhawatiranku akan kondisi anakku saat itu jauh lebih besar. Aku sudah berjaga-jaga kalau saja mama menghubungiku untuk memarahiku kembali, aku akan mengakhiri pembicaraan dan meminta tolong beliau untuk tolong mengerti kondisiku saat ini sekali ini saja. Suamiku pun sudah memasang kuda-kuda saat melihat ada panggilan masuk dari mamaku ini. Dia sempat menawarkan diri untuk menjawab telepon masuk dari mamaku, hanya saja aku menahannya dan memberi kode kalau aku akan baik-baik saja.

Ternyata saat itu, mama mencoba menenangkanku dan memberikanku kekuatan. Jujur saat itu sebagai seorang anak, aku memang amat sangat membutuhkan kehadiran dan dukungan seorang ibu. Aku amat sangat ingin dipeluk oleh mama saat itu. Aku sendirian, tidak ada satupun keluarga dari pihakku ada di sampingku saat itu. Aku hanya berdua dengan suami yg sama-sama sedang down saat itu.

Aku pikir, mungkin kejadian ini bisa menyadarkan mama, karena semua orang, terutama nenekku menyalahkan sikap mama yang keras sehingga membuat aku depresi selama mengandung. Belum lagi sumpahan mama yang keterlaluan mengatakan aku akan susah melahirkan dan lain sebagainya. Menurut mama, itu adalah cara dia mendidikku, dan semua sikapnya adalah bentuk kasih sayangnya untukku. Katanya, supaya kelak mentalku bisa kuat menghadapi kehidupan yang lebih keras daripada sikap mama. Namun mama tidak sadar, betapa dalamnya trauma yang dia tanamkan dalam hidupku.

Nenekku dan adik-adikku adalah saksi seberapa bencinya mama terhadapku. Aku masih berusaha mencari hikmah dari kejadian ini. Walaupun ada kekhawatiran mungkin saja setelah ini, mama kembali ke sifat awalnya. Tapi harapanku pun besar saat itu, berharap mama berubah, bisa menyadari kesalahannya dan bisa menyayangiku lagi.

3 hari kemudian setelah aku melahirkan aku sudah bisa pulang, walaupun kami masih belum bisa membawa pulang bayi kami. Anak kami masih harus dibantu alat pernafasan. Belum lagi ditemukannya bakteri langka dalam tubuh anak kami dan menurut dokter bakterinya kebal terhadap antibiotik jenis apapun. Kami benar-benar sangat terpuruk, walaupun tetap berharap. 

Sekitar seminggu kemudian, ternyata mama dan salah satu adikku datang menjengukku. Entah kenapa, walaupun aku merindukannya, hatiku merasa takut saat dia datang. Aku hanya bisa diam dan membiarkan mama mengobrol dengan mertuaku. Aku takut aku kembali kecewa. Disaat aku mengira mama sudah mulai menyayangi aku, ternyata aku harus kecewa lagi, dan takut juga mama akan kembali menghakimi aku lagi. Tadinya aku membenci pikiranku ini, tapi ternyata kekhawatiranku ini tidak salah.

Beberapa hari kemudian, mama menghubungiku. Awalnya menanyakan kabarku dan anakku. Lalu kemudian dia meminta aku kembali menjelaskan kenapa mama bisa bersikap seperti kemarin, apa yang membuat dia kecewa dengan diri aku.

Aku tidak habis pikir, aku yang saat itu sedang stres memikirkan bagaimana kondisi anakku saat itu, belum lagi memikirkan biaya NICU yang tidak sedikit, bisa-bisanya mama malah mengintrogasiku dan menyuruh aku menjelaskan dimata letak kesalahanku padanya.

Aku yang saat itu benar-benar emosi dan sudah lelah, masih berusaha menahan diri dan dengan sopan meminta mama untuk kali ini saja tolong jangan lagi bahas hal-hal seperti ini. Aku lelah menjelaskan ke mama berkali-kali, tapi mama masih terus-terusan melihat kekurangan dan mencari-cari kesalahanku. Akhirnya kami tidak lagi berbicara sampai hari ini.

Ketika anakku sembuh, jangankan melihat, bertanya bagaimana keadaan cucunya pun tidak pernah dia lakukan. Ya, sampai hari ini. Pernah sekali aku mengajak nenekku bermain ke rumah untuk menengok cicitnya. Beliau sangat excited saat kami menjemputnya. Aku dan suami berpikir, apa sekalian saja mengajak mamaku dan juga adik-adik ke rumah. Lalu aku menghubungi adikku yang nomor 3 dan 4, lama sekali mereka tidak membalas. Aku tidak berani menghubungi mamaku, takut ‘mengganggu’. Lalu kemudian aku teringat kejadian tempo hari yang mengakibatkan konflik di antara mama dan aku. Hanya karena sikap yang sepele, ingin mengajak adik bermain dan jalan-jalan saat liburan, bisa membuat mama marah besar. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengajak mereka. Jadi ku retract chat whatsapp ku dengan mereka dan memutuskan untuk menjemput nenekku saja.

Setelah nenekku pulang, adikku chat aku kembali dan bertanya kenapa aku menelepon. Aku menjelaskan alasannya, dan mereka menjawab “Maaf, sekarang sedang sibuk. Kapan-kapan saja ya.” Jawabannya sangat dingin, dan aku hafal betul bagaimana gaya bicara mereka yang sesungguhnya. Kali ini aku tahu, jawaban itu bukan dari mereka. Aku curiga itu jawaban dari mama, karena dulu mama pun demikian mengatur aku menjawab chat-chat orang-orang yang akan melibatkan keluarga. 

Nenekku memang mengirimkan foto bersama dengan anakku ke mama, jadi jelas mama tahu apa tujuanku menghubungi adik-adikku. Hanya saja aku tidak mau berpikir terlalu jauh, karena aku sudah hafal dengan sifat mamaku.

Setelah nenekku pulang, aku iseng-iseng mengecek whatsapp story orang-orang yang bertaburan di story whatsapp ku, salah satu dari mereka adalah mama. Setiap kali aku ingin mengintip status mama, aku pasti menutup tanda centang biru di settingan whatsappku, agar aku tidak terlihat sedang melihat status whatsappnya. Karena seringkali update an status mama berisi sindiran halus untuk aku. Tidak pernah menyebut namaku secara langsung memang, tapi aku tahu statusnya itu ditujukan untukku. Sama seperti kali ini, dia menuliskan, “Anak-anak sedang masa-masanya disibukkan dengan urusan sekolah. Belum lagi mereka sedang merasakan indahnya masa-masa remaja yg penuh warna. Apa perlu dihidangkan dengan hal-hal yg tidak penting?

‘Tidak penting’ katanya. Jadi cucunya ini pun tidak ada artinya di mata dia. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk berhenti berharap mama bisa berubah. Rasa marah dan benciku timbul hari itu. Aku memutuskan untuk menghapus nomor mama, agar tidak perlu lagi melihat postingan-postingannya. Karena setelah membaca postingan mama, pasti akan membuat PTSDku kambuh. Aku kembali bermimpi buruk, tiba-tiba menangis, dan stress ini membuat ASI ku sempat terhenti selama seminggu. Aku benar-benar tidak ingin rasanya berurusan lagi dengan mama.

Sekarang sudah bulan Desember. Sebentar lagi Natal tiba. Biasanya di saat Natal, kami akan berkumpul di rumah nenekku. Tapi kali ini rasanya berat sekali untuk aku menghadapi Natal tahun ini. Aku rindu dengan adik-adikku. Mereka amat sangat ingin bertemu dengan anakku. Tapi bagaimana sikapku nanti saat harus menghadapi mama? Aku khawatir, akan ada ‘drama’ apalagi setelah kami bertemu nanti. Setiap kali membahas mama, atau hanya sekedar melewati sekitar rumah beliau, hal itu membuatku teringat kembali sikap dan ucapan mama. Air mata selalu susah untuk aku bendung. Aku tidak tahu bagaimana nanti aku harus bersikap. Hari dimana seharusnya kami bisa bersuka cita, tertawa bersama, saling melepas rindu, tapi tidak untukku. Aku merasa seperti sedang menghadapi musuh terbesarku yang tidak lain adalah ibuku sendiri. Bertemu dengan beliau hanya akan mengingatkanku akan luka lama saat kami hidup bersama. Ironis, seseorang yang seharusnya menjadi tempat berlindung, tetapi beliaulah yang menciptakan trauma paling dalam di hatiku.

Aku berusaha menenangkan suamiku. Ada kekhawatiran dalam dirinya kalau aku bertemu dengan ibuku. Karena dia yang menyaksikan secara langsung efek trauma ini dalam diriku. Walau berusaha menutup perasaan cemas ini, tapi hatiku tidak bisa bohong. Setiap teringat mama, air mata ini pasti jatuh. Tapi sekarang, sehancur apapun hatiku, aku harus bertahan dan sembuh dari trauma ini demi anak dan suamiku. Walau perih sakit yang ditanam oleh ibuku ini, beliau tetap mengajariku satu hal, aku tidak boleh mengulang kembali perlakuan mamaku kepada anak-anakku nanti. Cukup semuanya berakhir di aku saja. Mungkin mamaku juga mengalami perlakuan yg sama dari orang tuanya, tapi itu bukan berarti aku harus mewarisi sakit hati ini ke keturunanku.

Puji Tuhan, di balik sakit hati ini, aku masih bisa melihat sisi positifnya dan belajar dari pengalamanku. Aku sudah berhenti berdoa agar Tuhan mengubah hati mama, agar mama bisa mencintaiku lagi. Aku sudah mengubur dalam-dalam semua harapan itu dan tidak mau lagi berharap. Aku hanya berdoa, semoga Tuhan menjaga mereka. Karena aku sudah tidak bisa lagi ada disana seperti dulu.

Aku tetap menyayangi mama, tapi aku harus lebih mengutamakan anak dan suamiku. Mereka lebih membutuhkan aku saat ini.

Oleh: D
Tautan Instagram dan Facebook