Hingga setahun yang lalu, aku masih belum mampu menyadari apa itu narsisisme. Tetapi hari ini, aku bisa mendefinisikannya dengan jelas dan mudah, semudah aku membalik telapak tanganku. Tanpa pernah kusadari, selama ini penindasan narsisisme telah terjadi pada berbagai hal di diriku, dan mengakibatkan berbagai hal buruk yang tak pernah kusangka sebelumnya.
Aku berjumpa dengan mantanku, yang seorang narsisis, pada akhir tahun 2011. Saat itu, aku telah menyelesaikan pendidikan sarjanaku. Kami berjumpa secara tidak sengaja, di sebuah pameran pendidikan dimana aku bekerja sebagai penerjemah. Kami sangat sering bertemu jadi tidak sulit untuk saling dekat satu sama lain. Bagiku saat itu, ia seorang pria yang kuidam-idamkan untuk berkencan. Tak berlangsung lama, seminggu setelah pertemuan pertamaku dengannya, kami sudah sah sebagai pasangan. Tiga bulan berselang ia melamarku, dan aku berkata iya untuk permintaan menjadi tunangannya. Secepat itulah proses kami, bertunangan dan bahagia, seperti layaknya pasangan baru lainnya. Kami menjalin cinta sebagai pasangan tunangan selama 3 tahun. Dan perjalanan hubungan kami bukanlah perjalanan yang indah layaknya pelangi ataupun bahagia layaknya kupu-kupu yang bebas berterbangan di taman, sebagaimana pasangan-pasangan lainnya. Dengan perlahan aku sadar bahwa aku menjalani sebuah hubungan yang sangat amat berat.
Aku dan mantan tunanganku memutuskan untuk pindah ke Australia untuk tujuan wisata awalnya dan bekerja. Pada waktu itu, hidup terasa amat sulit bagi kami berdua, terutama karena jumlah uang yang terbatas. Lebih lagi, aku sangat tidak nyaman dengan perangainya yang sangat menyebalkan ketika situasi sangat amat sulit pada waktu itu. Siapapun pasti amat sangat stres dan tertekan, saat tidak memiliki uang sama sekali di negara orang. Bukannya mencari penyelesaian bersama-sama untuk masalah finansial yang kami hadapi, justru ia seperti menjauh dariku. Dia terus menerus mencoba mengusirku secara psikis dan menjadi seseorang yang sangat amat jahat. Bahkan, sempat ia pernah mengataiku bahwa aku bukanlah siapa-siapa tanpa ia, ia merasa yang paling berpunya dan memiliki paling banyak uang pada waktu itu. Memang, saat itu aku hanyalah seorang guru, aku bekerja selama 6 bulan di sebuah kampus pariwisata di Denpasar, Bali. Bekerja di Indonesia dengan gaji yang sangat amat kecil membuatku tak mampu menabung untuk biaya awal hidup di Australia, terlebih masalahnya adalah perbedaan mata uang dan standar ekonomi antara Indonesia dan Australia. Dia selalu menggunakan alasan sistematis ini untuk menyerangku, katanya aku tidak berkontribusi sama sekali sebelum kami melakukan perjalanan wisata. Kalaupun aku memiliki uang untuk berkontribusi, aku tak akan segan-segan untuk menyerahkan semua uangku padanya, yang mana sudah kulakukan, kuberikan semua yang kupunya, tapi baginya aku tidak berkontribusi apapun.
Pada waktu itu, aku masih sangat mengingatnya, ia meminta seluruh gaji yang kuterima untuk dijadikan satu rekening dengan miliknya, rekeningnya memang tetap atas namaku, tetapi hanya ia yang memiliki akses penuh untuk penggunaan uang dalam rekening itu. Bahkan, aku dilarang untuk menggunakan sepeserpun uang dari rekening itu karena katanya aku harus berkontribusi untuk rencana hidup kami. Ia yang akan mengatur semua keuangan selama persiapan perjalanan, dan ia yang akan membayar semua biaya sewa untuk tempat tinggal kami selama di Australia, aku tidak memiliki hak guna sedikitpun untuk uang hasil jerih payahku. Untuk bekal bekerja saja aku harus meminta kepadanya setiap pagi, setiap berangkat bekerja. Aku harus meminta izin padanya untuk berbelanja barang pribadi yang benar-benar kubutuhkan seperti baju dan kosmetik. Aku memang tidak pernah membeli barang dengan brand mahal ataupun untuk sedikit berfoya-foya dengan uangku, tidak pernah sekalipun kulakukan, dapat kukatakan aku adalah orang yang hemat. Tetapi, ia memberiku label sebagai orang yang terlalu menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang benar-benar kubutuhkan.
Dia terus menerus menyerangku dengan sifat buruk dan piciknya sampai kami tiba di Australia, bahkan untuk hal-hal yang remeh. Kupikir apa yang dilakukannya wajar karena aku memang tidak sanggup berkontribusi secara finansial untuk biaya hidup selama di sana. Jadi ia yang memutuskan akan membeli apa saja dan ke mana saja tujuan perjalanan wisata kami. Dalam hatiku sungguh ingin berontak, tapi kupikir berulang-ulang karena aku tidak memiliki tujuan lagi selain hidup bersamanya, jadi aku hanya bisa bersabar, sedikit berkomentar, dan berusaha tetap manis di depannya.
Hingga suatu hari, kami berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di bibir pantai paling tenar seantero Australia, dia menuju sebuah toko dan mengambil dua kaos yang sedang diskon. Kaos-kaos tersebut memang murah. Saat inilah, momen dimana aku merasa sangat terpukul, terluka tepat di perasaan terdalamku. Semua perlakuannya hari itu benar-benar membuatku tersadar bagaimana kehidupanku nantinya kalau ia selalu egois dan tidak berempati sama sekali dengan kondisiku. Sangat mengejutkan bagiku ketika ia sangat menekan dan melarangku untuk tidak membeli apapun. Tidak sekalipun untuk membeli sepiring makanan, tanpa persetujuan darinya. Perbuatannya benar-benar sangat menyakitiku, karena kupikir pada perjanjian kami sejak awal tentang masalah penggunaan uang, merupakan keputusan bersama untuk berhemat atas setiap receh uang yang kami kumpulkan, atau lebih tepatnya seluruh uang miliknya. Dia beralasan bahwa membeli kaos itu adalah keputusan yang benar, karena kaos itu hanyalah kaos diskon, terlepas dari barang itu yang benar-benar ia butuhkan atau tidak saat itu. Dapat kubayangkan kalau saat itu posisinya dibalik, aku yang memohon untuk membeli kaos diskon itu pasti ia tidak akan mengizinkan.
Sekalipun sangat sering ia berkata uang itu adalah uang milik bersama, tapi prakteknya, nihil. Meskipun aku sadar dengan apa yang terjadi, aku tidak ingin berdebat dan memilih untuk diam. Karena yang kuingat, aku memang tidak membawa uang sama sekali, dan aku tidak ingin protes. Hal yang paling kuinginkan saat itu hanyalah aku segera mendapatkan pekerjaan, sehingga aku memiliki uangku sendiri untuk kutabung dan merasa lebih aman untuk menikmati perjalanan kami di Australia. Lebih-lebih, dalam pikiranku ia adalah seorang laki-laki dewasa yang memiliki kesadaran penuh, ia pasti memiliki berbagai pertimbangan pribadi dan kupikir apa yang dilakukannya pasti yang terbaik untuk kami. Aku sangat percaya padanya.
Suatu ketika, tidak lama setelah sampai di Australia, aku akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup lumayan, meski tidak sebanyak yang ia dapatkan pada waktu itu. Dia memintaku untuk berbagi biaya sewa dan tagihan bulanan, separuh-separuh dengannya. Dia tidak berpikir bahwa gajiku hampir tidak tersisa jika ia bisa sangat setega itu padaku. Dia tetap ingin berbagi separuh biaya sewa dan tinggal dengan gajiku sampai suatu hari, setelah adu argumen yang entah sudah keberapa kali ia mengecapku sebagai seorang wanita jalang yang gila, aku nampaknya bisa menunjukkan padanya bahwa yang ia lakukan padaku benar-benar tidak adil. Ia juga berkata bahwa yang berpenghasilan paling sedikit di antara kami sudah semestinya tidak punya cukup uang untuk simpanan. Sebelum-sebelumnya ia juga sering berkata, “Kenapa sih kamu ngotot banget mau nabung?” dia memang selalu mendapatkan gaji yang lebih besar dibanding gajiku semenjak kami bersama. Dia juga selalu ikut campur, ikut-ikutan memutuskan untuk kebutuhan pribadi yang harus kubeli, dia tidak mendukungku sama sekali dari segi finansial. Jika ia membelikan sesuatu untukku, aku harus menunjukkan rasa hormat dan terimakasihku untuk sekelumit kebaikannya. Dia akan selalu mengungkit-ungkit kebaikan dan jasa-jasanya setiap kami bertengkar atau jika aku mengomentari sikapnya yang sangat perhitungan denganku.
Dia bahkan meminta bayaran untuk jasa mengantarkanku bekerja. Dia tidak pernah sungkan memintaku membayar biaya bensin untuk perjalanan yang sangat singkat ke tempat kerjaku, ia berkata bensin itu tidak gratis atau ia beralasan harus berputar lebih jauh dari jalurnya menuju tempat kerja gara-gara mengantarkanku bekerja, dan karena itu aku harus terus mengingat pengorbanannya. Suatu waktu, aku benar-benar mengingatkannya tentang rasa benciku pada sikapnya yang sangat perhitungan seperti menyuruhku membayar uang bensin, karena dia juga berangkat kerja ketika mengantarku ke tempat kerja, atau dia juga tidak perlu waktu lebih dari 10 menit termasuk saat jalanan sedang macet untuk mengantarku kerja. Aku juga harus berlagak seperti anak kecil, merengek manja agar membuatnya paham, ia akhirnya memang paham kalau sikapnya salah.
Tapi ya Tuhan… bayangkan saja aku harus berusaha keras menampakkan diriku seperti wanita gila egois untuk membuatnya menerima semua alasanku dan melihat betapa senangnya ia merasa menjadi orang yang paling berjasa, menerima ucapan terimakasihku untuk setiap hal yang dilakukannya. Ia ingin aku menjadikan perbuatan baik yang hanya kadang-kadang saja ia lakukan sebagai pengingat siapa dirinya. Ia memintaku untuk mengingat bahwa ia adalah seorang yang berhati mulia.
Dalam kondisi penindasan keuangan ini, dia tidak menyediakan kesempatan sedikitpun untukku menjadi seorang wanita yang mandiri. Aku tidak berbicara masalah kemandirian keuangan dan kesetaraan antara wanita dan pria dalam sebuah hubungan. Aku di sini berbicara sebagai korban penyalahgunaan, di mana aku tidak memiliki sesuatu halpun kecuali harus bergantung padanya, sekalipun untuk membeli atau memenuhi kebutuhan pribadiku. Hal ini membuatku berpikir bahwa bahkan ketika hidup ini terasa berat, aku hanya bisa pasrah, tidak mampu berbuat apapun, dan rasanya tidak ada jalan keluar.