Kemarahan tersulit adalah ketika kita marah pada orang yang paling kita cintai, yang seringnya adalah orang tua kita sendiri.
Ketika kebutuhan emosional tak terpenuhi sesuai dengan pengharapan, marah, layaknya emosi manusia lainnya, merupakan reaksi manusiawi.
Mereka yang menyakiti pun kadang tak sadar bahwa apa yang telah mereka perbuat itu mengiris hati.
Sedihnya, kadang mereka bahkan tak ingat bahwa kata-kata kasar bahkan pukulan pernah terjadi.
Kita sering rancu antara marah dan membenci.
Padahal sebenarnya, marah hanyalah bungkus dari rasa sakit di hati.
Dengan balik menyakiti, marah hanya akan semakin menyeret manusia ke arus dendam.
Begitu pula dengan membanting pintu, berteriak, memaki, apalagi dengan kekerasan.
Suara lantang tak menjamin respon yang telah lama kita mimpikan.
Jalur sungai akan selalu ada, yang mengalir hanyalah airnya, yang berarti air yang mengalir di sungai selalu berganti setiap hari.
Bagi si sungai, jalur tersebut adalah takdir dan jalan hidupnya. Apapun yang terbawa dalam air mengalir, bila disalurkan ke jalan yang benar, akan pergi dengan suatu hari nanti.
Menuju samudra, yang ombaknya kuat, besar dan memberikan kehidupan yang luar biasa, tak hanya untuk manusia namun juga ciptaan Tuhan lainnya.
Bayangkan bila jalur sungai tersumbat atau hilang begitu saja, akan terjadi banjir atau kekeringan yang membuat kehidupan sekitarnya musnah.
Seperti air yang mengalir di sungai tersebut, marahmu hanyalah satu dari jutaan rasa yang akan selalu ada di hati manusia.
Yang harus disalurkan ke jalur yang benar.
Salah satunya dengan mengungkapkan kekesalan dan kesakitan dengan sejujurnya kepada mereka yang telah membuat luka.
Suara dan kata-kata yang membawa irama marah sebenarnya hanya mendendangkan nyanyian luka hati yang sudah bernanah.
Meskipun harus gemetaran dan beruraian airmata, yang tidak jarang jalan satu-satunya adalah menjaga jarak dengan mereka untuk sementara…
Hingga suatu hari di masa depan, kita cukup kuat untuk kembali menghadapinya.