Teman-temanku mengenalku sebagai seorang periang yang suka bercanda. Seharusnya sebagai seorang ibu senang anaknya memiliki banyak teman, anehnya ibuku justru seperti merasa terganggu dengan suaraku. Suaraku memang terbilang cukup keras, tapi ibu malah bilang kalau aku suka membentak.
Di rumah, ibu seperti orang yang paling tersakiti. Padahal kenyataannya sangat berbanding terbalik. Itu terjadi bukan hanya padaku, tapi juga kakak dan adik-adikku. Tapi dibandingkan dengan anak ibu yang lain, aku yang paling sering membela diri demi harga diriku. Lagipula, aku juga tak bersalah.
Setiap kali aku berbicara pada ibu, ibu selalu bilang kalau aku membentaknya. Sampai-sampai bilang ke ayah, saudara, dan tetangga yang lain kalau aku anak durhaka. Kalau aku mengelak, aku malah disumpah-sumpahi. Anjing, anak setan, anak iblis, seringkali aku dengar kalimat itu keluar dari mulut ibu. Saat aku meninggalkannya di tengah pertengkaran, ibu masih terus berbicara tiada henti.
Aku memiliki orang tua lengkap, tapi sifat ibuku yang terus playing victim membuatku merasa seperti anak broken home. Ayah juga tidak cukup kuat mengimbangi ibu yang bersikap semena-mena.
Beberapa tahun terakhir, aku mengabaikan sifat buruk ibu. Aku ingin fokus memperbaiki diri dan mencoba membahagiakan kedua orang tua. Tapi, pertengkaran itu kembali terulang. Dalam dua tahun terakhir, kejadian yang akan aku ceritakan ini adalah yang paling parah.
Suatu malam setelah aku pulang mengaji aku sangat lapar. Ku lihat di meja makan kosong tak ada makanan. Aku bertanya kepada ibu, “Apa makan malamnya?”, ibu malah membentakku. Ibu menyudutkanku dan mengatakan kalau aku sudah memarahinya dengan keras. Padahal, aku tak bermaksud seperti itu. Itu hanya efek suaraku saja yang keras. Sudah bertahun-tahun hidup bersama, tapi ibu masih tetap tidak terima aku apa adanya.
Seperti biasa, aku masuk ke kamar untuk menenangkan diri. Tapi ibu semakin menjelek-jelekkan aku dan teman-temanku. Katanya, aku seperti ini karena pengaruh teman-temanku yang tidak baik. Aku hanya bisa diam menahan kesal. Tidak apa-apa jika menjelek-jelekkanku, tapi jangan bawa-bawa mereka karena mereka tak bersalah.
Belum selesai sampai situ, ibu mendobrak kamarku. “Keluar kamu dari rumah ini! Kamu di sini cuma numpang, kok semena-mena gitu”, teriaknya. Aku menolak, lalu ibu menyeretku dari atas kasur hingga ke depan rumah. Aku tetap membela diri mengatakan aku tidak salah, tapi ibu tidak terima dan malah memukul mulutku dengan sangat keras.
Aku dilempar ke depan teras. Dengan suara keras, ibu mulai berakting mengumpatku, menuding aku anak durhaka yang tidak tau terima kasih. Suara keras ibu mengundang tetangga yang lain untuk menonton. Rasanya maluuu sekali difitnah dan dijadikan tontonan seperti itu.
Di depan tetangga, mulutku diuwek-uwek sampai berdarah, aku dicekik, dan berbagai perlakuan kasar lainnya. Kakakku datang bukannya membantu tapi justru ikut menghajarku dan menyebut aku kurang ajar ke orang tua. Padahal kakak tidak tahu apa masalahnya. Aku hanya bisa menangis, kenapa tidak ada satupun yang membelaku. Pada saat kejadian itu, ayah masih belum pulang kerja. Ayah, andai kau di sini ayah pasti akan membawaku masuk ke rumah.
Jam setengah 10 malam, dengan rambut acak-acakan dan tanpa membawa uang sepeserpun aku pergi dari rumah. Aku hanya membawa hp di kantongku, itupun tidak ada kuota. Untungnya desaku memasang WiFi, aku segera menghubungi temanku untuk menjemputku dan izin menginap beberapa hari di rumahnya.
Keesokan harinya ayah menjemputku dan mengajakku untuk pulang. Aku bersikeras menolak, “Aku ingin menenangkan diri dulu ya, yah. Besok aku janji pulang ke rumah”, kataku. Untungnya ayah paham dan membiarkanku menginap. Ayah memberiku uang saku untuk kebutuhanku di luar rumah.
Keesokan harinya aku bukan pulang ke rumah, tapi kembali menginap di rumah temanku yang lain. Pada saat itu saudaraku yang tinggal di dekat rumah mengabariku, kalau sejak aku pergi kakak memakai kamarku dan barang-barangku. Aku berpikir, apa dia sengaja memanas-manasiku karena ingin menggunakan barang-barangku.
Sampai hari ketiga aku belum pulang, ayah menghampiri rumah temanku yang pertama. Ayah sangat panik saat tahu aku tidak di situ, memang pada saat itu aku tidak mengabari ayah kalau aku pindah nginep ke rumah temanku yang lain.
Dua hari ayah mencariku ke tempat yang biasa aku datangi, tapi nihil. Kakakku ikut mencari, tapi selain mencari dia malah menyebarkan fitnah mengenaiku ke teman-temanku. Sampai pencarian kesekian, jam 10 malam kakak menemukanku di rumah salah satu rumah temanku. Bukannya membujukku untuk pulang, dia malah mengancamku.
“Kamu mau pulang apa enggak? Masih butuh orang tua atau enggak? Sini hp kamu sini kalau gak mau pulang, gak butuh orang tua lagi!”
Mendengarnya berkata seperti itu aku sedih sekali. Padahal ketika dia dimarahi ibu, aku tak pernah ikut memojokkannya seperti yang dia lakukan padaku saat ini. “Emang aku pernah salah apa sih sama kamu, kok sampe segitunya ke aku? Padahal kalo kamu di posisiku aku nggak pernah gituin kamu”
“Loh, kamu. Emang pantes anak ngehajar orang tua ngumpatin orang tua??!!”. Lagi-lagi aku difitnah. Padahal, bukan seperti itu kejadian sebenarnya. Karena hal itu aku menolak pulang.
Setelah tiga hari, aku terpikirkan nasib ayahku. Rasanya aku terlalu egois. Aku menyiapkan hati dan mental untuk pulang, tapi belum sempat beranjak aku mendengar kalau ibu dan kakak bertengkar dengan ayah karena aku diberi uang saku. Kakak dan ibuku berpikir uang itu untuk ku pakai foya-foya. Tak hanya itu, ibu dan kakakku juga menyebarkan fitnah ke tetangga kalau aku kurang ajar, menghajar ibu.
Aku kembali terpuruk. Dadaku rasanya sesak sekali, detak jantungku berdebar kencang. Rasanya ingin menumpahkan semuanya dengan tangisan tapi tak bisa.
Aku semakin takut untuk pulang.
Saat aku di rumah, pada akhirnya aku hanya dianggap pembuat onar dan disalah-salahin. Tak bisa terus-menerus tinggal di rumah teman, akhirnya aku pergi ke rumah saudara. Ayahku kerap menemuiku saat aku tak di rumah untuk memberikanku uang saku, tentunya tanpa sepengetahuan ibu dan kakakku. Tapi ternyata ada yang membocorkannya ke ibu, alhasil ayah dan ibu kembali bertengkar. Aku kembali merasa down, bahkan ketika aku tak di rumah pun aku jadi biang masalah.
Setelah itu aku pergi menemui saudaraku yang lain. Selama satu minggu, akhirnya ada titik dimana aku sudah menguatkan mental dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Tapi masalah kembali datang. Saudara tempat ku inapi dihujat oleh kakak dan malah diadu domba. Katanya, saudaraku memarahi kakak karena aku kabur dari rumah, padahal saudaraku sekedar bertanya kabarku saja. Akhirnya saudaraku yang kena marah ibu. Aku semakin tak habis pikir dengan orang-orang itu. Saat di WA pun aku dimarah-marahi seakan-akan semuanya salahku.
Aku kembali bingung, haruskah aku pulang atau tidak. Tapi waktu wisudaku semakin dekat. Akhirnya dengan terpaksa aku diantar pulang ke rumah oleh saudaraku. Sesampainya di rumah, ibu kembali memarahiku dan mengungkit-ungkit masalah yang sudah lama terjadi. Semakin aku membela diri, ibu semakin memojokkanku. Akhirnya aku diam karena sudah lelah sekali meladeni ibu.
Wisuda pun tiba, saat itu ayah sedang ada tugas kerja sehingga dipercayakan ke ibu untuk menemaniku pelepasan. Aku sudah membayangkan bisa foto bersama dengan keluarga dan raut wajah bangga ibu terhadapku. Tapi ibu malah menolak datang. Disaat teman-temanku yang lain ditemani orang tuanya, hanya aku sendiri yang melewati prosesi sungkeman. Kata ibu, bilang aja ibu sedang memandikan adik bayi jadi tak bisa datang. Rasanya sakit sekali seperti anak buangan.
Tapi mau bagaimana lagi, dia adalah ibuku. Aku tak mau membesar-besarkan masalah. Aku tenteng ijazahku ke rumah dan memilih beristirahat di kamar.
Perilaku buruk ibu tak berhenti sampai disitu. Beberapa hari kemudian setelah ijazahku dipigura, ibu memecahkannya hanya karena aku mengunci kamar. Aku menangis, sudah tak datang wisuda ibu malah menghancurkan pigura ijazahku. Ibu mengetok-ngetok pintu kamarku, tapi aku takut keluar.
“Ibu kenapa sih bu? Emang pas ibu gak dateng waktu itu aku sampe segininya? Ini masalah sepele gausah dibesar-besarin.” Tapi yah, hasilnya sudah bisa ketebak. Ibu kembali seperti orang yang paling tersakiti di dunia. Ibu menjelek-jelekkanku, aku hanya diam menangis di dalam kamar. Ayah yang mendengar keributan mencoba menenangkan ibu. Ayah juga menenangkanku berjanji akan memperbaiki piguranya. Tapi ibu malah melampiaskan amarahnya ke ayah.
Ibu, aku ingin dimanusiakan. Tidak enak sekali rasanya jika disalahkan atas perbuatan yang kita tidak lakukan. Setiap marah, binatang semua keluar dari mulutnya. Apakah pantas seorang ibu seperti itu?