Kemunafikan, kebohongan, dan pengkhianatan. Entah sejak kapan aku mulai merasa mual dan ingin muntah setiap mendengar 3 kata-kata yang tak henti-hentinya berputar di lingkungan keluargaku. Sepanjang ingatku, hal-hal tersebut tidak pernah ada dan mengusikku saat usiaku masih 4 tahun, setidaknya saat kakek masih ada dan menjadi penghangat dalam rumah tangga ini. Hingga, perlahan tapi pasti, aku yang kukenal pun juga sudah mulai meninggalkan dirinya dan mulai bergelut dengan pedihnya kehidupan.
Menjadi anak kedua, kata orang, merupakan kesialan yang tidak dapat dielakkan. Namun berbeda dengan kisahku. Hebatnya untuk yang satu ini, orang tuaku sangat adil dan kompak kepada ketiga anaknya. Yah, keduanya seakan serentak secara bersamaan untuk tidak pernah peduli pada kami. Jangankan memberikan kasih sayang, meletakkan setitik perhatian saja nampaknya mustahil.
Masih terekam jelas dari ingatku, betapa cuek dan tidak pedulinya mereka saat aku dan kedua sauadara laki-lakiku bermain di luar rumah hingga tengah malam. Ya, tengah malam! Bayangkan saja, 3 anak kecil yang berusia 4-6 tahun, bermain di luar rumah tanpa pengawasan orang tua, dan belum pulang hingga tengah malam. Orang tua mana yang merasa tenang saja dengan kejadian tersebut? Orang tuaku! Tentu saja sangat menyenangkan bagiku yang saat itu masih kecil dan tak tahu apa-apa. Namun jika diingat kembali betapa cueknya kedua orang tuaku terhadap kami, sesak rasanya dada ini.
Kesedihanku tak berhenti di situ, demi mencari validasi dan perhatian dari mereka, sudah berjuta kali rasanya kukorbankan diri ini. Mati-matian aku belajar agar mendapat peringkat di kelas, menjadi pintar hanya untuk mengiba pujian dari mereka. Namun? Semuanya sia-sia! Betapapun besar hal yang aku lakukan dan ku dapatkan, ternyata tak juga membuat mereka memandangku barang sedetik saja. Tahukah kalian, aku hanya ingin mendengar “Wah hebat”, “Anak mama membanggakan” itu saja, tak lebih. Aku tak butuh dibelikan barang mahal, aku pun tak pernah meminta untuk diperlakukan menjadi anak spesial. Aku hanya menginginkan hakku, hak seorang anak untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Itu saja.
Ada satu hari, di mana aku benar-benar terpukul dan tak lagi merasakan posisiku sebagai seorang anak. Kala itu kutenteng piala besar kebanggaanku. Hasil dari jerih payah keringatku yang kala itu berhasil kudapatkan sekalipun aku hanyalah seorang anak TK. Kubayangkan dengan rasa berdebar, pujian-pujian hangat yang akan kudapatkan karena berhasil membawa piala itu ke hadapan ayah dan ibuku. Pelukan mesra yang mungkin akan kurasakan dengan suka cita karena berhasil menjadi juara. Akan tetapi, aku dihancurkan oleh imajinasiku sendiri, hahaha. Anak sekecil ini nyatanya harus ditampar keras oleh realita, bahwa realitanya adalah hari itu bahkan kedua orang tuaku tak datang menjemputku. Bukanlah ucapan bangga atau gemuruh sorak sorai yang didapatkan oleh anak kecil dengan piala besar ditanganya kala itu, namun pertanyaan menjengkelkan dari teman-teman yang melihatku sendirian tanpa kedua orang tuaku, “Mama kamu mana?”.
Hingga kini jantung ini masih berdetak, kalimat itu tak akan pernah bisa kulupakan.
Sejak itulah aku mulai cuek. Aku yang dulu ceria, kini menjadi lebih murung. Aku yang berpikir bisa mendapat atensi ayah dan ibu dengan kepintaran, mulai menjadi malas dan tak bersemangat. Buat apa aku harus bersemangat? Toh aku tidak diperlukan, pikirku. Hari-hariku berjalan dengan ala kadarnya, tak ada yang spesial.
Hingga…. di usiaku yang masih sangat belia, kudapati ibuku tertangkap basah berselingkuh dengan pria lain. Saat itulah aku melihat ayahku berubah menjadi orang lain. Raut mukanya tak lagi kukenal, kata-kata yang ia ucapkan pun sangat kasar. Bahkan, tak segan ia menamparkan tangannya kepada ibuku. Aku dan saudaraku lainnya hanya bisa menangis dan ternganga kala itu. Kami terlalu kecil untuk kalian libatkan! Pikirku dengan amarah di dada.
Aku masih ingat betapa kami bertiga harus berpelukan dan menangis bersama di dalam kamar saat ayah mengusir ibuku. Kepergian wanita itu tak membuat ayah lega dan puas. Ia makin beringas dan menganggap kami anaknya sebagai samsak semata. Kesalahan kecil yang kami buat dapat membuatnya mengamuk dan murka. Tak jarang pula ia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat. Jika ada yang tak mengindahkan hatinya? Pukulan, tendangan, cacian akan menjadi makanan kami malam itu. Aku benci ibuku, tapi aku lebih benci ayahku yang tak bertanggung jawab kepada ketiga anaknya ini. Namun, aku beruntung karena masih memiliki sosok kakak yang menjadi tempat berlindung terakhir. Akan tetapi, keadaan ini pun nampaknya terlalu berat untuknya. Ia tak sanggup lagi, ia menyerah, dan ia pergi meninggalkan kami. Memutuskan untuk menjadi hancur di luar rumah, dibandingkan harus bertahan dengan rumah yang seperti neraka. Dan untuk kesekian kalinya, duniaku hancur luluh berantakan. Kini, akulah yang menjadi tempat berlindung adikku. Mau tak mau, bisa tak bisa, aku harus kuat.
Hingga ketika usiaku menginjak 14 tahun, aku dan adikku harus dipisahkan. Aku dikirim ke luar kota untuk tinggal bersama tante sementara adikku dengan paman. Kukira, sedetik saja, kukira kehidupanku akan jauh lebih mudah dari sebelumnya. Ternyata aku salah. Ku tertawakan diriku kencang-kencang. Betapa lucu dunia ini dalam mengujiku. Tante yang juga merupakan adik dari ayahku, ternyata memiliki kesamaan dengan pria pertama yang menghancurkan hidupku.
Rasa cemas pun berdatangan silih berganti. Tidurku makin tak tenang, hidupku seakan penuh ancaman. Pikiran-pikiran untuk segera mengakhiri hidup kerap terbersit di otakku. Sudah berapa kali aku menyakiti diriku sendiri? Berkali-kali! Aku sudah tak tahu menahu lagi, apa yang harus kulakukan. Untuk apa aku masih hidup? Rasanya ingin segera kucabik-cabik takdirku ini. Namun, namun…. Aku masih mendamba kebahagiaan.
Aku ingin tahu, seperti apa rasa bahagia itu, aku ingin tahu bagaimana rasanya dicintai, aku juga ingin tahu seperi apa bentuk dibutuhkan. Apakah aku salah? Apakah aku terlalu menuntut kepada takdir? Apakah permintaanku berlebihan?
Hari ini, kusudahi dulu rutinitas tangisku di kamar mandi setiap malam. Karena, aku yang sudah diperlukan tak adil oleh dunia ini, nyatanya masih berfikir bahwa esok semua akan baik-baik saja dan akan kudapatkan kebahagiaanku. Semoga.