Angin menerpa halus pohon berukuran sedang dan rumput hijau yang telah melebihi pangkal kakiku. Terdengar suara gemeresik daun-daun yang bergesekan. Di mataku, mereka tampak hidup; bergerak dan bersuara. Tetapi ketika angin itu berlalu mereka berdiam diri lagi, seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Menatap hal itu jadi membuatku mengingat diriku sendiri.
Hidup seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku tengah duduk di depan rumah bercat hijau yang sudah kelihatan usang sambil menonton ketenangan di sekelilingku, sendirian. Ku rogoh tas hitam yang kubawa untuk mencari smarthphone-ku. Jam sudah menunjukan pukul 4.30 sore. Aku datang 10 menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan.
Ini adalah teras rumah yang dulu aku tempati bersama ibuku yang bawel, pikirku saat itu. Dan saat ini, aku sedang menunggu seseorang yang berniat mengontrak asetku ini.
Duduk diam sembari menantikan angin selanjutnya menerpa pohon dan rumput yang tumbuh liar di halaman rumahku yang tidak terlalu luas ini membawaku ke memori masa lalu. Masa di mana kebahagiaan dan ketulusan yang murni itu masih ada. Masa di mana otak dan hatiku masih selaras. Masa di mana hanya dengan satu orang tua, aku merasa terlengkapi sepenuhnya. Masa di mana aku masih bisa melihat segala perubahan raut wajah dan mendengar omelannya.
Masa di mana ibu masih bernapas.
Sebelumnya aku dibesarkan oleh seorang ibu tunggal. Ayahku telah meninggalkan dunia ini sejak aku masih belum mengerti apa-apa. Tidak banyak memori yang kusimpan tentang ayah karena ia meninggalkan kami terlalu cepat. Aku tidak menitikkan sedikitpun air matapun kala menatap jasad ayah yang terbaring kaku. Aku hanya duduk di dekat ibu yang diam seribu bahasa sambil terus mengusap air matanya yang terus jatuh. Aku tak memeluknya, hanya duduk diam di sampingnya. Jika itu terjadi di usiaku yang sekarang, aku ingin memeluk dan menepuk punggungnya. Menyemangatinya dengan mengatakan jika semua ketakutan dan kekhawatirannya pasti bisa di lewati karena dia adalah perempuan yang hebat.
“Tidak apa apa, ada Tiwi di sini. Tiwi akan menjadi anak yang baik.” Sebuah kalimat yang bisa sedikit menenangkannya walaupun pada kenyataannya aku bukanlah anak yang baik, setidaknya menurutku.
Di tahun-tahun terakhir ibu kami banyak bertengkar. Aku yang saat itu duduk di bangku menengah atas sering terlibat konflik kecil bersama ibu yang berakhir dengan aku yang menutup pintu kamarku dengan kasar. Suaranya bahkan menggema sampai keluar. Hal yang saat ini sangat aku sesali. Padahal itu hanya sebuah ketidak-sependapatan antara ibu dan anak.
Mengapa setiap ibu membuka mulutnya aku selalu membantah dan tak pernah memeluknya? Mengapa? Padahal cintaku kepadanya sangat besar tetapi faktanya aku hanya menyakitinya.
“Maafkan aku ibu.” Sesalku dalam hati.
Mataku menangis melihat ibu yang perlahan terkubur di dalam liangnya. Keinginan untuk bertahan hidupku besar kala itu, perasaan ingin membuktikan kepada dunia bahwa anak sebatang kara seperti diriku ini juga bisa menjadi sosok yang berhasil. Kemudian aku menguatkan hatiku bahwa tidak apa-apa, aku pasti bisa berjalan di jalan kehidupan ini sendirian tanpa sedikitpun tahu bahwa jalan di depan sana akan penuh dengan kerikil tajam yang siap menyakiti dengan sakit yang tidak tertahankan.
Semakin aku melangkah menyusuri langkah kehidupanku semakin aku sadar bahwa ibu menyembunyikan banyak realitas kehidupan.
Kemudian tekanan, prasangka, dan standar kehidupan menyerang diawal usia dua puluhanku akibat sosok pembimbing kehidupanku pergi lebih cepat dariku. Aku dipaksa harus membuat banyak keputusan untuk diriku sendiri dan berakhir dengan kesalahan.
Mereka-mereka di luar sana menyuruhku untuk hidup lebih baik. Harus membuat keputusan dengan bijak karena itu untuk diriku sendiri tetapi enggan memberiku bimbingan, enggan menunjukan jalan. Akibatnya langkahku selalu salah dan gegabah. Lalu perlahan aku ditinggalkan oleh dunia yang kini jauh dari jangkauanku.
Kupaksakan berjalan kedepan dan kerikil itu semakin tajam. Menyakitiku semakin dalam. Keinginan bertahan hidupku tahun demi tahun terkikis, tujuan yang dulu terlihat jelas mulai mengabur. Dan kini, untuk sekedar bernapas pun aku lelah.
Sempat terlintas di benakku akhir- akhir ini, “Bagaimana kalau aku mengakhiri saja kehidupanku, toh tidak akan ada yang merasa ditinggalkan.” Pikirku. Karena menghilang adalah keinginan terbesarku.
Aku ingin menghilang terlebih dahulu sebelum keluarga dan sahabat-sahabatku pergi meninggalkanku sendirian untuk mengikuti dunia yang telah jauh dari jangkauanku. Aku benci menjadi sosok yang selalu ditinggalkan. Aku benci melihat diriku yang hanya bisa menangisi kerikil yang masuk ke dalam hatiku. Aku ingin kembali melangkah, tetapi ketakutan dan keraguan menghantuiku.
Bagaimana jika aku salah lagi?
Luka akibat kerikil itu menganga semakin besar dalam diriku. Membuatku menjadi sosok yang berbeda di dalam dan di luar diriku. Bersama sahabatku aku menikmati kehidupan seperti tidak terjadi apa-apa, padahal hatiku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bersama keluargaku aku banyak diam, sementara suara dalam kepalaku terus berteriak keras.
Dan di sinilah aku, di rumah yang menyimpan banyak kenangan bersama ibu. Aku duduk sambil menghembuskan napas berat. Kemudian angin meniup pohon dan rumput liar itu lagi. Mereka benar-benar seperti kehidupanku saat ini. Melawan angin dengan keras kepala padahal banyak daunnya yang telah berjatuhan.
Dan ketika angin itu berlalu, ia kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Oleh: Yoon_Yoonki