Apa Itu Piromania?
Ditandai dengan hasrat tak tertahankan untuk menyulut api. Kebanyakan kasus pembakaran lebih sering dilakukan anak-anak dan remaja daripada orang dewasa.
Kategori
Mereka yang dianggap sebagai tukang bakar patologis telah dikelompokkan menjadi 5 kategori, yang tidak saling terpisah satu sama lain:
- Menyulut api sebagai teriakan minta tolong
Anak-anak muda dalam kategori ini menyulut api sebagai cara meminta perhatian karena permasalahan intrapsikis seperti depresi, atau permasalahan interpersonal seperti perceraian orangtua atau kekerasan fisik dan pelecehan seksual.
Biasanya berusia antara 11 sampai 15 tahun. Pembakaran yang mereka lakukan adalah bagian dari pola agresi yang lebih besar. Bisa mencakup vandalisme dan kejahatan yang dipicu kebencian. Namun, biasanya mereka melakukan pembakaran lebih dimaksudkan untuk merusak properti, bukan melukai orang.
- Pembakar dengan gangguan parah
Anak-anak muda ini sering didiagnosis dengan psikosis atau paranoid, dan tampaknya diperkuat oleh aspek sensoris penyulutan api. Beberapa melakukan pembakaran untuk percobaan bunuh diri.
- Pembakar yang cacat kognitif
Kelompok ini mencakup anak-anak yang kendali impulsnya rusak akibat kondisi neurologis atau medis, misalnya akibat sindrom alkohol janin (ibu hamil yang kecanduan alkohol sehingga berefek pada janinnya).
- Pembakar akibat pengaruh sosiokultural
Anak-anak muda di kelompok ini terpengaruh oleh orang-orang dewasa antisosial di komunitasnya, dan melakukan pembakaran demi bisa diterima.
Gejala Piromania
- Ketertarikan atau obsesi pada api dan perlengkapan untuk menyulutan api, bersama dengan kebutuhan kompulsif untuk menyulut api, serta kelegaan dan kepuasan setelah melakukannya.
- Mereka tidak menyulut api untuk alasan lain selain karena kompulsi atau “kebutuhan” untuk melakukannya demi menghilangkan ketegangan tinggi yang mereka rasakan.
- Selain perilaku yang terlihat dari luar yaitu menyulut api, piromania dewasa telah dihubungkan dengan gejala-gejala yang mencakup mood depresi, pemikiran untuk bunuh diri, konflik berulang dalam hubungan interpersonal, dan rendahnya kemampuan untuk menghadapi stres.
Penyebab
Freud membuat hipotesis bahwa menyulut api menunjukkan kemunduran bagi hasrat primitif untuk memperlihatkan kuasa atas alam. Namun, penelitian-penelitian yang lain kemudian memperkenalkan kemungkinan sebab-sebab gangguan ini, yaitu sebagai berikut:
INDIVIDUAL
- Perilaku dan sikap antisosial. Remaja pelaku pembakaran seringkali melakukan tindak kriminal lain, termasuk pemerkosaan (11%), pelecehan seksual tanpa disertai kekerasan (18%), dan vandalisme terhadap properti (19%).
- Kebutuhan untuk mencari sensasi – Beberapa anak muda tertarik menyulut api karena bosan dan kekurangan kegiatan rekreatif lainnya.
- Kebutuhan untuk mencari perhatian – cara untuk memprovokasi reaksi dari para orangtua dan pihak-pihak berwenang lainnya.
- Kurang kemampuan bersosialisasi. Banyak pelaku pembakaran yang oleh orang lain digambarkan sebagai “penyendiri” dan jarang punya hubungan pertemanan yang signifikan.
- Kurang terampil dalam pengamanan dan pencegahan kebakaran serta abai terhadap bahaya yang disebabkan oleh pembakaran.
LINGKUNGAN
- Kurangnya pengawasan dari orangtua dan orang dewasa yang lain.
- Pengalaman belajar sejak dini dengan melihat orang dewasa yang menggunakan api secara ceroboh atau dengan cara yang salah.
- Diabaikan orangtua atau tak terpenuhi kebutuhan emosionalnya.
- Pola asuh yang psikopatologi.
Para pelaku pembakaran punya lebih banyak kemungkinan pernah mengalami kekerasan fisik atau pelecehan seksual daripada anak-anak dengan latar belakang ekonomi dan geografis yang mirip. Kemungkinan besar mereka juga menyaksikan orangtua mereka menyalahgunakan narkoba atau melakukan tindak kekerasan.
- Tekanan dari kawan. Punya kawan yang merokok atau bermain-main dengan api adalah faktor risiko bagi seorang anak yang melakukan pembakaran sendiri.
- Mengalami peristiwa dalam hidup yang membuat tertekan. Beberapa anak dan remaja beralih melakukan pembakaran sebagai cara untuk mengatasi krisis dalam hidup dan/atau akibat keterbatasan dukungan keluarga ketika menghadapi krisis.