Namaku Inoy. Dulu saat berumur sehari di dalam rahim ibu berdoa agar kelak aku tak punya seorang bapak. Aku tak mengerti kenapa ibu meminta itu, tapi Tuhan Maha Baik dan mengabulkan permohonan tersebut.
Sejak kecil setiap kutanya keberadaan bapak, ibu mengatakan bapak tidak ada. Jika ada orang yang menanyakan keberadaan bapak, ibu menyuruhku berbohong dan mengatakan bapak sedang bekerja di luar kota. Tak terhitung berapa kali aku berbohong dan memendam perasaan sedih yang bercampur aduk dengan marah dan kecewa.
Meski menyimpan pertanyaan besar atas keberadaan bapak, aku tak kurang kasih sayang. Ibu dan kakek nenekku sangat menyayangiku.
Hingga saat kelas 2 SD, ibu memperkenalkan sosok laki-laki yang katanya ayahku. Tapi kenapa ayahku berbeda dengan ayah teman-temanku? Dia suka memukulku ketika aku sedikit saja berbuat salah. Saat bercanda dengan adik ataupun temanku, ayah melihatnya sebagai perilaku nakal sehingga tanganku harus dipukul.
Saat aku kelas 3 SD, setiap habis dzuhur aku diseret masuk ke kamar untuk tidur siang. Kalau aku berontak, aku ditampar atau dipukul, dijagain sama bapak sampai aku tertidur. Walaupun lebih seringnya aku pura-pura merem. Pernah aku menempel ke nenekku karena tidak mau tidur siang dengan bapak. Tapi badanku ditarik lepas dari nenek sampai baju nenekku robek.
Aku sudah sering bilang ke ibu kalau bapak selalu kasar padaku. Tapi dengan lembut ibu berkata kalau itu adalah tanda sayangnya bapak kepadaku, jadi aku coba untuk memahami.
Namun suatu hari kakek memberitahuku kalau laki-laki itu bukanlah ayah kandungku. Rasa sedih, marah, dan kesal bercampur jadi satu karena ibu telah membohongiku. Seketika air mataku tumpah, aku tak bisa menahan tangis di depan kakek. Sambil berkaca-kaca aku bertanya pada kakek dimana ayahku, sambil mengelus rambutku kakek mengatakan kalau ayahku baik-baik saja dan sekarang dia sudah menikah lagi.
Kakek memintaku menjaga rahasia itu dari ibu. Jangan sampai ibumu tahu mengenai hal ini, kasihan Ibu, katanya begitu. Namun tetap saja aku kesal dengan Ibu karena sudah berbohong.
Semakin lama kekesalan ku pendam, semakin memuncak kebencianku. Aku juga semakin tidak nyaman di rumah. Kemauan keluargaku sering tak sejalan dengan keinginanku. Rasa sayang yang aku terima semakin mencekik, mereka masih menganggapku sebagai anak kecil yang tak bisa ngapa-ngapain. Keluarga selalu mengekang kebebasanku. Padahal aku ingin menjadi sosok yang bisa dijadikan sandaran oleh keluargaku. Ketika tak berjalan sesuai keinginan, aku memberontak berharap mereka melihat kedewasaanku. Namun yang ada justru sebaliknya.
Saat SMA aku iseng coba-coba untuk minum alkohol dan ngobat untuk melepas penat. Kegiatan itu tak berlangsung lama, aku juga tak aktif memakainya. Hingga akhirnya kelulusan SMA ibu jujur padaku mengenai masa lalunya. Kemarahanku muncul kembali, aku melampiaskan semuanya kepada Ibu kalau aku sudah tahu rahasia itu sejak lama dan sangat membencinya karena telah dibohongi. Tapi Ibu bilang ini demi kebaikanku, katanya aku harus cukup umur dan siap untuk mendengarkan rahasia kelam itu.
Saat kuliah aku memilih Jogja yang jauh dari rumahku. Tahun kedua kuliah, aku sempat mengalami kecelakaan motor beberapa kali hingga akhirnya scan kepala. Sejak kejadian itu, kehidupanku semakin hancur. Aku jadi lebih sering menyendiri, mabuk-mabukan, dan pakai obat-obatan terlarang. Bahkan membuat oplosan dari obat warung untuk nge-fly. Saat aku make, aku merasa jadi orang yang normal.
Berlanjut ke coba-coba untuk menyayat pergelangan tangan dengan silet atau pecahan kaca. Setiap ingat orang tuaku, aku membuat goresan di tangan sampai berdarah. Aku juga melampiaskan amarahku dengan melempar benda-benda ke tembok sampai merasa plong.
Saking rusaknya, suatu hari lambungku kena bermasalah dan demam tinggi. Mengetahui aku sakit, orang tuaku menjemputku dan melarangku untuk kembali ke Jogja. Saat di rumah aku sangat tidak tenang dan nyaman karena omongan orangtuaku tak sejalan denganku. Mereka semakin protektif. Setiap hari aku memberontak, namun apa daya tubuhku yang lemah hanya bisa menerima perlakuan mereka dengan terpaksa.
Hari kelima di rumah, aku kedatangan tamu yang tak kusangka-sangka. Dia adalah ayah kandungku yang datang bersama keluarganya. Aku bingung sekaligus senang. Ibuku juga senang sekali karena ayah masih ingat dan peduli padaku.
Kedatangan ayah seperti membawa kedamaian di rumah. Tidak ada ketegangan yang terjadi antara antara keluarga ibu dan ayah. Sebelum ayah pulang, ayah memberiku dan keluarga uangg untuk tambahan biaya berobat. Kalau diingat-ingat, rasanya itu adalah hari terbaik dalam hidupku.
Hingga kini aku masih berhubungan baik dengan ayahku. Bagiku, ayah adalah satu-satunya orang yang memahami keluh kesahku. Ketika aku sedang kumat, ayah bisa menenangkanku ditambah dengan suara lembut ibu. Karenanya aku termotivasi untuk bisa berubah jadi lebih baik.