Kala itu, dingin menyelimuti malam natal. Terdengar dengan jelas olehku bahwa mama sedang sibuk di dapur, tetapi aku masih enggan beranjak membantu. Kuambil buku harian sambil bergumam, “Masih sama seperti malam natal sebelumnya.” Kuhela napas perlahan, lalu melangkah menuju dapur.
“Mengapa kita harus menyiapkan ini semua? Bukankah cukup sedikit tamu yang akan berkunjung?” celotehku pada mama. “Benar … tapi bukan berarti kita tidak perlu melakukan apa pun” katanya.
Sementara itu, di luar rumah, papa juga nampak sibuk dengan peralatan tukangnya yang cukup berisik. Kususun beberapa piring sambil berujar, “Aku berharap pagi segera tiba.”“Memangnya ada apa dengan pagi?” sahut mama. “Tidak mengapa” kataku, sebenarnya aku hanya membenci kesibukan di hari Natal ini.
Tak lama berselang, kutinggalkan mama yang masih menunggu beberapa masakan untuk matang. Hampir saja aku tertidur, tetapi ada bunyi perabotan pecah di ruang tengah. Secara otomatis, kutarik selimut sambil menutup telinga. Aku tidak bergeming sama sekali. Hingga akhirnya, kudengar isak tangis dari arah dapur. Aku masih enggan beranjak dan entah bagaimana setelah itu aku terlelap.
Pagi-pagi sekali aku bangun dan memeriksa apa yang rusak dan ternyata beberapa perkakas serta makanan telah berhamburan di lantai. Rongga dadaku terasa menyempit menahan gejolak emosi. Hari itu hatiku mengutuk malam natal yang selalu datang setiap tahun.
Akan tetapi, tahun ini jelas akan jauh berbeda, kami akan menyusuri jalan yang tak lagi sama. Kulihat ada seberkas cahaya muncul di balik jalan setapak yang berada tak jauh dari rumah kami. Aku bergegas pergi dan berujar dengan mata berbinar, “Ini adalah kesempatan.”
Ma, badai ini telah berlalu dan semua akan baik-baik saja. Tahun-tahun mengerikan itu takkan pernah ada lagi. Pada malam natal tahun ini, mungkin saja malaikat datang dan kita akan bernyanyi bersama.
Kekerasan telah menjadi tontonan dan santapanku sejak kecil. Kekerasan dari papa kepada mama, pelecehan dari orang terdekat kepada diriku. Sebabnya begini, kebiasaan dalam keluargaku adalah membiarkan tamu tidur bersama di kamarku tanpa mengkhawatirkan apa pun. Tidak ada yang menyangka bahwa aku bakal dilecehkan, bukan?
Masa sekolahku dipenuhi kecemasan karena hatiku tidak sanggup menyaksikan KDRT oleh papa yang masih berlangsung sampai sekarang. Mamaku memiliki keyakinan untuk tidak berpisah dengan papa. Padahal, papa juga sudah tidak lagi menjalankan perannya sebagai kepala keluarga. Aku menyaksikan betapa beratnya hidup mama sebagai tulang punggung keluarga. Mama harus menopang semua beban finansial untuk studiku dan adik.
Waktu berlalu, pendidikanku berlanjut. Selama berada di perguruan tinggi dan tinggal di asrama, papa hampir tidak pernah menanyakan kabarku, bahkan ketika aku sakit. Bisa dibilang, aku tumbuh tanpa cinta dari seorang ayah. Lebih dari itu, papa juga kerap melontarkan kata-kata yang menyakitkan. Sejak saat itu, rasa benciku semakin bertambah.
Aku merantau dalam alur perjalanan kehidupan pendidikanku karena tidak tahan dengan semua yang terjadi. Selain tinggal di asrama, aku juga pernah tinggal dengan tanteku, yang merupakan adik dari papa. Di sana, aku juga tidak diperlakukan dengan baik: mereka menjadikanku pelayan untuk mengurus anak-anaknya hingga tak punya cukup waktu untuk belajar. Sebenarnya wajar saja karena tidak ada yang gratis di dunia ini, bukan?
Aku berasumsi bahwa tak ada yang cuma-cuma di dunia ini; selalu ada harga yang harus aku bayar. Aku pun rela menjadi pelayan di rumah tersebut demi mendapatkan uang saku. Setelah lulus dari perguruan tinggi, aku berniat untuk pergi ke Jawa karena lebih baik tinggal bersama orang baru, dibanding dengan keluarga sendiri. Akan tetapi dalam situasi dilematis, harga yang harus kubayar demi support financial adalah pelecehan yang ternyata terus berlanjut.
Terkadang, timbul momen-momen di mana semua peristiwa menyakitkan itu muncul kembali dan jiwaku terasa hancur. Hingga pada akhirnya, dalam kekacauan itu, aku terlibat dalam lingkaran seks bebas. Sebenarnya saat itu aku masih punya mimpi untuk melanjutkan studi dan menjadi dosen, tetapi lagi-lagi aku masih terkendala secara finansial.
Setelah kekerasan psikis dan seksual yang kualami serta mimpi yang kukejar tak kunjung menemui titik terang, aku menjadi lebih sering mengurung diri dan depresi. Di sisi lain, kisah percintaanku dari zaman kuliah tak ada yang berjalan baik karena semua berakhir dengan pengkhianatan. Pada 2022 ini, kekasih yang kukenal pada 2021, nyatanya juga telah berkhianat.
Luka masih berlanjut. Aku mendapat kekerasan fisik dan psikis dari pasanganku beberapa minggu yang lalu. Hingga pada puncak ketidaktahanan, aku melakukan percobaan bunuh beberapa kali. Aku benar-benar putus asa. Keadaan keluarga tidak mendukung, pekerjaan tak kunjung aku dapatkan, dan kekasih yang kucintai telah melukaiku. Rasanya, ingin sekali kuakhiri hidup ini. Akan tetapi, aku juga merasakan bahwa Tuhan seolah selalu mencegahku berulang kali melalui orang lain, atau keajaiban lain.
Aku benar-benar merasa sendirian sekarang, tanpa pernah membagikan lukaku kepada siapa pun. Kupendam semuanya sejak dahulu. Berharap luka-luka hilang dengan sendirinya, tetapi nyatanya luka ini tetap menguar dan menjalar meminta keluar. Sementara aku tidak memiliki kawan yang bakal mendengarkan tanpa menghakimi, memahami situasi dilematis, dan memberikan dukungan emosional yang saat ini paling aku butuhkan. Terciptalah tulisan ini.