Perkenalkan, namaku Umi. Teman-teman memanggilku seperti itu karena aku tipikal orang yang ceria dan suka menolong bahkan pada orang yang tak dikenal, selain itu aku juga dikenal penuh kasih sayang seperti ibu (ummu/umi). Aku juga orang yang sensitif dan mudah menangis. Beberapa temanku juga memanggilku Doraemon karena tubuhku yang cukup gempal dan suka memberikan pelukan hangat.
Oh iya, bukannya mau pamer tapi aku berbicara jujur apa adanya. Aku memiliki prinsip bahwa kita harus baik pada semua orang. Jika hadir dalam kehidupan mereka maka aku harus bisa membahagiakan orang tersebut. Setidaknya, itulah yang mereka lihat dariku, ketulusanku bisa membuat mereka nyaman di dekatku.
Dibalik keceriaanku, aku selalu menutup rapat kesedihan, ketakutan, dan kecemasanku. Walaupun dibesarkan dalam lingkungan yang bisa dibilang bahagia tapi tetap saja ada hal dimana aku merasa terpuruk. Apalagi jika menyangkut kehilangan seseorang yang sangat disayangi.
Sejak dulu aku selalu bermimpi memiliki sahabat sejati karena belajar dari kisah Nabi Muhammad SAW yang memiliki banyak sahabat. Mimpi itu berhasil kudapatkan ketika sekolah SMA, seorang sahabat yang menemani dikala sedih maupun senang. Tapi persahabatan itu tak berlangsung lama, karena hal sepele aku malah kehilangannya.
Peristiwa ini menambah deretan kenangan kelam yang sudah terkubur dalam-dalam. Aku sudah kehilangan nenek dan temanku, aku tak siap harus kehilangan lagi. Aku sangat terguncang, melampiaskan rasa takut dengan menangis sejadi-jadinya. Menarik rambut sekuat tenaga hingga banyak rambut yang rontok, bahkan sampai mengiris tanganku berkali-kali.
Hal itu berulang selama beberapa hari. Setiap pagi mataku selalu bengkak dan tidak bersemangat pergi ke sekolah. Teman-teman semua tahu aku habis menangis, dan aku selalu beralasan aku menangis karena nonton drama korea.
Hari-hari ku lalui dengan terasa berat, tapi aku harus terlihat ceria agar semua orang terutama keluarga tak khawatir. Sampai tak berapa lama kemudian aku bertemu dengan seorang teman yang kini sudah menjadi sahabatku.
Sahabatku ini berusia lebih muda dariku, dan sudah ku anggap sebagai adik sendiri. Kami selalu bersama-sama, nongkrong bersama, bermain, saking nempelnya kami dibilang mirip persis seperti adik-kakak kandung. Aku sangat terbuka dengannya. Setiap aku merasa sedih, marah, kecewa, atau sakit semua ku ceritakan kepadanya. Sayangnya selepas SMA kami berpisah. Aku berkuliah di tanah rantau sementara dia menetap di kampung.
Perbedaan jarak yang cukup jauh serta kesibukan masing-masing membuat kami jarang berkomunikasi. Seringkali pendatang sepertiku merasakan kesepian dan kelelahan sehingga membutuhkan support dari sahabat dan keluarga. Tapi aku tidak mau membebani keluargaku, mereka hanya tahu aku baik-baik saja padahal aku sedang berjuang menahan rindu dan menghemat uang.
Hanya sahabatku yang tahu perasaan asliku. Tapi setiap kali aku menghubunginya, dia jarang membalas pesanku. Pernah aku bertanya tentang kesibukannya, tapi dia malah bohong. Aku tahu itu karena tak berapa lama dia update status sedang bersama teman-temannya yang lain.
“Kenapa dia harus berbohong? Bukankah sahabat harus selalu jujur dan terbuka?”
“Apa salahku sampai dia melakukan hal ini kepadaku?”
“Apakah dia sudah muak mendengar cerita sedihku sehingga meninggalkanku sendiri?”
“Apa aku yang terlalu lebay menganggap persahabatan kita sangat berarti?”
“Oh, mungkin dia sudah dapat teman baru yang lebih asik dan baik dariku”
Bertepatan dengan itu aku juga harus menerima kenyataan pahit lainnya. Laki-laki yang selama ini dekat denganku ternyata mendekatiku karena alasan kasihan. Aku merasa seperti sampah saat tau hal itu. Aku bukan orang yang patut dikasihani.
Berbagai pertanyaan dan pikiran negatif kembali menghampiriku. Rasanya ingin sekali menceritakan semuanya kepada keluarga, tapi aku takut mereka khawatir.
Semuanya terjadi secara bersamaan dan aku tak tahu harus bagaimana. Pada akhirnya aku hanya bisa diam, menangis, dan melampiaskannya dengan mengiris tanganku sebagai bentuk menghukum diri karena gagal menjadi manusia yang bisa membahagiakan orang lain.
Aku benar-benar lelah dengan hidupku, dengan pikiranku yang selalu overthinking. Bukan hanya tentang kehilangan sahabat, tapi aku juga tak mau membebani kedua orangtuaku. Jika saja aku kehilangan sahabatku lagi sepertinya aku akan bunuh diri.
Karena pandemi Covid-19, semua kegiatan pembelajaran dilakukan dari rumah. Aku memutuskan untuk pulang kampung dan pada saat itu bertepatan dengan hari libur kuliah. Pada saat itu aku memutuskan untuk bertanya padanya secara langsung. Mencari kebenaran adalah suatu hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.
“Apa kabar?”
Kata-kata pertama yang berhasil aku ucapkan, walau sedikit canggung. Dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan segala aktivitasnya berjalan lancar. Jarak yang sebelumnya tercipta antara kami perlahan-lahan mencair. Setelah suasana sedikit menghangat, aku jujur padanya mengenai keresahan yang belakangan ini aku rasakan.
Sahabaku kaget bukan kepalang, dia tak menyangka aku berpikiran seperti itu. Bahkan bertindak jauh sampai menyakiti diri sendiri.
“Hanya karena aku sibuk kamu terlalu mempermasalahkan seperti masalah besar” ucapnya kasar. Saat itu aku sempat sakit hati karena responnya yang menyepelekan. Apakah hanya aku yang menganggap penting persahabatan ini?
“Jangan terlalu berpikiran negatif, itu akan membuat kamu capek sendiri,” suaranya melembut. “Aku gak akan berubah atau pergi ninggalin kamu. Sudah, kamu gausah terlalu negative thinking ya. Aku tetap sahabat kamu layaknya saudara kamu”.
Disaat itu aku sadar dan intropeksi diri, selama ini aku memang cenderung berpikiran negatif dan overthinking. Trauma yang kualami membuatku tak bisa mengontrol pikiranku sendiri.
Hingga kini, aku masih terus belajar untuk mengurangi keburukan itu. Perlahan-lahan, aku mulai terlepas dari self-harm yang terakhir ku lakukan beberapa bulan lalu.
Untuk melepas emosi negatif, aku melakukan kegiatan positif dan memikirkan kebahagiaan bersama keluarga dan sahabat, serta kebesaran dan kemurahan hati yang telah Allah berikan untukku. Aku juga mulai mencoba untuk menerima apa yang terjadi dan percaya semua pasti akan berlalu.